Sabda Katalog Yayasan Lembaga SABDA Pendidikan Elektronik Study Teologia Awam e-Learning - Situs Sumber Bahan Pelajaran Kristen dan Pendidikan Elektronik e-Learning - Situs Sumber Bahan Pelajaran Kristen dan Pendidikan Elektronik e-Learning - Situs Sumber Bahan Pelajaran Kristen dan Pendidikan Elektronik e-Learning - Situs Sumber Bahan Pelajaran Kristen dan Pendidikan Elektronik e-Learning - Situs Sumber Bahan Pelajaran Kristen dan Pendidikan Elektronik e-Learning - Situs Sumber Bahan Pelajaran Kristen dan Pendidikan Elektronik
e-Learning - Situs Sumber Bahan Pelajaran Kristen dan Pendidikan Elektronik e-Learning - Situs Sumber Bahan Pelajaran Kristen dan Pendidikan Elektronik
Home | Bahan | Seri

Kursus Apologetika Untuk Awam I [AUA I] - Sistematika

Kategori: Sistematika | Biblika | Praktika | Historika


Kursus Apologetika Untuk Awam I [AUA I]

KURSUS APOLOGETIKA UNTUK AWAM I [AUA I]

Download Materi : TEXT | HTML | PDF
  1. Penjelasan Lengkap:

    Kursus AUA I adalah bagian pertama dari 2 bagian Kursus Apologetika untuk Awam yang disiapkan. Di AUA I ini akan dipelajari pokok-pokok penting bagaimana membangun "rumah apologetika" Kristen, khususnya dengan mempelajari tentang Allah dan karakter manusia ketika diciptakan, jatuh dalam dosa dan ditebus oleh Kristus. Akan dipelajari pula perbedaan mendasar antara filsafat Kristen dan non-Kristen.

    [Modul ini adalah modifikasi dari buku "Menaklukkan Segala Pikiran kepada Kristus" oleh Richard L. Pratt Jr. , terbitan Seminar Alkitab Asia Tenggara, Malang]

  2. Tujuan Pelajaran

    Sesudah mengerjakan seluruh pelajaran dan tugas-tugas yang diberikan dan menyelesaikan Kursus DIK, maka diharapkan peserta akan dapat:

    1. Menjelaskan "rumah apologetika" bagaimana yang seharusnya dibangun oleh orang Kristen
    2. Mengulang beberapa pokok pengajaran penting tentang karakter manusia yang diciptakan oleh Tuhan, baik ketika diciptakan, jatuh dalam dosa dan ditebus oleh Kristus.
    3. Menyebutkan dengan jelas perbedaan antara filsafat Kristen dan non-Kristen.
  3. Materi Pelajaran (6 Pelajaran)

    1. PELAJARAN 01: DASAR YANG KOKOH
      Tujuan: Dalam pelajaran ini peserta diharapkan akan mempelajari tentang pengertian apologetika secara alkitabiah dan kepentingannya.
      Baca Online : Pelajaran 01 | Pertanyaan 01 | Referensi 01a | Referensi 01b | Referensi 01c
    2. PELAJARAN 02: PERMULAAN DARI SEGALANYA
      Tujuan: Dalam pelajaran ini peserta diharapkan dapat mengerti konsep Allah sebagai Pencipta dan perbedaan esensial antara Pencita dan yang dicipta.
      Baca Online : Pelajaran 02 | Pertanyaan 02 | Referensi 02a | Referensi 02b | Referensi 02c
    3. PELAJARAN 03: KARAKTER MANUSIA SEBELUM JATUH DALAM DOSA
      Tujuan: Dalam pelajaran ini peserta diharapkan dapat mengetahui dengan jelas karakter manusia ketika diciptakan Tuhan, yaitu sebagai gambar Allah yang sempurna.
      Baca Online : Pelajaran 03 | Pertanyaan 03 | Referensi 03a | Referensi 03b | Referensi 03c
    4. PELAJARAN 04: KARAKTER MANUSIA YANG BERDOSA
      Tujuan: Dalam pelajaran ini peserta diharapkan dapat mempelajari tentang akibat kejatuhan manusia dalam dosa dan pengaruhnya dalam setiap aspek kehidupan manusia.
      Baca Online : Pelajaran 04 | Pertanyaan 04 | Referensi 04a | Referensi 04b | Referensi 04c
    5. PELAJARAN 05: KARAKTER MANUSIA SETELAH DITEBUS KRISTUS
      Tujuan: Dalam pelajaran ini peserta diharapkan dapat mengerti dengan jelas kebaikan Allah menyelamatkan manusia dari kutuk dosa dan menempatkannya kembali sebagai gambar Allah seperti semula.
      Baca Online : Pelajaran 05 | Pertanyaan 05 | Referensi 05a | Referensi 05b
    6. PELAJARAN 06: FILSAFAT NON-KRISTEN DAN KRISTEN
      Tujuan: Dalam pelajaran ini peserta diharapkan dapat membedakan dengan jelas antara filsafat non-Kristen dan Kristen dan mengerti dilema yang diharapi orang non-Kristen agar dapat ditemukan titik temu untuk menginjili mereka.
      Baca Online : Pelajaran 06 | Pertanyaan 06 | Referensi 06a | Referensi 06b


Materi Pelajaran | Pertanyaan 01 | Referensi 01a | Referensi 01b | Referensi 01c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Dasar yang Kokoh
Kode Pelajaran: AUA I-P01

Pelajaran 01 - DASAR YANG KOKOH

Daftar Isi

  1. Rumah Apologetika
  2. Pengertian Apologetika Alkitabiah
  3. Kepentingan Apologetika

Doa

DASAR YANG KOKOH

"Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan dan siap sedialah pada segala sesuatu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat." (1 Pet. 3:15)

Kehidupan yang taat pada firman Tuhan adalah seperti rumah yang dibangun di atas dasar yang teguh. Akhir dari khotbah Tuhan Yesus di atas bukit berkata:

"Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakkannya." (Mat. 7:24-27)

Tuhan Yesus menunjuk pada suatu fakta yang nyata, yakni kekuatan fondasi menentukan kemampuan rumah itu untuk dapat bertahan dari deras dan kuatnya angin yang menerjang. Jika seseorang membangun rumahnya di atas pasir, rumah itu akan runtuh; tetapi jika ia membangunnya di atas batu yang kokoh, rumah itu akan tetap berdiri teguh, walaupun diterjang angin badai yang dahsyat. Mempelajari pelajaran-pelajaran ini seperti membangun sebuah rumah di mana kita akan tinggal tenang ketika ada hujan dan angin dari orang-orang tak percaya yang menyerang rumah tersebut karena kita yakin bahwa kita membangun dasar rumah kita dari batu yang kokoh -- firman Kristus.

Sebelum meletakkan dasar, sebaiknya kita mengetahui rumah macam apa yang akan kita bangun. Karena itu, mari kita mulai dengan memikirkan dasar ini.

  1. Rumah Apologetika

    Istilah "apologetika" sering kali disalahmengerti karena biasanya dipakai saat kita bersalah kepada seseorang dan kita merasa perlu mendatangi orang tersebut untuk meminta maaf. Namun dalam pelajaran-pelajaran berikut, istilah ini akan dipakai secara terbatas untuk pengertian khusus.

    Kata "apologetika" berasal dari bahasa Yunani "apologia". Kata ini sering dipakai dalam literatur non-Kristen dan Kristen (Perjanjian Baru). Contohnya, "The Apology of Socrates" adalah sebuah catatan pembelaan Socrates yang disajikannya dalam sidang di Athena. Justin Martyr, dalam "Apology"nya, berusaha memberikan pembelaan untuk saudara-saudara seimannya dari tuduhan orang-orang tidak percaya. Pada waktu Paulus berdiri di hadapan banyak orang di Yerusalem, ia berkata, "Hai saudara-saudara dan bapa-bapa, dengarkanlah apa yang hendak kukatakan kepadamu sebagai pembelaan diri." (Kis. 22:1). Berapologetika, dalam hal ini berarti memberikan pembelaan; jadi "apologetika" adalah studi yang mempelajari bagaimana mengembangkan dan menggunakan pembelaan itu secara langsung.

    Apologetika memang merupakan suatu bidang yang mendapatkan perhatian secara khusus dari berbagai agama dan filsafat. Tetapi dalam pelajaran-pelajaran ini, perhatian kita hanya akan ditujukan pada pembelaan kebenaran kristiani yang telah diwahyukan kepada manusia melalui firman Tuhan dalam Alkitab. Apologetika semacam ini disebut "apologetika Kristen", yakni pembelaan filsafat hidup Kristen terhadap berbagai bentuk filsafat hidup non-Kristen (Cornelius Van Til, Apologetics). Karena itu, kita tidak akan mempelajari apologetika secara umum, namun hanya apologetika yang berkaitan dengan kekristenan. Sesuai dengan analogi yang telah diberikan di atas, rumah yang akan kita bangun dalam pelajaran-pelajaran berikut ini adalah rumah apologetika Kristen.

  2. Pengertian Apologetika Alkitabiah

    Ketika Tuhan Yesus berbicara mengenai fondasi kokoh yang harus mendasari setiap area kehidupan kita, fondasi kokoh itu adalah firman Allah. Firman Allah adalah satu-satunya fondasi yang dapat memberikan kekuatan yang kita butuhkan untuk tetap berdiri teguh di tengah badai dosa yang dahsyat dan menghancurkan. Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah firman Allah. Merupakan pengakuan umum semua orang Kristen bahwa Alkitab adalah:

    "Segala tulisan yang diilhamkan Allah, memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik." (2 Tim. 3:16, 17)

    Alkitab adalah penuntun berotoritas yang mutlak bagi setiap orang percaya; tanpa Alkitab, kita hanya akan menerka-nerka pikiran Allah, tetapi dengan Alkitab, semua petunjuk dan pimpinan Allah dalam setiap aspek kehidupan menjadi pasti dan jelas. Seperti pemazmur katakan:

    "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." (Maz. 119:105)

    Tidaklah cukup kalau hanya menyebutkan Alkitab sebagai fondasi untuk berapologetika karena orang percaya yang tidak terlatih pun tahu bahwa otoritas Alkitab merupakan hal yang terpenting dalam kebutuhan pembelaan iman. Serangan terbesar dalam iman Kristen ditujukan kepada Alkitab itu sendiri. Alkitab sering kali dituduh mengandung banyak kesalahan dan hanya memunyai sedikit otoritas yang tidak berbeda dengan tulisan literatur lainnya. Karena kita harus sering membela keyakinan bahwa Alkitab adalah firman Tuhan, hubungan apologetika dengan Alkitab kadang-kadang disalahmengerti. Sebagai firman Tuhan, Alkitab adalah fondasi di mana kita membangun pembelaan kita dan juga merupakan salah satu kepercayaan yang harus kita pertahankan. Dua peran Alkitab ini yang kadang kita lupakan.

    Ada orang-orang Kristen yang memiliki pandangan yang keliru mengenai karakter Alkitab sebagai fondasi dan cenderung membangun pembelaan mereka hanya di atas dasar hikmat dan kemampuan berpikir manusia. Firman Tuhan ditempatkan sebagai atap dari bangunan yang didukung oleh apologetika mereka. Kesulitan untuk mendukung firman Tuhan dengan bangunan yang didasarkan pada hikmat manusia sebagai otoritas yang tertinggi, sering kali menjadi terlampau berat. Pembangun-pembangun rumah semacam itu mungkin akan menutup mata dan mengatakan hal yang sebaliknya atau menyangkalinya, tetapi kehancuran rumah tidak dapat dihindarkan, bagaikan rumah yang dibangun di atas pasir.

    Sebagai pengikut Kristus, kita harus selalu ingat untuk membangun pembelaan iman Kristen kita di atas fondasi yang kuat, yaitu Alkitab. Dengan demikian, tidak akan ada beban yang terlampau berat untuk ditunjang dan tidak akan ada angin yang terlalu kencang untuk ditahan. Apologetika harus membela Alkitab dengan ketaatan secara mutlak kepada prinsip-prinsip pembelaan dan petunjuk yang diwahyukan oleh Alkitab sendiri.

    Peranan Alkitab sebagai penuntun dalam berapologetika dapat terlihat dengan jelas dalam 1 Pet. 3:15:

    "Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.

    Pada konteks sebelumnya, Petrus menulis tentang penderitaan yang harus dihadapi orang-orang Kristen pada masa itu. Petrus tahu bahwa dalam masa penderitaan, serangan-serangan dari dunia yang berdosa sering kali dapat membuat kita lupa bahwa kita sedang melayani Kristus dan harus tetap percaya dan taat pada-Nya. Petrus berharap para pembaca suratnya akan memberikan tanggapan yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan yang para penganiaya mereka mungkin akan lontarkan. Karena itu, Petrus memberikan petunjuk untuk mempersiapkan diri menghadapi penderitaan itu dengan memohon supaya mereka memunyai sikap yang tepat terhadap Kristus.

    Kita harus memerhatikan dengan saksama bagaimana Petrus menyusun petunjuk dalam ayat-ayat berikut ini. Pertama, Petrus berkata, "Kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!" dan kemudian ia menambahkan, "siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab ...." Sebelum pembelaan atau jawaban diberikan, Kristus harus dikuduskan terlebih dulu sebagai Tuhan yang memerintah dan mengatur setiap segi kehidupan kita.

    Perhatikanlah bahwa kita harus menguduskan Kristus sebagai Tuhan dalam hati kita. Ini tidak berarti hanya emosi saja yang harus didasarkan pada Kristus, sementara pikiran kita bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Tidak juga berarti bahwa ke-Tuhanan Kristus harus tinggal hanya dalam hati kita yang terdalam dan tidak pernah memengaruhi jawaban-jawaban kita atas pertanyaan-pertanyaan dari dunia. Firman Tuhan mengajarkan bahwa hati adalah pusat personalitas kita, yang darinya "terpancar kehidupan" (Ams. 4:23). Hati tidak hanya memerintah emosi, tetapi juga pikiran dan setiap aspek kehidupan lainnya. Lebih dari itu, menguduskan Kristus sebagai Tuhan dalam hati kita berarti ke-Tuhanan-Nya juga akan efektif dalam semua yang kita ekspresikan, termasuk pembelaan iman kita. Karena itu, menurut Petrus, penaklukkan terhadap otoritas Kristus merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan pembelaan yang benar dan tepat. Sebagai Tuhan, Kristus akan memimpin pada saat kita melakukan pembelaan iman. Pimpinan ini datang melalui firman-Nya, dan tanpa pimpinan-Nya, segala sesuatu akan menjadi sia-sia.

    Dalam pelajaran berikut, kita akan memerhatikan bagaimana membangun pembelaan untuk iman Kristen yang didasarkan pada batu karang yang teguh, yaitu Alkitab. Ada beragam buku yang mengajarkan bagaimana membela kebenaran iman Kristen. Keanekaragaman ini sering kali membingungkan orang Kristen. Namun di tengah kebingungan ini, ada satu hal yang tetap jelas bagi kita, yaitu jangan mengadopsi cara berapologetika hanya karena orang-orang terkenal menggunakannya, atau karena ternyata banyak yang berhasil, atau karena memberikan kekuatan kepada iman percaya kita. Jika kita rindu membangun pembelaan yang akan selalu tegak berdiri dan tidak pernah goyah dan jatuh, kita harus membangunnya di atas dasar firman Allah.

  3. Kepentingan Apologetika

    Mempelajari apologetika dan mengembangkan kemampuan berapologetika secara benar adalah tanggung jawab setiap orang percaya. Dari yang tertua sampai yang termuda, terkaya sampai yang termiskin, terpandai sampai yang sederhana, setiap orang yang telah percaya pada keselamatan dalam Yesus Kristus bertanggung jawab untuk mempelajari apologetika. Namun sering kali, maksud baik orang Kristen melaksanakan tanggung jawab ini gagal secara serius.

    Salah satu alasan yang biasa dikemukakan untuk mengabaikan apologetika terletak pada kesalahmengertian dari apa yang Tuhan Yesus katakan dalam Mat. 10:19: "Apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga."

    Kesalahmengertian yang serius berkenaan dengan ayat ini, khususnya jika kita membaca terjemahan dari King James: "... give no thought how or what ye shall speak ...." ("... tidak perlu dipikirkan bagaimana atau apa yang harus kita katakan ...."). Ayat tersebut sering kali ditafsirkan bahwa kita harus bersandar mutlak pada pimpinan Roh Kudus saat membela iman kita. Karena itu, kita tidak perlu mempersiapkan diri dengan mempelajari cara berapologetika.

    Lebih jauh dikatakan bahwa orang yang mempelajari apologetika malah menunjukkan bahwa ia kurang beriman dan hatinya tidak sungguh-sungguh berserah pada Allah. Penafsiran seperti ini tidak dapat dipertanggungjawabkan sebab tidak memertimbangkan pengamatan secara menyeluruh terhadap konteks dari ayat tersebut dan juga firman Tuhan secara keseluruhan.

    Perlu diperhatikan bahwa Tuhan Yesus tidak mengatakan "jangan pikirkan tentang apa yang akan kamu katakan" seperti yang sering dimengerti oleh pembaca terjemahan King James. Ayat ini sebenarnya berkenaan dengan peringatan Tuhan Yesus supaya orang-orang percaya jangan cemas dan kuatir. Pada ayat-ayat sebelumnya (Mat. 10:19), Tuhan Yesus mengatakan bahwa murid-murid-Nya akan diserahkan ke hadapan para gubernur dan raja. Kenyataan bahwa mereka akan berhadapan dengan orang-orang penting seperti itu tentu merupakan pengalaman yang sangat menggentarkan. Karena itu, Tuhan Yesus mendorong dan memberi semangat kepada para murid-Nya untuk tidak cemas dan takut. Segala ketakutan harus lenyap sebab mereka tidak akan sendiri. Tuhan Yesus mengatakan bahwa Roh Kudus dari Allah akan memberikan kepada kita kekuatan dan hikmat saat kita membutuhkannya. Seperti apa yang rasul Paulus katakan: "Pada waktu pembelaanku yang pertama tidak seorang pun yang membantu aku ... tetapi Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku ...." (2 Tim. 4:16, 17)

    Sangatlah penting untuk dimengerti bahwa jaminan akan diberikannya kekuatan dari Roh Kudus tidak boleh dipakai untuk mengganti ketekunan dan kesetiaan dalam mempelajari dan mempersiapkan diri untuk berapologetika. Contoh lain, meski kita dianjurkan untuk tidak kuatir akan makanan dan pakaian (lihat Mat. 6:25, dst.), kita tetap diminta berjerih payah bekerja untuk mendapatkannya. Demikian juga halnya dengan berapologetika, kita harus memenuhi tanggung jawab kita untuk mempersiapkan diri.

    Petrus menulis bahwa kita harus "selalu bersiap sedia (sudah mempersiapkan diri) untuk memberikan jawaban" (1 Pet. 3:15). Karena itu, mereka yang mengabaikan hal ini berarti tidak taat secara mutlak kepada ke-Tuhanan Kristus dan tidak bergantung pada Roh Kudus, sebab ketaatan dan penyerahan yang sungguh-sungguh akan dinyatakan dengan mempelajari apologetika secara serius.

    Alasan lain yang sering dipakai untuk mengabaikan apologetika adalah alasan bahwa pembelaan iman merupakan pekerjaan mereka yang terlatih (seperti pendeta atau sarjana teologi), bukan tugas orang Kristen awam. Dosen teologi dan pendeta diharapkan dapat memberikan jawaban secara sistematis, sebab apologetika bersifat terlalu filosofis, abstrak, dan tidak praktis bagi kaum awam. Oleh karena itu, banyak orang Kristen yang berpikir bahwa tugas mereka hanyalah mengabarkan Injil. Dan kalau ada pertanyaan mengenai kredibilitas iman Kristen, mereka akan membawa orang itu kepada pendeta, yang dianggap sebagai "tenaga ahli".

    Memang benar bahwa dosen teologi dan pendeta memunyai tanggung jawab yang lebih berat dalam berapologetika daripada kebanyakan kaum awam, namun ini tidak berarti berapologetika adalah tanggung jawab pendeta dan dosen saja. Setiap orang percaya bertanggung jawab untuk dapat berapologetika. Ayat yang telah kita pelajari mengatakan bahwa tidak ada pengecualian bagi orang Kristen dalam berapologetika (1 Pet. 3:15). Setiap orang harus siap untuk menderita bagi Kristus dan memberikan jawaban serta pembelaan atas pengharapan mereka di dalam Kristus.

    Lebih dari itu, Paulus secara jelas menyatakan bahwa setiap orang percaya harus menjadi pembela iman. Sebagai rasul, Paulus secara khusus "dipilih untuk menjadi pembela Injil" (Flp. 1:16). Tetapi Paulus mengerti bahwa pekerjaan berapologetika bukan hanya tanggung jawabnya sendiri. Karena itu, ia berkata pada orang-orang Filipi:

    "Memang sudahlah sepatutnya aku berpikir demikian akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil." (Flp. 1:7)

    Paulus dipenjara karena berkhotbah mengenai Injil, tetapi orang-orang Kristen di Filipi tidak meninggalkannya. Mereka mengirimkan pemberian-pemberian yang disampaikan oleh wakil gereja mereka. Malahan, mereka sangat terlibat dengan pelayanan Paulus sehingga mereka juga "mengalami hal yang sama" (Flp. 1:30) seperti Paulus. Salah satu yang mereka alami dijelaskan sebagai "pembelaan dan pengukuhan dari Injil" (Flp. 1:7). Orang-orang Filipi dihargai dan dipuji karena mereka membela iman Kristen dengan serius. Demikian pula setiap orang yang membela iman Kristennya akan dihargai dan dipuji oleh Allah.

    Kepentingan apologetika dapat dilihat dari berbagai segi lain. Kemampuan untuk memertahankan kepercayaan kita akan membuat penginjilan lebih efektif. Kita tidak perlu takut mengemukakan masalah kekristenan di antara kawan-kawan dan tetangga kita bila kita mampu memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Kita tidak perlu takut menghadapi orang tidak percaya dari kalangan intelektual bila kita mampu memertahankan iman kepercayaan kita. Semangat penginjilan akan bertambah dengan memelajari apologetika. Lebih dari itu, keraguan orang yang mendengar Injil sering kali menjadi sirna setelah mendengar jawaban yang benar atas pertanyaan dari keraguan mereka.

    Selain itu, apologetika alkitabiah dapat menguatkan iman orang-orang percaya. Banyak orang Kristen yang terkena wabah keragu-raguan. Keraguan ini sering menjadi penyebab orang percaya kehilangan kemampuannya melayani Kristus. Apologetika memampukan orang percaya mengatasi berbagai macam pencobaan, seperti jatuh dalam ketidaksetiaan yang mungkin akan dialami. Kemampuan ini juga akan memungkinkan mereka kreatif dalam pelayanan.

    Bagi orang Kristen yang belum pernah mengalami keraguan, mempelajari apologetika secara sungguh-sungguh akan membuatnya semakin bertambah yakin dan bersemangat untuk lebih taat menjadi anak Tuhan. Apologetika adalah subjek yang sangat penting, yang seharusnya menjadi perhatian semua orang percaya.

    Dalam pelajaran yang berikut, kita akan membangun satu bata demi satu bata dari rumah apologetika yang sangat penting ini. Rumah ini akan dibangun secara kokoh atas dasar firman Tuhan. Satu pengharapan kami adalah orang percaya akan diperlengkapi untuk lebih baik lagi melayani Tuhan dan untuk membangun kerajaan-Nya dengan ketaatan pada-Nya. Serta secara efektif dapat memenangkan jiwa-jiwa yang terhilang.

-Akhir Pelajaran (AUA I-P01)--

Doa

Ya, Tuhan, Engkaulah dasar iman dan pengharapan kami. Ajarkan kepada kami untuk memiliki sikap yang siap sedia memertanggungjawabkan iman kami kepada mereka yang memintanya. Tapi terlebih dahulu, berikan kami kekuatan untuk menguduskan Engkau dalam hati kami sebagai Tuhan dan Juru Selamat supaya hidup kami sungguh mememuliakan Engkau. Amin.

(Catatan: Pertanyaan tertulis ada di bagian terpisah)

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 01 | Referensi 01a | Referensi 01b | Referensi 01c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Dasar yang Kokoh
Kode Pelajaran: AUA I-P01

Pelajaran 01 - DASAR YANG KOKOH

*Instruksi*

Harap setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:

  1. Bacalah Bahan Pelajaran dan semua Referensi Pelajaran 05 dengan teliti.
  2. Bacalah Pertanyaan (A) dan (B) di bawah ini, kemudian jawablah dengan benar dan lengkap.
  3. Apabila Anda mendapatkan kesulitan sehubungan dengan isi Bahan Pelajaran, silakan menghubungi Pembimbing di:
    < yulia(at)in-christ.net >

Selamat mengerjakan!

Perhatian:

Setelah Anda menjawab tugas tertulis ini, mohon kirim kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:

==> < staf-pesta(at)sabda.org >

PERTANYAAN (A):

  1. Kata Apologetika berasal dari kata Yunani, Apologia, artinya [...........].
  2. Mempelajari bidang Apologetika diumpamakan seperti membangun rumah, dimana bagian terpenting dari pembangunan ini adalah [...........].
  3. Firman Tuhan adalah satu-satunya [..........] untuk membangun rumah apologetika Kristen yang kuat.
  4. Serangan yang terbesar pada iman Kristen ditujukan kepada [........].
  5. Menurut Petrus (1 Pet. 3:15), hal pertama yang harus dilakukan orang Kristen untuk dapat melakukan apologetika dengan benar adalah [............]
  6. Tugas apologetika seharusnya dilakukan oleh [..........]
  7. Ayat yang sering disalahmengerti dan dipakai orang Kristen untuk menghindarkan diri dari tugas apologetika adalah [............]
  8. Kepentingan apologetika dapat dilihat dari beberapa segi. Sebutkan tiga kepentingan berapologetika bagi orang-orang Kristen yang melakukan:

  9. [........]
  10. [........]
  11. [........]

PERTANYAAN (B):

  1. Apakah betul bahwa banyak orang Kristen yang merasa tidak mampu untuk melakukan tugas berapologetika? Mengapa? Bagaimana mengatasinya?
  2. Sebutkan contoh tokoh-tokoh dalam Alkitab yang melakukan apologetika dan bagaimana hasilnya?

Kirimkan kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:

==> < staf-pesta(at)sabda.org >

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 01 | Pertanyaan 01 | Referensi 01b | Referensi 01c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Dasar yang Kokoh
Kode Referensi: AUA I-R01a

Referensi AUA I-R01a diambil dari:

Judul buku: Pedoman Apologetika Kristen
Judul artikel: Mengenai Apologetika
Pengarang: Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2006
Halaman: 23 -- 31

MENGENAI APOLOGETIKA

  1. Jawaban-Jawaban terhadap Keberatan-Keberatan dalam Melakukan Apologetik. Kebanyakan orang tidak senang atau mengabaikan apologetik karena hal itu tampaknya bersifat terlalu intelektual, abstrak, dan rasional. Mereka mengemukakan bahwa kehidupan, kasih, moralitas, dan kekudusan itu jauh lebih penting daripada akal.

    Mereka yang memiliki pola berpikir sedemikian memang benar; namun mereka tidak sempat memperhatikan bahwa sebenarnya mereka pun sedang terlibat dalam proses berpikir. Kita tak dapat menghindar dari hal ini. Yang hanya dapat kita hindari adalah melakukannya secara baik. Selain itu, akal itu sebenarnya adalah sahabat, bukan musuh iman dan menjadi sahabat kekudusan, karena akal itu adalah jalan menuju kebenaran, dan kekudusan berarti mengasihi Allah yang adalah Kebenaran.

    Bukan hanya berpikir secara apologetik mengantar seseorang kepada iman dan kekudusan, melainkan iman dan kekudusan juga mengantar kepada berpikir secara apologetik. Karena kekudusan berarti mengasihi Allah, dan mengasihi Allah berarti menaati kehendak Allah, dan kehendak Allah bagi kita adalah mengenal Dia dan "siap sedia memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu" (1 Ptr. 3:15).

    Akhirnya, fakta bahwa apologetik tidak sepenting seperti kasih tidak berarti bahwa apologetik itu tidak sangat, sangat penting. Fakta bahwa kesehatan tidak sepenting seperti hikmat tidak berarti bahwa kesehatan itu tidak sangat penting - misalnya jauh lebih penting cari uang.

    Seluruh argumentasi yang dikemukakan dalam buku ini, dan di dalam buku-buku lain mengenai apologetik yang pernah ditulis, kurang nilainya di hadapan Allah dibandingkan dengan perbuatan kasih kepadanya atau kepada sesama Anda. Tetapi walaupun salah satu dari argumentasi ini sangat baik, argumentasi itu sendiri memiliki nilai yang melebihi nilai uang yang Anda belanjakan.

    Sebuah alasan lain yang lebih dalam mengapa sebagian orang tidak menyenangi hal berpikir secara apologetik adalah karena mereka memutuskan untuk percaya atau tidak dengan hati mereka ketimbang dengan kepala mereka. Bahkan argumentasi yang paling sempurna pun tidak menggerakkan hati orang seperti emosi, keinginan, dan pengalaman nyata. Kebanyakan dari kita mengetahui bahwa hati kita, bukan kepala kita, yang menjadi pusat kita. Tetapi apologetik masuk sampai ke hati kita melalui kepala kita. Kepala itu sangat penting karena berfungsi menjadi pintu yang menuju ke hati. Kita hanya akan dapat mengasihi apa yang kita kenal atau ketahui.

    Selanjutnya, akal itu minimal memiliki kuasa untuk memveto. Kita tak dapat mempercayai sesuatu yang kita ketahui tidak benar, dan kita tak dapat mengasihi sesuatu yang kita percayai tidak nyata. Argumentasi-argumentasi mungkin tidak akan mengantar Anda kepada iman, tetapi pasti hal-hal itu dapat menjauhkan Anda dari iman. Karena itu kita harus terjun dan ikut serta dalam peperangan argumentasi ini.

    Argumentasi-argumentasi dapat mengantar Anda kepada iman, sama seperti sebuah mobil dapat mengantar Anda ke tepi pantai. Mobil itu rak yang dapat berenang; Anda harus meloncat masuk ke dalam air untuk dapat berenang. Namun Anda tak dapat meloncat ke dalam air apabila Anda berada ratusan kilometer dari pantai laut. Anda pertama-tama membutuhkan mobil yang akan membawa Anda ke tempat di mana Anda dapat membuat loncatan iman ke dalam air laut. Iman adalah sebuah loncatan, namun itu adalah loncatan dalam terang, bukan dalam kegelapan.

    Kepala itu laksana seorang navigator kapal. Hati itu laksana kapten kapal. (Yang dimaksud Kitab Suci dengan "hati" lebih dekat dengan "kehendak" daripada "perasaan".) Keduanya penting. Masing-masing saling menaati satu dengan yang lain dengan cara yang berbeda.

  2. Alasan-Alasan untuk Melakukan Apologetik

    Alasan pertama, bagi orang Kristen adalah karena ketaatan kepada kehendak Allah yang dinyatakan dalam firman-Nya. Penolakan untuk memberi pertanggungjawaban (alasan) bagi iman merupakan ketidaktaatan kepada Allah. Sekurang-kurangnya ada dua alasan praktis mengapa kita melakukan apologetik, yaitu: untuk meyakinkan orang tidak percaya dan untuk mengajar dan membangun orang percaya. Kalaupun tak ada orang tak percaya yang perlu diyakinkan, kita masih harus memberikan pertanggungjawaban atas iman kita, karena iman itu tidak berdiri sendiri, melainkan menghasilkan atasan- atasan sama seperti iman itu menghasilkan perbuatan baik. Iman itu mendidik akal dan akal memeriksa isi dari "iman yang telah disampaikan kepada orang- orang kudus" (Yud. 3).

    Selain itu, iman bagi orang Kristen adalah iman kepada Allah yang adalah kasih, Kekasih jiwa kita, dan Yang kita kasihi; dan semakin hati kita mengasihi seseorang, semakin besar keinginan pikiran kita untuk mengenal pribadi yang kita kasihi itu. Iman dengan sendirinya mengantar kepada akal melalui perantaraan kasih. Jadi iman itu mengantar kepada akal, dan akal mengantar kepada iman - itulah yang ingin diperlihatkan oleh buku ini. Demikianlah akal dan iman adalah sahabat, sekawan, pasangan, partner.

    Apologetik itu juga dapat diumpamakan seperti peperangan karena iman dan akal sebagai dua sahabat itu memiliki musuhmusuh yang sama. Argumentasi-argumentasi apologetik adalah seumpama perlengkapan peperangan. Perhatikan bagaimana Paulus menjelaskan tentang peperangan rohani di mana apologetik itu juga turut terlibat:

    "Memang kami masih hidup di dunia, tetapi kami tidak berjuang secara duniawi, karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng. Kami mematahkan setiap siasat orang dan merobohkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus" (2 Kor. 10:3-5).

    Dalam peperangan ini kita mempertahankan iman maupun akal, karena akal adalah sahabat kebenaran, dan ketiadaan iman itu adalah ketiadaan kebenaran. Dalam mempertahankan iman, kita menguasai kembali teritorial pikiran yang kita miliki, atau yang menjadi milik Allah. Seluruh teritorial itu adalah milik Allah. Sebagaimana yang dikatakan Arthur Holmes, "Seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah."

    Namun peperangan itu adalah untuk melawan ketidakpercayaan, bukan untuk melawan orang tidak percaya, sama seperti insulin yang diperuntukkan bagi penyakit diabetes, bukannya untuk penderita diabetes. Sasaran dari apologetik bukanlah kemenangan, melainkan kebenaran. Kedua pihak akan menang. Ucapan Abraham Lincoln juga dapat diterapkan kepada argumentasi apologetik: "Cara yang terbaik untuk dapat mengalahkan musuh Anda adalah menjadikannya teman Anda."

    Kami mengundang para kritik!ts, mereka yang skeptis, untuk berdialog dengan kami dan menulis kepada kami - demi mewujudkan kebersamaan dalam mencari kebenaran, dan demi untuk (kurang penting) memperbaiki edisi-edisi masa depan buku ini. Salah satu dari beberapa hal dalam kehidupan ini yang tak dapat membahayakan kita, adalah mencari kebenaran itu secara jujur.

  3. Mengenai Metodologi

    Suatu pendahuluan atau perkenalan kepada apologetik biasanya membahas mengenai metodologi. Namun kami tidak melakukan hal ini. Kami percaya bahwa dewasa ini pertanyaan-pertanyaan yang sekunder mengenai metodologi sering menyelewengkan perhatian kita dari pertanyaan-pertanyaan primer mengenai kebenaran. Tujuan kami adalah "kembali kepada hal-hal dasar". Kami tidak memiliki kapak metodologi khusus untuk menebang. Kami coba menggunakan standar- standar rasionalitas yang masuk akal dan prinsip-prinsip logika yang diterima secara universal dalam pembahasan-pembahasan kami. Kami mengumpulkan dan mempertajam argumentasi-argumentasi seperti orang-orang yang senang koleksi batu-batu permata berharga yang mengumpulkan dan kemudian memoles batu-batu itu supaya kelihatan lebih indah; para pembaca dapat menyusunnya sesuai dengan berbagai situasi atau latar belakang mereka sendiri.

    Namun kami harus menyampaikan satu hal mengenai metodologi, yaitu: bagaimana untuk tidak menggunakan buku [bahan] ini.

    Kami telah mengatakan bahwa argumentasi-argumentasi apologetik adalah seperti perlengkapan perang. Ini merupakan metafora yang berbahaya, karena perlengkapan perang ini tak pernah digunakan untuk memukul kepala orang. Argumentasi adalah kegiatan manusia yang merupakan bagian dari konteks sosial dan psikologis yang lebih luas. Konteks ini mencakup (1) jiwa seutuhnya (psyche) dari dua orang yang terlibat dalam suatu kegiatan dialog, (2) hubungan antara dua orang, (3) situasi di mana mereka sendiri sedang berada, dan (4) situasi sosial, kultural, dan historikal yang lebih luas di sekitar mereka. Bahkan faktor-faktor nasional, politik, rasial, dan seksual pun mempengaruhi situasi apologetis. Seseorang tidak boleh menggunakan argumentasi-argumentasi sama yang digunakan dalam berdiskusi dengan wanita India ketika berhadapan dengan seorang remaja Afrika-Amerika dari Los Angeles.

    Dengan perkataan lain, walaupun argumentasi-argumentasi itu adalah senjata-senjata, fungsinya lebih menyerupai sebuah pedang daripada sebuah bom. Kita ketahui bahwa bom tidak akan mempedulikan sasarannya. Juga tidak perlu banyak menjadi masalah tentang siapa yang menjatuhkan bom itu. Namun untuk sebuah pedang, sangat penting sekali siapa yang mengayunkannya, karena pedang itu adalah kepanjangan tangan dari orang yang memegangnya. Demikian pula, sebuah argumentasi dalam apologetik, bila benar-benar digunakan dalam dialog, merupakan kepanjangan tangan dari orang yang terlibat dalam argumentasi itu. Nada suara, kesungguhan, kepedulian, perhatian, sikap main mendengar, dan menghargai dari orang yang berargumentasi sangat penting dan menentukan seperti logikanya, bahkan terkadang lebih penting. Dunia ini dapat dimenangkan bagi Kristus bukan melalui argumentasi-argumentasi, melainkan melalui kekudusan: "Ucapan Anda terdengar sedemikian nyaring sehingga saya hampir tak dapat mendengarkan apa yang Anda katakan."

  4. Kebutuhan Akan Apologetik Dewasa Ini

    Apologetik secara khusus sangat dibutuhkan dewasa ini, khususnya di saat dunia sedang diperhadapkan pada tiga persimpangan jalan dan berbagai krisis.

    1. Peradaban Barat untuk pertama kalinya dalam sejarah sedang menghadapi bahaya sekarat. Alasannya bersifat spiritual. Peradabannya sedang kehilangan kehidupannya, jiwanya; dan jiwa yang dimaksud adalah iman Kristen. Infeksi yang sedang mematikannya bukan multikulturalisme kemajemukan budaya atau agama dan kepercayan lain - melainkan monokulturalisme sekularisme - ketiadaan iman, ketiadaan jiwa. Abad kita ini ditandai oleh pembasmian kelompok orang tertentu, kekacauan seksual, dan penyembahan uang. Apabila para nabi tidak mengucapkan kebohongan, maka kita akan mengalami kehancuran, kecuali jika kita bertobat dan "memutar kembali jarum jamnya" (bukan secara teknologi, melainkan secara spiritual). Gereja Yesus Kristus tidak akan pernah mati, namun peradaban kita bisa mati. Apabila pintu-pintu neraka tidak akan dapat menguasai gereja, maka dunia ini pun pasti tidak akan bisa melakukannya. Kami melaksanakan apologetik bukan untuk menyelamatkan gereja, melainkan untuk menyelamatkan dunia.
    2. Kita bukan hanya sedang nenghadapi krisis kultural dan kemasyarakatan, melainkan kita pun sedang berada di tengah krisis filosofis dan intelektual. Krisis yang kita sedang hadapi adalah "krisis kebenaran". Ide mengenai kebenaran objektif semakin diabaikan, ditinggalkan atau diserang - bukan hanya dari sisi praktis, melainkan juga dari sisi teoritis, secara langsung dan terbuka, terutama oleh lembaga-lembaga pendidikan dan media, yang membentuk pikiran-pikiran kita.
    3. Hal yang terakhir, tingkat yang terdalam dari krisis yang kita hadapi bukanlah bersifat kultural atau intelektual, melainkan spiritual. Yang dipertaruhkan adalah jiwa-jiwa manusia, lelaki maupun wanita yang baginya Kristus telah mati. Sebagian orang berpikir bahwa hari kiamat telah dekat. Kami bersikap skeptis terhadap ramalan seperti itu, namun kami mengetahui satu hal yang pasti: setiap orang sedang mendekati ajalnya, kematian dan hukuman kekal setiap hari. Peradaban kita bisa saja bertahan lagi sampai satu abad lagi, tetapi Anda sendiri tidak akan dapat bertahan. Anda segera akan menghadap Tuhan tanpa dapat menyembunyikan sesuatu. Sebaiknya Anda mulai belajar mengasihi dan mencari terang itu selama masih ada kesempatan, supaya Anda akan menikmati sukacita dan bukan ketakutan untuk selama-lamanya. Adalah hal yang tak sesuai dewasa ini untuk menulis hal-hal seperti ini pada masa kini -- suatu kenyataan yang berbicara banyak sekali tentang kesehatan spiritual dari masa gaya burung unta yang sedang kita hadapi ini.

  5. Kekristenan Belaka atau Ortodoks

    Kami membatasi diri kami dalam buku ini pada kepercayaan kepercayaan inti yang dikenal oleh seluruh orang Kristen ortodoks - yang disebut oleh C.S. Lewis "Kekristenan Belaka". Istilah belaka tidak diartikan sesuatu "denominasi yang terendah" yang abstrak, melainkan menunjukkan intisari atau pokok iman seperti yang disimpulkan dalam Pengakuan Iman Rasuli. Intisari pengajaran yang kuno dan tak berubah ini telah mempersatukan orang-orang, percaya yang berbeda-beda satu dengan yang lain dan telah dipergunakan pula untuk menentang orang yang tidak percaya yang berada di banyak gereja dan denominasi maupun yang berada di luar. Para teolog liberal (atau modernis, atau demytologis atau revisionis) tidak akan senang dengan buku ini, terutama tentang argumentasi- argumentasinya mengenai mukjizat-mukjizat, keabsahan Kitab Suci, realita kebangkitan, keilahian Kristus, dan realita mengenai surga dan neraka. Kami mengundang mereka untuk bergabung bersama-sama dengan mereka yang mengaku diri bukan orang-orang percaya untuk coba mengemukakan sanggahan-sanggahan terhadap argumentasi- argumentasi ini. Kami juga mengundang mereka untuk mulai mempraktekkan "pemberian label kebenaran" yang lebih akurat dalam menjelaskan posisi mereka sendiri.

    Para pembaca liberal mungkin akan mencap buku ini sebagai buku "konservatif" atau "sayap kanan". Istilah-istilah itu tidak tepat atau tak cocok.

    Istilah "konservatif" yang berlawanan dengan "progresif", mengacu kepada sesuatu dalam waktu dan sejarah, bukan kebenaran-kebenaran kekal, melainkan pendapat-pendapat atau cara-cara masa lampau yang bertentangan dengan mash depan. Sesuatu yang "progresif" pada suatu waktu dapat menjadi "konservatif" pada waktu yang lain. Pertanyaan apakah Allah, surga, atau mukjizat-mukjizat ada merupakan pertanyaan yang tidak menyangkut pendapat-pendapat yang terikat dengan waktu, melainkan menyangkut realita-realita yang tidak berubah.

    Istilah "sayap kanan" mengacu kepada orientasi politik. pasca Revolusi Perancis, yang bertentangan dengan "sayap kiri" (kira-kira sosialis), yang sama sekali tak ada kaitannya dengan apologetik Kristen. Kebenaran atau kekeliruan sosialisme dalam politik tak ada kaitannya dengan eksistensi atau noneksistensi Allah.

    Istilah teologis yang tepat bagi mereka yang menamakan diri teolog "liberal" atau "sayap kiri" atau "progresif" adalah "heretik". Secara definisi, seorang heretik adalah seorang yang menyeleweng atau meninggalkan doktrin yang esensial (dari istilah Yunani haireomai yang berarti "memilih sendiri"). Oleh karena kebanyakan kaum heretik masa kini tidak lagi percaya kepada pokok-pokok doktrin esensial, maka mereka tidak menerima label ini.

    Keberatan yang mereka kemukakan masih memiliki bobot karena gereja pernah ternoda oleh Peristiwa Inquisisi, di mana gereja melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan kaurri liberal yaitu: mengacaukan ajaran sesat dengan orang-orang sesat. Peristiwa Inquisisi Spanyol keliru menghancurkan orang-orang heretik demi untuk dengan benar menghancurkan ajaran heretik; kaum "liberal" modern keliru mengasihi ajaran heretik demi untuk dengan benar mengasihi kawan heretik.

    Apologetik bertujuan membela kekristenan ortodoks. Para penyeleweng dari kebenaran tidak senang berapologetik untuk kekristenan ortodoks karena mereka tidak mempercayai kekristenan ortodoks itu. Mereka lebih senang meminta maaf untuk itu, daripada berupaya membelanya.

----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 01 | Pertanyaan 01 | Referensi 01a | Referensi 01c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Dasar yang Kokoh
Kode Referensi: AUA I-R01b

Referensi AUA I-R01b diterjemahkan dari:

Nama situs: Carm
URL: http://www.carm.org/apologetics.htm
Judul artikel: Introduction to Apologetics
Pengarang: Matthew J. Slick
Penerbit: 1995 - 2007

PENGANTAR APOLOGETIKA Istilah "apologetika" berasal dari kata Yunani, "apologia". Artinya suatu pembelaan-pembelaan lisan. Istilah ini dipakai delapan kali di Perjanjian Baru: Kis. 22:1; 25:16; 1Kor. 9:3; 2Kor. 7:11; Flp. 1:7-8; 2 Tim. 4:16 dan 1Pet. 3:15.

"Kuduskanlah KRISTUS di dalam hatimu sebagai TUHAN! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat." (1 Petrus 3:15. TB.)

"Apologetika" adalah pekerjaan untuk meyakinkan orang agar mengubah cara pandang mereka". Apologetika Kristen adalah cabang kekristenan yang berkenaan dengan hal menjawab segala kritik yang melawan atau pertanyaan tentang wahyu Allah di dalam Kristus dan Alkitab. Hal ini termasuk mempelajari transmisi manuskrip alkitabiah, filsafat, biologi, matematika, evolusi, dan logika. Tetapi apologetika dapat juga berisi suatu jawaban sederhana terhadap pertanyan tentang Yesus atau sebuah ayat Alkitab.

Apologetika bisa bersifat defensif dan opensif. Filipi 1:7-8, memberikan kepada kita sifat defensifnya, "Memang sudahlah sepatutnya aku berpikir demikian akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil. Sebab Allah adalah saksiku betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian." 2 Korintus 10:5-6 memberikan kepada kita sifat ofensifnya, "Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus dan kami siap sedia juga untuk menghukum setiap kedurhakaan, bila ketaatan kamu telah menjadi sempurna." Seorang pembela dapat dan harus membela alasannya untuk percaya (1 Pet. 3:15). Tetapi dia juga boleh menyerang. Ia dapat mencari orang-orang yang melawan Kekristenan (2 Kor. 10:5). Tentu, ia harus mengadakan persiapan sebelumnya dan semua pembelaan harus dilakukan dengan kelemahlembutan.

Apologetika adalah pekerjaan untuk meyakinkan orang agar mengubah cara pandang mereka. Hal ini mirip dengan berkhotbah karena tujuan akhirnya adalah membela dan menyajikan keabsahan dan pentingnya Injil. Ini adalah sebuah upaya untuk membujuk pendengar untuk mengubah keyakinan dan hidup mereka untuk menerimaan kebenaran alkitabiah dan menerima keselamatan dari Kristus.

Pada dasarnya, apologetika adalah sebuah pembuktian atau presupposisi[onal]. Apologetika evidesial berhubungan dengan bukti- bukti kekristenan, seperti: kebangkitan Yesus, manuskrip Alkitab, penggenapan nubuatan, mujizat-mujizat, dll. Apologetika presuposisional berhubungan dengan presuposisi-presuposisi dari pihak-pihak yang menantang Kekristenan, karena presuposisi- presuposisi itu berpengaruh pada bagaimana sudut pandang seseorang dalam melihat bukti dan alasan. Di beberapa debat dalam apologetika Kristen berkaitan dengan penggunaan bukti-bukti, alasan-alasan, filsafat-filsafat, dsb.

Haruskah seorang apologis hanya menggunakan kriteria yang dapat diterima oleh orang yang tidak percaya? Apakah kita boleh menggunakan Alkitab sebagai sebuah pembelaan posisi kita atau haruskah kita membuktikan Kekristenan tanpa Alkitab? Apakah alasan saja dapat membuktikan kebenaran keberadaan Allah atau kebenaran kekristenan? Ada berapa seharusnya alasan dan bukti yang digunakan di dalam terang pengajaran Kitab Suci sehingga Allahlah yang membukakan pikiran untuk dapat memahami? Apakah doa, penggunaan Alkitab, dan sifat keberdosaan dari orang tidak percaya berperan di dalam kesaksian? Bagaimana faktor-faktor itu berpengaruh dalam membawa seseorang yang tidak percaya untuk beriman? Pertanyaan-pertanyaan ini mudah; jawabannya ialah tidak.

Yesus memilih seorang yang cerdas-seorang terdidik secara agamawi sebagai rasul. Dia adalah Paulus. Rasul yang lain adalah nelayan sederhana, seorang pemungut pajak, seorang doktor, dll. Mereka adalah orang-orang biasa pada masanya yang bersedia dan rindu untuk dipakai oleh Tuhan. Mereka dilengkapi oleh Roh Allah dan mereka menjadi seperti bejana Allah. Allah menggunakan segala sesuatu untuk kemuliaan-Nya. Jadi, kita melakukan tugas apologetika atas dasar iman.

Tuhan sudah memanggil setiap orang Kristen untuk mempersiapkan suatu pembelaan tentang imannya. Artinya, Anda dipanggil untuk memberikan alasan terhadap pertanyaan tentang kekeristenan. Anda tidak harus seorang bergelar Ph.D. atau Anda telah kuliah di Seminari. Tetapi Anda harus siap, paling tidak memberikan sebuah jawaban untuk kepercayaan Anda. Jika Anda menemui bahwa Anda tidak dapat melakukannya, berdoalah sungguh-sungguh dan mulailah belajar.

Apa Yang Anda Pelajari?
-----------------------

Anda dapat berdoa dan meminta Tuhan untuk mengajar Anda tentang apa yang Dia inginkan untuk Anda ketahui. Mintalah kepada-Nya untuk memberikan kepada Anda suatu beban untuk sesuatu yang Anda pelajari. Tidak masalah, apapun itu. Minta saja! Apa saja yang membuat Anda tertarik di dalamnya adalah apa yang harus Anda pelajari tentangnya karena kemungkinan sesuatu yang Allah ingin Anda ketahui untuk dipakai kelak. Seperti alat-alat, lebih banyak yang Anda punya, maka lebih banyak yang dapat Anda kerjakan.

Cara lain untuk menemukan kehendak Allah bagi Anda adalah belajar dalam segala keadaan. Andaikanlah, ada seorang Saksi Yehova datang di depan pintu rumah Anda dan berdebat tentang keilahian Kristus dengan Anda dan Anda tidak mengetahui bagaimana caranya untuk membela secara Alkitabiah. Dalam kasus ini, Anda sadar bahwa Anda perlu belajar ayat-ayat pelajaran Alkitabiah yang mengajarkan bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi Manusia. Atau mungkin seorang teman kerja bertanya kepada Anda tentang bagaimana Anda tahu bahwa Alkitab itu benar? Jika Anda tidak mempunyai suatu jawaban, berdoa dan mulailah mencari jawabannya. Pergilah ke toko buku Kristen dan belilah beberapa judul buku yang dimaksud. Ceritakan ke Pastor Anda. Anda akan belajar.

Suatu saat Allah akan membuat ayat atau judul di dalam Alkitab menjadi "hidup" bagi Anda dan mungkin ayat itu akan nampak aneh atau menarik perhatian Anda. Anda bisa mencari komentari atau buku tafsiran dan mempelajarinya. Anda juga dapat bertanya kepada yang lain tentang hal ini. Dengan demikian, Anda telah mempersiapkan diri Anda sendiri dengan belajar untuk persiapan menjawab pertanyaan- pertanyaan dan hal-hal penting lain dari seseorang untuk digiring kepada kebenaran. Anda akan terpesona betapa banyak detail-detail yang dapat digunakan oleh Allah untuk menolong Anda dalam kesaksian Anda, bahkan melaui semuanya itu, ayat-ayat yang Anda anggap asing tiba-tiba "hidup."

----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 01 | Pertanyaan 01 | Referensi 01a | Referensi 01b

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Dasar yang Kokoh
Kode Referensi: AUA I-R01c

Referensi AUA I-R01c diambil dari:

Judul buku: Pedoman Apologetik Kristen 1
Judul artikel: Alasan-alasan untuk Melakukan Apologetika
Penulis: Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung 2006
Halaman: 25 -- 29

ALASAN-ALASAN UNTUK MELAKUKAN APOLOGETIKA

Alasan pertama, bagi orang Kristen adalah karena ketaatan kepada kehendak Allah yang dinyatakan dalam firman-Nya. Penolakan untuk memberi pertanggungjawaban (alasan) bagi iman merupakan ketidaktaatan kepada Allah. Sekurang-kurangnya ada dua alasan praktis mengapa kita melakukan apologetik, yaitu: untuk meyakinkan orang tidak percaya dan untuk mengajar dan membangun orang percaya.

Kalaupun tak ada orang tak percaya yang perlu diyakinkan, kita masih harus memberikan pertanggungjawaban atas iman kita, karena iman itu tidak berdiri sendiri, melainkan menghasilkan alasan-alasan sama seperti iman itu menghasilkan perbuatan baik. iman itu mendidik akal dan akal memeriksa isi dari "iman yang telah disampaikan kepada orang- orang kudus" (Yud. 3).

Selain itu, iman bagi orang Kristen adalah iman kepada Allah yang adalah kasih, Kekasih jiwa kita, dan Yang kita kasihi; dan semakin hati kita mengasihi seseorang, semakin besar keinginan pikiran kita untuk mengenal pribadi yang kita kasihi itu. Iman dengan sendirinya mengantar kepada akal melalui perantaraan kasih. Jadi iman itu mengantar kepada akal, dan akal mengantar kepada iman - itulah yang ingin diperlihatkan oleh buku ini. Demikianlah akal dan iman adalah sahabat, sekawan, pasangan, partner.

Apologetik itu juga dapat diumpamakan seperti peperangan karena iman dan akal sebagai dua sahabat itu memiliki musuh-musuh yang sama. Argumentasi-argumentasi apologetik adalah seumpama perlengkapan peperangan. Perhatikan bagaimana Paulus menjelaskan tentang peperangan rohani di mana apologetik itu juga turut terlibat:

"Memang kami masih hidup di dunia, tetapi kami tidak berjuang secara duniawi, karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng. Kami mematahkan setiap siasat orang dan merobohkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus" (2 Kor. 10:3-5).

Dalam peperangan ini kita mempertahankan iman maupun akal, karena akal adalah sahabat kebenaran, dan ketiadaan iman itu adalah ketiadaan kebenaran. Dalam mempertahankan iman, kita menguasai kembali teritorial pikiran yang kita miliki, atau yang menjadi milik Allah. Seluruh teritorial itu adalah milik Allah. Sebagaimana yang dikatakan Arthur Holmes, "Seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah."

Namun peperangan itu adalah untuk melawan ketidakpercayaan, bukan untuk melawan orang tidak percaya, sama seperti insulin yang diperuntukkan bagi penyakit diabetes, bukannya untuk penderita diabetes. Sasaran dari apologetik bukanlah kemenangan, melainkan kebenaran. Kedua pihak akan menang. Ucapan Abraham Lincoln juga dapat diterapkan kepada argumentasi apologetik: "Cara yang terbaik untuk dapat mengalahkan musuh Anda adalah menjadikannya teman Anda."

Kami mengundang para kritikus: mereka yang skeptis, untuk berdialog dengan kami dan menulis kepada kami - demi mewujudkan kebersamaan dalam mencari kebenaran, dan demi untuk (kurang penting) memperbaiki edisi-edisi masa depan buku ini. Salah satu dari beberapa hal dalam kehidupan ini yang tak dapat membahayakan kita, adalah mencari kebenaran itu secara jujur.

Mengenai Metodologi

Suatu pendahuluan atau perkenalan kepada apologetik biasanya membahas mengenai metodologi. Namun kami tidak melakukan hal ini. Kami percaya bahwa dewasa ini pertanyaan-pertanyaan yang sekunder mengenai metodologi sering menyelewengkan perhatian kita dari pertanyaan- pertanyaan primer mengenai kebenaran. Tujuan kami adalah "kembali kepada hal-hal dasar". Kami tidak memiliki kapak metodologi khusus untuk menebang. Kami coba menggunakan standar-standar rasionalitas yang masuk akal dan prinsip-prinsip logika yang diterima secara universal dalam pembahasan-pembahasan kami. Kami mengumpulkan dan mempertajam argumentasi-argumentasi seperti orang-orang yang senang koleksi batu-batu permata berharga yang mengumpulkan dan kemudian memoles batu-batu itu supaya kelihatan lebih indah; para pembaca dapat menyusunnya sesuai dengan berbagai situasi atau latar belakang mereka sendiri.

Namun kami harus menyampaikan satu hal mengenai metodologi, yaitu: bagaimana untuk tidak menggunakan buku ini.

Kami telah mengatakan bahwa argumentasi-argumentasi apologetik adalah seperti perlengkapan perang. Ini merupakan metafora yang berbahaya, karena perlengkapan perang ini tak pernah digunakan untuk memukul kepala orang. Argumentasi adalah kegiatan manusia yang merupakan bagian dari konteks sosial dan psikologis yang lebih luas. Konteks ini mencakup (1) jiwa seutuhnya (psyche) dari dua orang yang terlibat dalam suatu kegiatan dialog, (2) hubungan antara dua orang, (3) situasi di mana mereka sendiri sedang berada, dan (4) situasi sosial, kultural, dan historikal yang lebih luas di sekitar mereka. Bahkan faktor-faktor nasional, politik, rasial, dan seksual pun mempengaruhi situasi apologetis. Seseorang tidak boleh menggunakan argumentasi- argumentasi sama yang digunakan dalam berdiskusi dengan wanita India ketika berhadapan dengan seorang remaja Afrika-Amerika dari Los Angeles.

Dengan perkataan lain, walaupun argumentasi-argumentasi itu adalah senjata-senjata, fungsinya lebih menyerupai sebuah pedang daripada sebuah bom. Kita ketahui bahwa bom tidak akan mempedulikan sasarannya. Juga tidak perlu banyak menjadi masalah tentang siapa yang menjatuhkan bom itu. Namun untuk sebuah pedang, sangat penting sekali siapa yang mengayunkannya, karena pedang itu adalah kepanjangan tangan dari orang yang memegangnya. Demikian pula, sebuah argumentasi dalam apologetik, bila benar-benar digunakan dalam dialog, merupakan kepanjangan tangan dari orang yang terlibat dalam argumentasi itu. Nada suara, kesungguhan, kepedulian, perhatian, sikap mau mendengar, dan menghargai dari orang yang berargumentasi sangat penting dan menentukan seperti logikanya, bahkan terkadang lebih penting. Dunia ini dapat dimenangkan bagi Kristus bukan melalui argumentasi- argumentasi, melainkan melalui kekudusan: "Ucapan Anda terdengar sedemikian nyaring sehingga saya hampir tak dapat mendengarkan apa yang Anda katakan."

Kebutuhan Akan Apologetik Dewasa Ini

Apologetik secara khusus sangat dibutuhkan dewasa ini, khususnya di saat dunia sedang diperhadapkan pada tiga persimpangan jalan dan berbagai krisis.

  1. Peradaban Barat untuk pertama kalinya dalam sejarah sedang menghadapi bahaya sekarat. Alasannya bersifat spiritual. Peradabannya sedang kehilangan kehidupannya, jiwanya; dan jiwa yang dimaksud adalah iman Kristen. Infeksi yang sedang mematikannya bukan multikulturalisme kemajemukan budaya atau agama dan kepercayan lain - melainkan monokulturalisme sekularisme - ketiadaan iman, ketiadaan jiwa. Abad kita ini ditandai oleh pembasmian kelompok orang tertentu, kekacauan seksual, dan penyembahan uang. Apabila para nabi tidak mengucapkan kebohongan, maka kita akan mengalami kehancuran, kecuali jika kita bertobat dan "memutar kembali jarum jamnya" (bukan secara teknologi, melainkan secara spiritual). Gereja Yesus Kristus tidak akan pernah mati, namun peradaban kita bisa mati. Apabila pintu-pintu neraka tidak akan dapat menguasai gereja, maka dunia ini pun pasti tidak akan bisa melakukannya. Kami melaksanakan apologetik bukan untuk menyelamatkan gereja, melainkan untuk menyelamatkan dunia.
  2. Kita bukan hanya sedang menghadapi krisis kultural dan kemasyarakatan, melainkan kita pun sedang berada di tengah krisis filosofis dan intelektual. Krisis yang kita sedang hadapi adalah "krisis kebenaran" (menggunakan istilah dari Ralph Martin). Ide mengenai kebenaran objektif semakin diabaikan, ditinggalkan atau diserang - bukan hanya dari sisi praktis, melainkan juga dari sisi teoritis, secara langsung dan terbuka, terutama oleh lembaga-lembaga pendidikan dan media, yang membentuk pikiran-pikiran kita. (Lihat Pasal 16 untuk pembelaan mengenai konsep mendasar tentang kebenaran objektif.)
  3. Hal yang terakhir, tingkat yang terdalam dari krisis yang kita hadapi bukanlah bersifat kultural atau intelektual, melainkan spiritual. Yang dipertaruhkan adalah jiwa-jiwa manusia, lelaki maupun wanita yang baginya Kristus telah mati. Sebagian orang berpikir bahwa hari kiamat telah dekat. Kami bersikap skeptis terhadap ramalan seperti itu, namun kami mengetahui satu hal yang pasti: setiap orang sedang mendekati ajalnya, kematian dan hukuman kekal setiap hari. Peradaban kita bisa saja bertahan lagi sampai satu abad lagi, tetapi Anda sendiri tidak akan dapat bertahan. Anda segera akan menghadap Tuhan tanpa dapat menyembunyikan sesuatu. Sebaiknya Anda mulai belajar mengasihi dan mencari terang itu selama masih ada kesempatan, supaya Anda akan menikmati sukacita dan bukan ketakutan untuk selama-lamanya. Adalah hal yang tak sesuai dewasa ini untuk menulis hal-hal seperti ini pada masa kini -- suatu kenyataan yang berbicara banyak sekali tentang kesehatan spiritual dari masa gaya burung unta yang sedang kita hadapi ini.

Buku ini diupayakan untuk berfungsi seperti peta penunjuk jalan dalam mencari kebenaran tentang Allah. Peta penunjuk jalan sangat berguna setiap waktu, khususnya pada masa-masa ini di mana terjadi banyak perubahan besar sehingga banyak orang berkeliling-keliling dalam keadaan tersesat, sedangkan peta yang tua itu (Alkitab) dihina, dirusak atau ditinggalkan.

----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA


Materi Pelajaran | Pertanyaan 02 | Referensi 02a | Referensi 02b | Referensi 02c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Permulaan dari Segalanya
Kode Pelajaran: AUA I-P02

Pelajaran 02 - PERMULAAN DARI SEGALANYA

Daftar Isi

  1. Allah dan Ciptaan-Nya
    1. Allah adalah Allah yang Tidak Bergantung atas Apa Pun (Siapa Pun)
    2. Ciptaan Bergantung pada Allah
    3. Allah Menyatakan Diri kepada Manusia
      1. Melalui Setiap Aspek dari Ciptaan-Nya
      2. Melalui Penyataan Khusus Allah
  2. Ketergantungan Manusia kepada Allah
    1. Ketergantungan Pengetahuan Manusia
    2. Ketergantungan Moralitas Manusia

Doa

PERMULAAN DARI SEGALANYA

"Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi." (Kej. 1:1)

Dalam pelajaran kedua ini, kita akan mengembangkan prinsip-prinsip dan penerapan pembelaan iman Kristen berdasarkan kebenaran Alkitab sebagai firman Tuhan. Sesuai dengan keyakinan ini, ada beberapa hal yang harus dibahas. Pertama, kita akan memulainya dengan mempelajari konsep penciptaan secara alkitabiah.

  1. Allah dan Ciptaan-Nya

    Alkitab menempatkan kebenaran bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu sebagai kalimat pembukaannya. Hal ini menyatakan betapa pentingnya mengakui bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa seluruh Alkitab berisi penjelasan mengenai kebenaran yang satu ini, yakni Allah sebagai Pencipta dan Tuhan.

    Taman Eden merupakan penyataan (wahyu) dari keharmonisan Allah dengan ciptaan-Nya. Dosa merupakan pemberontakan ciptaan melawan Penciptanya. Keselamatan merupakan pembebasan dari dosa dan hak ciptaan untuk dapat berdiri di hadapan Allah. Rasul Yohanes berbicara mengenai sifat yang hakiki dari aktivitas penciptaan Allah sebagai berikut: "Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan." (Yoh. 1:3)

    Jika kita mengamati Kej. 1:1, kita dapat melihat bahwa aktivitas penciptaan terdiri dari dua bagian. Di satu pihak, kita melihat Seseorang yang menciptakan. Di pihak lain, kita melihat ciptaan yang Ia ciptakan. Akibatnya, kita dapat melihat garis pemisah atau pembeda antara Allah sebagai Pencipta dengan ciptaan-Nya. Kita akan menyebut hal ini sebagai "perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan". Ini merupakan konsep yang akan diselidiki lebih jauh dan merupakan referensi yang akan selalu kita lihat kembali.

    Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan-Nya ini tidak boleh kita lupakan atau kesampingkan barang sedetik pun dalam usaha mengembangkan apologetika alkitabiah.

    1. Allah adalah Allah yang Tidak Bergantung atas Apa Pun (Siapa Pun)

      Orang-orang Kristen pada zaman ini kadang masih berpikir bahwa Allah hanyalah gambaran dari seorang kakek tua yang duduk di atas awan sambil memerhatikan semua peristiwa menyedihkan yang terjadi di dunia ini tanpa mampu berbuat apa-apa. Karena itu, Allah sering dilihat sebagai Allah yang tidak berguna dan tidak penting bagi dunia ini, kecuali jika manusia sendiri yang memiliki kerinduan dan kebutuhan pribadi yang ingin dipenuhi oleh Allah.

      Dalam pikiran kebanyakan orang, Allah tidak ada hubungannya dengan proses yang terjadi di dunia. Mereka mengatakan bahwa "Allah dibutuhkan hanya jika ada malapetaka atau masalah pribadi yang berat". Lebih dari itu, Allah sendiri sering dimengerti sebagai Allah yang bergantung pada ciptaan-Nya. Dia merindukan sesuatu terjadi di tengah dunia ini, namun yang Ia dapatkan adalah sebaliknya, yang tidak Ia duga, karena kepandaian tingkah manusia. Pikiran-pikiran demikian, yang jauh dari gambaran firman Tuhan, juga tumbuh di gereja.

      Allah bukanlah Allah yang tidak dapat berdiri sendiri atau seperti "ayah yang hanya bisa duduk manis"; padahal Ia adalah Pencipta yang Mahakuasa serta terus-menerus terlibat dan bertanggung jawab atas ciptaan-Nya. Roma 11:36 berbicara mengenai hal ini:

      "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!"

      Pengamatan yang lebih teliti pada bagian firman Tuhan ini akan menyatakan kedalaman dari pengetahuan tentang Allah. Pertama, Paulus berkata bahwa semua ciptaan adalah "dari Dia". Ayat ini berarti Allah menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada dan semua ciptaan tidak terjadi dengan sendirinya. Kedua, Paulus mengatakan ciptaan diciptakan "bagi Dia". Ini berarti ciptaan diciptakan untuk kemuliaan Allah dan untuk menyenangkan Allah, bukan untuk manusia atau ciptaan lain.

      Penciptaan adalah "melalui Dia". Di sini, Paulus tidak berbicara mengenai awal atau akhir dari hubungan Allah dengan ciptaan-Nya. Ia berbicara mengenai Allah sebagai Pencipta yang memelihara dan menunjang keberadaan ciptaan-Nya setiap saat sampai akhir. Ciptaan dapat terus melangsungkan keberadaannya oleh karena Allah.

      Inti dari kebenaran ini adalah: Sebagaimana Allah berkuasa menciptakan dari permulaan, Dia juga berkuasa memungkinkan atau mendukung ciptaan ini untuk terus ada sampai sekarang. Demikian juga Allah tidak diciptakan oleh ciptaan-Nya, Dia sekarang pun tidak didukung oleh ciptaan-Nya dalam hal apa pun juga.

      "dan (Allah) juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang." (Kis. 17:25)

      Sangat jelas dikatakan bahwa Allah tidak membutuhkan apa pun yang harus atau dapat dipenuhi oleh ciptaan-Nya, karena pada kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya, segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ciptaan dipenuhi oleh Allah. Allah adalah Allah yang tidak bergantung atas apa pun atau siapa pun.

    2. Ciptaan Bergantung pada Allah

      Jika kita mengatakan bahwa Allah adalah Allah yang tidak bergantung pada apa pun (siapa pun), di lain pihak kita harus menegaskan ketergantungan ciptaan pada Allah sebagai Pencipta. Kita tahu bahwa ketergantungan anak pada orang tua akan semakin berkurang saat mereka tumbuh menjadi dewasa. Bahkan bayi yang baru lahir pun, pada waktu yang singkat masih dapat hidup tanpa orang tuanya. Tetapi tidak demikian halnya dengan ketergantungan ciptaan kepada Allah. Ciptaan tidak dapat memisahkan keberadaannya dari Allah atau tidak dapat berdiri sendiri sedetik pun tanpa kuasa pemeliharaan Allah. Demikian kata firman Tuhan:

      "Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang." (Kis. 17:25)

      "Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia." (Kol. 1:17)

      Allah mengatur, memenuhi kebutuhan, dan memelihara segala sesuatu tanpa terkecuali. Dari yang terbesar sampai yang terkecil, setiap aspek dari ciptaan secara keseluruhan bergantung kepada Allah untuk kelangsungan keberadaannya.

      Kita harus setuju dengan John Calvin, bahwa kepercayaan pada Allah sebagai Pencipta harus disertai dengan kepercayaan bahwa Allah adalah Pengontrol sejarah. Dunia tidak dapat berlangsung dengan kekuatannya sendiri. Segala keberadaan adalah dari Allah dan melalui Allah. Karena itu, kita harus berpikir bahwa ciptaan secara keseluruhan bergantung kepada Allah.

      Kita dapat melihat dalam pelajaran yang berikutnya bahwa kesadaran akan perbedaan antara Allah yang berdiri sendiri dengan ciptaan yang bergantung pada Penciptanya merupakan hal yang membedakan antara orang-orang Kristen dengan non-Kristen. Orang Kristen berusaha melihat segala sesuatu dari sudut pandang ciptaan yang bergantung pada sang Pencipta, sedangkan orang non-Kristen mencoba untuk menyangkal ketergantungannya dari sang Pencipta.

      Penyangkalan yang sangat keras atas perbedaan Pencipta dan ciptaan dari orang-orang tidak percaya akan dapat dilihat dari ketidakpercayaan mereka pada keselamatan dalam Kristus. Mereka menempatkan Allah dan ciptaan-Nya saling bergantung dan mengatakan bahwa ciptaan bergantung pada Allah hanya dalam taraf tertentu saja. Orang tidak percaya mengemukakannya dengan berbagai cara, tetapi pada intinya adalah sama -- penyangkalan akan perbedaan antara Pencipta dan ciptaan.

    3. Allah Menyatakan Diri kepada Manusia

      Sebagai orang Kristen, kita harus menekankan perbedaan antara Allah (Pencipta) dan ciptaan-Nya. Kita juga tidak boleh melupakan bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya sendiri dan kehendak-Nya kepada manusia. Walaupun Allah telah mengadopsi berbagai cara untuk menyatakan diri-Nya pada waktu yang berbeda, kita akan memerhatikan dua cara yang Allah pilih untuk menyatakan diri-Nya sepanjang waktu.

      1. Melalui Setiap Aspek dari Ciptaan-Nya

        Secara luar biasa, Allah telah membangun seluruh jaga raya ini sehingga setiap bagiannya menyatakan diri-Nya kepada manusia. Setiap elemen dari dunia, tanpa kecuali, menyatakan Allah dan kehendak-Nya kepada manusia.

        "Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam." (Maz. 19:1-2)

        Ciptaan dengan segala keindahan dan kemegahannya menyatakan kemegahan dan kualitas Allah dan tuntutan kebenaran yang Ia minta dari manusia. Sebagaimana yang dikatakan Paulus dalam Roma 1:20, 32:

        "Sebab apa yang tidak nampak daripada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan Keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih .... Sebab walaupun mereka mengetahui tuntutan-tuntutan hukum Allah, yaitu bahwa setiap orang yang melakukan hal-hal demikian patut dihukum mati, mereka bukan saja melakukannya sendiri, tetapi mereka juga setuju dengan mereka yang melakukannya."

        Meskipun manusia, yang telah jatuh dalam dosa, menyangkalinya dan orang-orang Kristen sering kali menemukan kesulitan untuk melihatnya, Alkitab mengajarkan secara jelas bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya dalam setiap aspek ciptaan dan semua manusia, bahkan rupa manusia sendiri menyatakan semua itu.

        Penyataan Allah ini tidak dapat dihindari atau disangkali. Kita tidak dapat mengetahui satu aspek dari ciptaan tanpa memikirkan Penciptanya. "Langit memberitakan keadilan-Nya, dan segala bangsa melihat kemuliaan-Nya." (Maz. 97:6)

        Contohnya, tidaklah cukup untuk mengetahui bahwa sapi makan rumput. Pengertian yang benar akan sapi dan rumput akan menyatakan kuasa pemeliharaan Allah serta tanggung jawab manusia untuk menaklukkan ciptaan yang lain bagi kemuliaan Allah (lihat Kej. 1:28). Jarak terdekat antara bumi dan salah satu bintang akan dapat dimengerti hanya dengan kesadaran terhadap penyataan Allah. Begitu besarnya jarak tahun cahaya semata-mata merupakan pekerjaan tangan Allah dan memerlihatkan kepada manusia akan kebutuhan mereka untuk merendahkan diri di hadapan Allah dan bersyukur atas anugerah-Nya (lihat Maz. 8:1-5).

        Sebagaimana ciptaan tidak dapat terpisah dari Allah, ciptaan tidak dapat berdiam diri mengenai keberadaan Allah. Semakin seseorang mengerti tentang fakta-fakta dari jagat raya ini, semakin kita menyadari bahwa semua itu menyatakan Allah dan kehendak-Nya.

      2. Melalui Penyataan Khusus Allah

        Dalam banyak hal, Allah selalu membarengi penyataan-Nya akan ciptaan dengan penyataan-Nya secara khusus mengenai diri-Nya. Di taman Eden, Allah berbicara dengan suara-Nya kepada Adam mengenai pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Kepada para patriakh (Abraham, Musa, dll.), Allah menyatakan diri-Nya melalui mimpi-mimpi dan penglihatan-penglihatan. Kepada Musa, Allah berbicara di semak duri yang menyala dan di atas kitab batu. Kepada para rasul, Ia berbicara melalui kehidupan dan perkataan Tuhan Yesus, Putra-Nya. Pada masa kini, Allah berbicara melalui Alkitab sebagai firman Tuhan yang telah diinspirasikan oleh Roh Kudus.

        Penggunaan beberapa aspek tertentu dari ciptaan untuk menyatakan wahyu dimaksudkan untuk menambahkan kualitas pewahyuan dari ciptaan yang lain. Sebelum dosa masuk ke dalam dunia, ketaatan manusia diuji dengan wahyu khusus. Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, penyataan secara khusus memunyai dua maksud, yakni untuk memerlihatkan jalan keselamatan melalui Kristus dan untuk menolong manusia mengerti lebih baik tentang penyataan akan Allah dan kehendak-Nya dalam aspek-aspek ciptaan lain.

        Dosa telah menempatkan manusia di bawah penghakiman dan membutakan kesadaran manusia terhadap penyataan Allah melalui semua ciptaan. Akibatnya, firman Allah berfungsi sebagai alat di mana melaluinya manusia mengerti akan dirinya sendiri, dunia, dan Allah.

        "Segala tulisan yang diilhamkan Allah, memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik." (2 Tim. 3:16, 17)

        Penyataan (wahyu) Allah melalui firman Tuhan diberikan kepada kita untuk memimpin kita kepada pengetahuan yang benar. Penyataan Allah melalui semua ciptaan dan firman Tuhan tidak menghapuskan kepastian perbedaan antara Pencipta dan ciptaan. Sebagaimana kita ketahui, semua bentuk penyataan Allah pada manusia justru menunjukkan perbedaan atau pemisahan yang harus diakui oleh manusia.

  2. Ketergantungan Manusia kepada Allah

    Pemazmur mengingat kedudukan kita sebagai manusia dengan perkataan ini:

    "Ketahuilah, bahwa Tuhanlah Allah: Dialah vang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya." (Maz. 100:3)

    Manusia tidak lebih dan tidak kurang dalam hal ketergantungannya pada Allah dibandingkan ciptaan Allah yang lain; keduanya adalah ciptaan Allah yang perlu Ia dukung. Manusia merupakan mahkota dari aktivitas penciptaan Allah, tetapi ia tetap merupakan makhluk ciptaan dan akan kembali kepada debu nantinya (Kej. 2:7).

    "Di dalam Dia kita hidup dan bergerak." (Kis. 17:28). Karena itu, bila terpisah dari Allah, kita bukanlah apa-apa. Segala sesuatu yang dimiliki manusia merupakan pemberian Allah. Layaknya ciptaan lain, bila Allah lepas tangan atas kita, kita akan berhenti dari keberadaan kita karena kita ada semata-mata hanya karena kehendak-Nya.

    Ketergantungan manusia secara mutlak pada Allah memunyai banyak implikasi, namun ada dua aspek dari kebutuhan kita akan Allah yang secara khusus penting untuk pekerjaan apologetika selanjutnya.

    1. Ketergantungan Pengetahuan Manusia

      Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan memengaruhi pandangan iman Kristen akan kemampuan manusia untuk mengetahui dirinya sendiri, dunia di sekelilingnya, dan Allah. Dalam pelajaran berikut ini, kita akan memerhatikan diri kita sendiri dalam hal pengetahuan, khususnya setelah dicemari oleh dosa.

      Jika manusia secara mutlak bergantung pada Allah, maka demikian juga dalam hal pengetahuan. Pengetahuan Allah akan diri-Nya dan ciptaan adalah berdiri sendiri, namun pengetahuan manusia tidak. Pemazmur mengatakan:

      "Sebab pada-Mu ada sumber hayat, di dalam terang-Mu kami melihat terang." (Maz. 36:10)

      Lepas dari pengetahuan Allah melalui penyataan-Nya dalam ciptaan dan firman Tuhan, kita tidak akan pernah mengerti pengetahuan apa pun. Allah mengetahui segala sesuatu, karena itu kita bergantung pada pengetahuan-Nya untuk dapat mengetahui sesuatu. Setiap pengertian yang benar yang telah manusia dapatkan, baik secara sadar atau tidak sadar, semua itu didapatkan dari Allah. Hal ini berlaku bagi manusia pertama dan semua orang sampai sekarang. Tuhan Yesus sendiri mengakuinya:

      "Kata Yesus kepadanya: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup." (Yoh. 14:6)

      Rasul Paulus menegaskan hal ini dengan mengatakan:

      "sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan." (Kol. 2:3)

      Segala sesuatu yang dapat dinyatakan sebagai kebenaran, termasuk kebenaran yang tidak secara langsung berkenaan dengan agama atau kerohanian, bersumber dari Allah. Manusia hanya dapat mengetahuinya apabila manusia datang kepada penyataan Allah akan diri-Nya sebagai sumber kebenaran. Oleh karena Allahlah yang mengajarkan kepada manusia akan segala pengetahuan (Maz. 94:10).

      Kita akan melihat kemudian bahwa ketergantungan manusia pada Allah dalam ruang lingkup pengetahuan tidaklah berarti bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengasah pikirannya. Juga tidak berarti bahwa manusia diprogram oleh Allah seperti halnya sebuah komputer dalam memproses pengumpulan data sehingga komputer mengetahui sesuatu. Manusia memang memunyai kemampuan untuk dapat berpikir, namun pengetahuan yang benar bergantung pada pengetahuan dari Allah yang telah dinyatakan pada manusia.

    2. Ketergantungan Moralitas Manusia

      Sebagaimana halnya manusia harus bergantung pada Allah untuk pengetahuan secara umum, demikian juga halnya dengan petunjuk dalam moralitas. Pada saat nilai-nilai dan tujuan-tujuan tradisi dipertanyakan, kita dipaksa untuk memikirkan bagaimana manusia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, atau yang baik dan yang jahat.

      Salah satu cara untuk menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan kita harus sekali lagi kembali pada pengakuan akan perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan. Sebagai Pencipta, sejak semula Allah adalah Pemberi hukum yang berdiri di atas hukum-Nya dan yang mengharapkan ketaatan dari makhluk ciptaan-Nya.

      Pada saat Allah berkata, "Ini adalah baik," Ia menyatakan diri-Nya sebagai satu-satunya Hakim yang benar yang dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat. Dia juga mengaplikasikan hak itu bagi diri- Nya sendiri sampai sekarang. Kepada Adam dan Hawa, Ia berkata, "tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya ...." (Kej. 2:17). Kepada Musa, Ia menyatakan, "Aku adalah Tuhan Allahmu ... dan jangan ada allah lain di hadapan-Ku." (Kel. 20:2, 3). Mengenai Yesus, Allah mengatakan, "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi dan kepada-Nyalah Aku berkenan; dengarkanlah Dia." (Mat. 17:5)

      Tidak akan pernah ada sidang pengadilan yang dapat menghakimi Allah; karena Ia adalah Hakim yang tertinggi. Oleh karena itu, penyataan-Nya mengenai moralitas berlaku bagi semua orang, dan apabila kita ingin mengetahui mengenai hal yang baik dan yang jahat, kita harus ingat akan ketergantungan kita pada Allah.

-Akhir Pelajaran (AUA I-P02)--

Doa

Ya, Tuhan, beri kami ketetapan hati untuk mengakui Engkau sebagai Pencipta langit dan bumi, yang terus-menerus terlibat dan bertanggung jawab atas ciptaan-Mu. Bimbinglah kami untuk selalu menyadari akan kedaulatan-Mu supaya kami memiliki hati yang bijaksana. Biarlah hidup kami boleh berpusat pada Engkau, melalui Engkau, dan bagi Engkau. Amin.

(Catatan: Pertanyaan tertulis ada di bagian terpisah)

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 02 | Referensi 02a | Referensi 02b | Referensi 02c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Permulaan dari Segalanya
Kode Pelajaran: AUA I-P02

Pelajaran 02 - PERMULAAN DARI SEGALANYA

*Instruksi*

Harap setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:

  1. Bacalah Bahan Pelajaran dan semua Referensi Pelajaran 05 dengan teliti.
  2. Bacalah Pertanyaan (A) dan (B) di bawah ini, kemudian jawablah dengan benar dan lengkap.
  3. Apabila Anda mendapatkan kesulitan sehubungan dengan isi Bahan Pelajaran, silakan menghubungi Pembimbing di:
    < yulia(at)in-christ.net >

Selamat mengerjakan!

Perhatian:

Setelah Anda menjawab tugas tertulis ini, mohon kirim kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:

==> < staf-pesta(at)sabda.org >

PERTANYAAN (A):

  1. Permulaan Alkitab (Kejadian 1:1) merupakan deklarasi seluruh isi Alkitab, yang menyatakan bahwa [ ............. ]
  2. Prinsip pertama apologetika yang harus kita pahami adalah adanya perbedaan antara Allah sebagai [.............] dan manusia sebagai [...........].
  3. Ayat yang memberikan konfirmasi bahwa Allah sampai hari ini terus menerus terlibat dan bertanggung jawab atas ciptaan-Nya adalah [ ..........].
  4. Kesimpulan tentang Allah yang terdapat dalam ayat Kis. 17:25 adalah [ .......... ].
  5. Ketergantungan manusia para Allah bersifat [...........].
  6. Berikan beberapa contoh tentang cara yang Allah pilih untuk menyatakan diri-Nya secara umum sepanjang waktu? [............]
  7. Cara khusus yang Allah pilih untuk menyatakan diri-Nya adalah melalui [.............]
  8. Penyataan-penyataan yang Allah ingin sampaikan kepada manusia sering terhalangi oleh [..........] sehingga manusia dibutakan dari kehendak Allah.
  9. Lepas dari [............], manusia pada dasarnya tidak mungkin akan pernah mengerti pengetahuan apa pun dengan benar.
  10. Pada saat Allah berkata, "Ini adalah baik," Dia menyatakan diri- Nya sebagai satu-satunya [...........] yang benar, yang dapat memutuskan apa yang baik dan apa yang jahat.

PERTANYAAN (B):

  1. Jika Alkitab berkata bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta, apakah berarti bahwa agama-agama lain harus mengakutinya? Mengapa?
  2. Apakah implikasi dari pernyataan bahwa Allah adalah sumber moralitas bagi orang Kristen?

Kirimkan kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:

==> < staf-pesta(at)sabda.org >


PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 02 | Pertanyaan 02 | Referensi 02b | Referensi 02c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Permulaan dari Segalanya
Kode Referensi: AUA I-R02a

Referensi AUA I-R02a diambil dari:

Judul buku: Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen
Judul artikel: Wahyu Khusus dan Alkitab
Pengarang: R.C. Sproul
Penerbit: Seminari Alkitab Asia Tenggara
Halaman: 17 -- 19

WAHYU KHUSUS DAN ALKITAB

Pada waktu Tuhan Yesus dicobai oleh setan di padang gurun, Ia menghardik setan dengan perkataan: "Manusia tidak hidup dari roti saja, tetapi dari setiap perkataan yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4). Secara historis, gereja telah meneruskan pengajaran Tuhan Yesus dengan meneguhkan bahwa Alkitab merupakan vox Dei, yaitu "suara Allah" atau verbum Dei, yaitu "Firman Allah". Menyebut Alkitab sebagai Firman Allah tidak menyatakan bahwa Alkitab ditulis oleh tangan Allah sendiri atau Alkitab itu jatuh dari surga dengan parasut. Alkitab sendiri menyatakan ada banyak penulis manusia yang menulis Alkitab. Apabila kita mempelajari Firman Allah dengan teliti, maka kita dapat melihat bahwa setiap manusia yang menulis memiliki gaya bahasa masing-masing, perbendaharaan bahasa sendiri, penekanan sendiri, perspektif sendiri dan lain sebagainya. Apabila Alkitab dinyatakan sebagai hasil karya manusia, bagaimana Alkitab dapat dikatakan sebagai Firman Allah?

Alkitab disebut sebagai Firman Allah oleh karena pengakuan dari Alkitab yang menyatakan bahwa penulis tidak sekedar menyatakan pemikiran mereka. Perkataan mereka diinspirasikan oleh Allah. Rasul Paulus menulis: "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran." (2 Timotius 3:16). Kata inspirasi diterjemahkan dari kata Yunani "dinafaskan oleh Allah". Allah menafaskan Alkitab, sama halnya dengan kita mengeluarkan nafas dari mulut kita pada waktu kita berbicara, jadi dapat dikatakan bahwa Allah berbicara melalui Alkitab.

Meskipun Firman Tuhan datang kepada kita melalui penulisan tangan manusia, tetapi sumber utamanya adalah Allah. Sebagaimana halnya para nabi berkata: "Demikianlah Firman Tuhan". Dan Tuhan Yesus juga berkata: "Firman-Mu adalah kebenaran" (Yohanes 17:17), dan "Firman Tuhan tidak dapat dibatalkan" (Yohanes 10:35).

Kata inspirasi juga berkaitan dengan proses, dimana Roh Kudus membimbing penulisan Firman Tuhan. Roh Kudus membimbing para penulis sehingga kata-kata mereka merupakan Firman Allah. Kita tidak tahu bagaimana cara Allah membimbing penulisan pertama dari Alkitab. Tetapi yang pasti inspirasi tidak berarti bahwa Allah mendikte pesan-pesannya pada mereka yang menulis Alkitab. Apa yang terjadi adalah Roh Kudus mengkomunikasikan Firman Allah kepada penulis manusia.

Orang Kristen mengakui infalibilitas dan ineransi dari Alkitab oleh karena Allah merupakan Penulis utama dari Alkitab, dan oleh karena itu, Allah tidak mungkin menginspirasikan hal yang salah. Firman-Nya adalah benar dan dapat dipercaya. Setiap literatur yang secara normal dihasilkan oleh manusia ada kemungkinan salah, tetapi Alkitab bukan merupakan hasil produksi manusia secara normal. Apabila Alkitab diinspirasikan dan dibimbing proses penulisannya oleh Allah, maka Alkitab tidak dapat salah.

Ini tidak berarti bahwa terjemahan Alkitab yang kita miliki sekarang ini tanpa kesalahan, tetapi yang dimaksudkan di sini adalah manuskrip yang asli secara mutlak adalah benar. Ini tidak berarti juga bahwa setiap pemyataan di Alkitab adalah benar. Misalnya: penulis dari kitab Pengkhotbah menyatakan bahwa "tidak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi" (Pengkhotbah 9:1). Penulis berbicara dari sudut pandang keputusasaan manusia. Apabila kita melihat bagian lain dari Firman Tuhan maka kita mengetahui bahwa pernyataan itu tidak benar. Namun dalam hal ini Alkitab berbicara tentang kebenaran, yaitu kebenaran tentang pemikiran yang salah dari seseorang yang putus asa.

  1. Inspirasi merupakan proses dimana Allah menafaskan Firman-Nya.
  2. Allah merupakan Sumber utama dari Alkitab.
  3. Allah merupakan Pembimbing utama dari Alkitab.
  4. Hanya manuskrip yang asli dari Alkitab yang tanpa salah.

AYAT-AYAT ALKITAB UNTUK BAHAN REFLEKSI:

  1. Mazmur 119
  2. Yohanes 17:17
  3. 1 Tesalonika 2:13
  4. 2 Timotius 3:15-17
  5. 2 Petrus 1 :20-21

----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 02 | Pertanyaan 02 | Referensi 02a | Referensi 02c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Permulaan dari Segalanya
Kode Referensi: AUA I-R02b

Referensi AUA I-R02b diambil dari:

Judul buku: Pengakuan Baptis 1689
Judul artikel: Pemeliharaan Allah
Penerjemah: Dr. Charles W. Cole
Penerbit: Carey Publication, 1996
Halaman: 13 -- 15

PEMELIHARAAN ALLAH

  1. Allah yang tak terbatas dalam kuasa dan kebijaksanaan telah menciptakan segala sesuatu, menopang, memimpin, mengatur dan memerintah segala yang diciptakan-Nya.[1] Usaha Allah itu meliputi segala makhluk dan benda, baik yang agung maupun yang remeh.[2] Pengaturan dan pemeliharaan Allah itu mahabijaksana dan mahasuci. Pengaturan dan pemeliharaan itu dilaksanakan menurut kemampuan Allah, untuk tanpa salah, tahu terlebih dahulu segala yang akan terjadi dan menurut keputusan kehendak-Nya yang tak terbatas dan mutlak.[3] Allah menggenapi maksud dan rencana-Nya yang semua bagi semua yang diciptakan. Pengaturan dan pemeliharaan Allah mendatangkan kepujian dan kemuliaan bagi kebijaksanaan Allah, kuasa-Nya, keadilan-Nya, kebaikan-Nya dan belas kasihan-Nya.

    [1] Ibr 1:3; Ayb 38:1 1; Yes 46:10, 11; Mzm 135:6
    [2] Mat 10:29-31
    [3] Ef 1:11

  2. Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau yang terjadi di luar pengawasan dan pengetahuan Allah.[1] Allah adalah sebab yang pertama bagi segala akibat.[2] Segala sesuatu dilakukan tanpa perubahan dan tanpa kekeliruan, menurut pengetahuan dan ketetapan Allah yang berhubungan denganNya. Allah dengan pengaturan dan pemeliharaan-Nya menguasai segala sesuatu yang terjadi supaya penyebab yang kedua yang berjalan secara bebas, atau yang, berupa hukum tetap atau yang bergantung pada penyebab lain menggenapi rencana dan maksud Allah.[3]

    [1] Kis 2;23
    [2] Ams 16:33 [3] Kej 8:22

  3. Biasanya, di dalam pemeliharaan-Nya, Allah menggunakan sarana- sarana, namun Ia pun bebas untuk tidak menggunakannya. Allah bebas memberikan kuasa yang luar biasa kepada sarana-sarana yang dipakai atau untuk bekerja dengan cara supaya melawan sarana-sarana biasa. Semua dilakukan sekehendak hati Allah.[1]

    [1] Yes 55:10, 11; Dan 3:27; Hos 1:7; 2Kis 27:31, 44; Rm 4:19-21

  4. Kemahakuasaan, kemahabijaksanaan dan kebaikan Allah yang tanpa batas di dalam menyatakan diri-Nya dalam segala sesuatu, sehingga kejatuhan manusia ke dalam dosa yang pertama dan semua tindakan berdosa baik yang dibuat oleh malaikat maupun oleh manusia berjalan sesuai dengan rencana-Nya yang berdaulat.[1] Bukan berarti bahwa Allah yang mengizinkan orang berdosa, melainkan Allah menurut kebijaksanaan- Nya membatasi, mengatur dan menguasai dengan berbagai-bagai cara tindakan dosa agar tujuan-Nya yang suci tercapai.[2] Namun demikian dosa yang dilakukan baik oleh malaikat atau manusia bukan berasal dari Allah. Allah yang paling suci dan paling benar mustahil menjadi pangkal atau penyetuju dosa.[3]

    1. Rm 11:33-34; 2Sam 24:1; 1Taw 21:1
    2. 2Raja 19:28; Mzm 76:11; Kej. 50:20; Yes 10:6, 7, 12
    3. Mzm 50:21; 1Yoh 2:16
  5. Allah yang paling benar, bijaksana dan murah hati sering membiarkan umat-Nya untuk beberapa waktu lamanya mengalami bermacam-macam godaan dan mengalami kedosaan hatinya. Hal itu diperbuat-Nya untuk mengajar umat-Nya menjadi rendah hati dengan menyatakan kepadanya betapa kuatnya kejahatan dan penipuan yang masih tinggal di dalam hati mereka.[1] Hal ini diperbuat untuk menghukum umat-Nya bagi dosa yang telah pernah diperbuat. Allah bertujuan supaya mereka menjadi sadar terhadap keperluan mereka untuk selalu bergantung kepada-Nya dan untuk menolong mereka menjadi lebih waspada terhadap dosa di kemudian hari. Rencana dan tujuan Allah yang adil dan suci dijalankan dengan cara di atas atau lainnya agar semua yang terjadi pada orang pilihan-Nya sesuai dengan ketentuan-Nya, untuk kemuliaan-Nya dan untuk kebaikan orang terpilih itu.[2]

    [1] 2Taw 32:25, 26, 31; 2Sam 24: 1; 2Kor 12:7-9
    [2] Rm 8:28

  6. Allah sebagai hakim yang adil berlaku berbeda kepada orang yang jahat dan tidak mengenal-Nya. Allah memberikan kepada mereka kebutaan hati dan kekerasan hati karena dosa mereka.[1] Ia tidak memberikan kepadanya kasih karunia yang dapat membuat hati dan akal budi menjadi terang.[2] Karunia yang pernah diberikan kepadanya kadang-kadang diambil kembali.[3] Ia memberikan kesempatan kepada orang yang hatinya jahat untuk berdosa.[4] Dengan kata lain, Ia menyerahkan mereka pada nafsu yang busuk, pada pencobaan dunia dan kepada kuasa Setan, sehingga mereka mengeraskan hatinya.[5] Kekerasan hati terjadi dengan sarana yang sama dengan yang dipakai Allah untuk melunakkan hati orang yang lain.

    [1] Rm 1:24, 26, 28; 11:7, 8
    [2] Ul 29:4
    [3] Mat 13:12
    [4] Mzm 81:12, 13; UI 2:30; 2Tes 2:10-12
    [5] Kel 8:15, 32; Yes 6:9, 10; 1Pet 2:7, 8

  7. Pengaturan dan pemeliharaan Allah meliputi semua makhluk, tetapi dengan cara istimewa Allah memelihara Gereja-Nya. Segala sesuatu dikuasai-Nya demi kebaikan Gereja.[1]

    [1] 1Tim 4:10; Ams 9:8, 9; Yes 43:3-5

----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 02 | Pertanyaan 02 | Referensi 02a | Referensi 02b

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Permulaan dari Segalanya
Kode Referensi: AUA I-R02c

Referensi AUA I-R02c diambil dari:

Judul buku: Tuntunan Praktis Untuk Mengenal Allah
Judul artikel: Tidak Ada Batasan
Penulis: J.I. Packer
Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta, 2002
Halaman: 94 -- 99

TIDAK ADA BATASAN

Bagaimana kita dapat membentuk pemahaman yang benar tentang kebesaran Allah? Alkitab mengajar kita bahwa ada dua langkah yang harus kita tempuh. Pertama adalah dengan menyingkirkan dari pikiran kita batasan- batasan untuk Allah yang akan membuat-Nya menjadi kecil. Kedua adalah dengan membandingkan Dia dengan kuasa dan kekuatan yang kita pandang besar.

Contoh untuk langkah pertama, kita dapat lihat dalam Mazmur 139. Di situ pemazmur merenungkan sifat kehadiran, pengetahuan, dan kuasa Allah yang tidak terbatas dan tidak terukur, dalam kaitannya dengan manusia. Ia mengatakan, kita selalu berada dalam hadirat Allah. Anda dapat memisahkan diri dari sesama manusia, tetapi Anda tidak dapat melepaskan diri dari Pencipta Anda. "Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku ... Ke mana aku dapat pergi menjauhi Roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapanMu? Jika aku mendaki langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati (dunia di bawah), di situ pun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tanganmu menuntun aku dan tanganmu memegang aku" (ay. 5-10). Kegelapan, yang dapat menyembunyikan aku dari mata manusia, tidak dapat menyembunyikan aku dari mata Allah (ay. 11-12).

Seperti halnya tidak ada batasan untuk kehadiran-Nya di depan saya, demikian pula tidak ada batasan untuk pengetahuan-Nya atas saya. Seperti halnya saya tidak pernah dibiarkan sendiri, saya juga tidak pernah dapat pergi tanpa terperhatikan. "TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri (semua tindakan dan gerakanku); Engkau mengerti pikiranku (semua yang ada dalam pikiranku) dari jauh ... Segala jalanku (semua kebiasaan, rencana, tujuan, keinginan, maupun kehidupanku sampai saat ini) Kau maklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan (diucapkan atau dipikirkan), sesungguhnya semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN" (ay. 1- 4).

Saya dapat menyembunyikan hati saya, masa lalu saya, dan rencana masa depan saya, dari orang-orang di sekitar saya. Akan tetapi, saya tidak dapat menyembunyikan apa pun dari Allah. Saya dapat berbicara sedemikian rupa sehingga menipu orang lain dan mereka tidak tahu siapa saya sebenarnya. Akan tetapi, tak ada satu pun yang saya katakan atau kerjakan dapat menipu Allah. Pandangan-Nya menembus semua kepura- puraan dan hal-hal yang saya sembunyikan. Ia mengenal saya sebagaimana adanya, jauh lebih baik daripada saya mengenal diri saya.

Allah yang kehadiran dan pengawasan-Nya dapat saya hindari akan merupakan allah yang kecil dan tidak berarti. Tetapi, Allah yang sejati adalah besar dan dahsyat sebab Ia selalu menyertai saya dan mata-Nya selalu tertuju kepada saya. Kehidupan menjadi hal yang menakjubkan jika Anda menyadari bahwa Anda melewatkan setiap saat dalam kehidupan Anda dalam pandangan dan penyertaan Pencipta yang mahatahu dan mahahadir.

Tetapi, itu belum semua. Allah yang Mahatahu adalah juga Allah yang Mahakuasa. Kekuasaan-Nya yang dahsyat telah dinyatakan kepada saya melalui rumitnya dan menakjubkannya tubuh jasmani saya, yang Ia ciptakan bagi saya. Ketika berhadapan dengan hal ini, perenungan pemazmur berubah menjadi penyembahan. "Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat" (ay. 14).

Jadi, inilah langkah pertama untuk memahami kebesaran Allah; untuk menyadari betapa tak terbatas hikmat-Nya dan hadirat-Nya, dan kuasa- Nya. Ada banyak ayat Alkitab lain yang mengajarkan pelajaran yang sama terutama, Ayub 38-41. Pasal-pasal di mana Allah sendiri menggunakan pemahaman Elihu bahwa "Allah diliputi keagungan yang dahsyat" (37:22) dan menempatkan di depan Ayub peragaan yang menakjubkan tentang hikmat dan kuasa-Nya di alam. Ia bertanya kepada Ayub apakah ia dapat menandingi "keagungan"Nya (40:9-11) dan meyakinkan dia bahwa karena ia tidak bisa, maka ia jangan mengandaikan menemukan kesalahan dalam cara Allah menangani kasus Ayub sendiri, yang juga jauh melampaui pemahaman Ayub. Tetapi, kita tidak dapat membahas hal ini terlalu jauh saat ini.

Allah yang Tidak Dapat Dibandingkan

Untuk contoh langkah kedua, mari kita lihat dalam Yesaya 40. Di sini Allah berbicara kepada orang-orang yang perasaannya sama dengan perasaan kebanyakan orang Kristen pada masa kini: orang-orang yang remuk hati, orang-orang yang ketakutan, orang-orang yang menyembunyikan keputusasaannya, orang-orang yang ditimpa gelombang peristiwa buruk selama beberapa saat; orang-orang yang sudah tidak percaya lagi bahwa rencana Kristus dapat berjalan dengan sempurna. Sekarang lihat bagaimana Allah melalui nabi-Nya berargumentasi dengan mereka.

Lihatlah pekerjaan yang telah Aku lakukan, firman Tuhan. Dapatkah kamu melakukannya? Dapatkah seorang manusia melakukannya? "Siapa yang menakar air laut dengan lekuk tangannya dan mengukur langit dengan jengkal, menyukat debu tanah dengan takaran, menimbang gunung-gunung dengan dacing atau bukit-bukti dengan neraca?" (ay. 12). Apakah kamu cukup bijaksana dan cukup kuat untuk melakukannya? Tetapi Aku sanggup; atau Aku tidak dapat menciptakan dunia ini sama sekali. Lihatlah Allahmu!

Sekarang lihatlah pada bangsa-bangsa, Nabi Yesaya melanjutkan kata- katanya, pada kekuasaan nasional yang besar, yang padanya kamu merasa mendapat belas kasihan. Asyur, Mesir, Babel - kamu mengagumi mereka dan merasa takut kepada mereka. Tentara dan sumber daya mereka jauh melampaui tentara dan sumber dayamu. Tetapi, sekarang lihatlah bagaimana Allah menangani kekuasaan yang dahsyat yang sangat kamu takuti itu. "Sesungguhnya, bangsa-bangsa adalah seperti setitik air dalam timba dan dianggap seperti sebutir debu pada neraca ... Segala bangsa seperti, tidak ada di hadapan-Nya, mereka dianggap-Nya hampa dan sia-sia saja" (ay. 15 dst.). Kamu gemetar di depan bangsa-bangsa, karena kamu jauh lebih lemah daripada mereka, tetapi Allah jauh lebih besar daripada bangsa-bangsa sehingga mereka tidak ada apa-apanya di hadapanNya. Lihatlah Allahmu!

Sekarang lihatlah pada dunia. Lihatlah ukuran, variasi, dan kerumitannya. Pikirkan tentang 5 miliar penduduk dunia yang mendiaminya dan lihatlah langit yang luas di atasnya. Betapa kecilnya Anda dan saya, dibandingkan dengan seluruh planet tempat kita tinggal! Namun, apa jadinya jika seluruh planet yang dahsyat ini dibandingkan dengan Allah? "Dia yang bertakhta di atas bulatan bumi yang penduduknya seperti belalang; Dia yang membentangkan langit seperti kain dan memasangnya seperti kemah kediaman" (ay. 22).

Dunia ini membuat kita semua merasa kecil, tetapi Allah membuat dunia ini terasa kecil. Dunia ini adalah tumpuan kaki-Nya dan di atas-Nya Ia duduk dengan aman. Ia jauh lebih besar daripada dunia dan semua yang ada di dalamnya sehingga semua kegiatan yang membuat asyik jutaan orang di dalamnya tidak mempengaruhi Dia, seperti halnya belalang yang mengerik dan melompat di bawah sinar matahari musim panas tidak mempengaruhi kita. Lihatlah Allahmu!

Keempat, lihatlah pada tokoh-tokoh dunia yang besar - para pembesar yang hukum-hukum dan kebijakannya menentukan kesejahteraan jutaan orang; para calon penguasa dunia, diktator, dan pembangun kekaisaran, yang dengan kekuasaan mereka menerjunkan dunia ke dalam perang. Pikirkan tentang Sanherib dan Nebukadnezar. Pikirkan tentang Aleksander, Napoleon, Hitler. Pikirkan tentang Kosygin, Nixon, dan Mao Tse-tung. Apakah Anda mengira bahwa orang-orang terkenal itu sungguh- sungguh menentukan jalan dunia ini? Pikirkan sekali lagi sebab Allah jauh lebih besar daripada tokoh-tokoh dunia yang besar. Ia menurunkan raja-raja menjadi nol dan menurunkan para penguasa dunia ini menjadi tidak ada apa-apanya" (ay. 23). Ia adalah, seperti dikatakan Buku Doa, "satu-satunya penguasa atas raja-raja". Lihatlah Allahmu!

Tetapi, kita belum selesai. Yang terakhir, lihatlah pada bintang- bintang. Pengalaman paling menakjubkan yang secara universal dikenal manusia adalah berdiri sendirian pada malam yang cerah dan memandang bintang-bintang. Tidak ada hal yang melebihi dalam memberi kesan adanya jarak dan kejauhan. Tidak ada hal yang membuat seseorang merasakan ketidakberartian dan kekecilannya dibandingkan pengalaman itu. Dan kita, yang hidup di abad ruang angkasa, dapat melengkapi pengalaman universal ini dengan pengetahuan ilmiah tentang faktor- faktor yang terlibat di dalamnya - jumlah bintang yang miliaran, jaraknya yang miliaran tahun cahaya. Pikiran kita pusing, imajinasi kita tidak dapat menangkap hal itu. Jika kita berusaha memahami kedalaman angkasa luar yang tidak terselami, secara mental kita tak berdaya dan pusing tujuh keliling.

Tetapi, apa pengaruh hal itu bagi Allah? "Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu dan menyuruh segenap tentara mereka keluar, sambil memanggil nama mereka sekaliannya. Satu pun tiada yang tak hadir, oleh sebab Ia Mahakuasa dan Mahakuat" (ay. 26). Allahlah yang memanggil keluar bintang- bintang. Allahlah yang pertama kali menempatkan mereka di luar angkasa. Ia adalah Pencipta dan Tuhan. Mereka semua ada dalam tangan- Nya dan tunduk pada kehendak-Nya. Demikianlah kuasa-Nya dan keagungan- Nya. Lihatlah Allahmu!

----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA


Materi Pelajaran | Pertanyaan 03 | Referensi 03a | Referensi 03b | Referensi 03c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia Sebelum Jatuh dalam Dosa
Kode Pelajaran: AUA I-P03

Pelajaran 03 - KARAKTER MANUSIA SEBELUM JATUH DALAM DOSA

Daftar Isi

  1. Manusia dalam Rupa dan Gambar Allah
  2. Tanpa Dosa dan Fana
  3. Logika, Allah, dan Manusia

Doa

KARAKTER MANUSIA SEBELUM JATUH DALAM DOSA

"Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka." (Kej. 1:27)

Pengertian apologetika alkitabiah terletak pada pandangan yang tepat akan kebenaran mengenai karakter manusia. "Kenalilah dirimu sendiri" merupakan semboyan yang sangat populer di kalangan para pemikir sejak awal permulaan sejarah filsafat. Pengetahuan tentang diri sendiri akan melengkapi manusia untuk dapat melaksanakan berbagai macam tugas di dunia ini dengan lebih baik.

Alkitab melihat sejarah dunia dan manusia dalam tiga tahap -- penciptaan, kejatuhan, dan penebusan. Manusia diciptakan, lalu jatuh dalam kutuk dosa, kemudian ditebus dengan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Sejajar dengan tiga macam perspektif ini, kita akan mengamati karakteristik manusia dalam tiga kategori. Dalam pelajaran ketiga ini, kita akan mengamati manusia sebelum kejatuhan. Dan dalam dua pelajaran berikutnya, kita akan mempelajari manusia yang telah jatuh dalam dosa dan manusia yang telah ditebus.

  1. Manusia dalam Rupa dan Gambar Allah

    Penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain (Kej. 1:27). Fakta ini memunyai banyak sekali implikasi yang dapat kita pelajari. Kita harus membatasi diri kita sendiri dalam hal ini dengan hanya mempelajari sebagian dari makna manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

    Dari luar, manusia seperti Allah dalam hal kemampuan dan karakteristiknya secara fisik. Dari dalam, manusia dapat berpikir dan mengembangkan pemikirannya di mana dalam hal ini hanya manusia yang dapat melakukannya. Keunikan lain yang dimiliki manusia sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah adalah jiwa yang bersifat kekal (Kej. 2:7). Lebih dari itu, manusia sebagaimana Penciptanya, telah dijadikan penguasa atas bumi ini. Sebagai wakil Allah, ia menggali dan mengolah kekayaan ciptaan Allah untuk digunakan sebagai pelayanan bagi Allah (Kej. 1:27-31).

    Karakteristik ini berlaku dalam batas-batas tertentu bagi semua manusia dalam dunia ini. Karena sebelum jatuh dalam dosa, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah secara khusus. Dan manusia yang diciptakan Allah ini adalah sempurna.

    "... Allah telah menjadikan manusia yang jujur." (Pengkh. 7:29)

    Sebelum kejatuhannya dalam dosa, manusia merupakan gambar dan rupa Allah yang tanpa dosa. Di taman Eden, Adam dan Hawa hidup secara harmonis dengan Allah. Mereka berjalan di hadapan Allah tanpa malu. Paulus menjelaskan tahap ini sebagai:

    "... pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya." (Kol. 3:10)

    Di bagian lain, Paulus mengatakan bahwa apabila seseorang diperbaharui menurut karakter Adam yang semula, maka ia telah:

    "... diciptakan ... di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya." (Ef. 4:24)

    Dari bagian firman Tuhan ini, ada dua kualitas penting dari manusia sebelum jatuh dalam dosa yang dapat kita lihat. Pertama, dia memunyai "pengetahuan yang benar" (Kol. 3:10). Dengan kata lain, Adam dan Hawa tidak pernah melupakan perbedaan Pencipta dan ciptaan dalam hubungan dengan pengetahuan mereka. Mereka bergantung pada penyataan Allah akan diri-Nya sendiri sebagai sumber dari kebenaran mereka, dan mereka menyamakan semua pemikiran mereka dengan standar dari kebenaran yang Allah nyatakan. Oleh karena itu, Adam dapat diberi tugas yang sukar, yakni untuk memelihara taman dan menamai setiap binatang di bumi. Dia secara sadar tahu akan kebutuhannya untuk mendengarkan Allah dalam setiap keadaan apabila ia menghendaki pengetahuan yang benar. Sebelum kejatuhan dalam dosa, pengetahuan manusia akan kebenaran dibarengi dengan karakter moralitasnya, di mana Adam memiliki "pengetahuan yang benar dan suci". Adam mengerti bahwa karena sifat dari Pencipta-Nya, maka ia harus mempelajari apa yang sepatutnya dan yang tidak sepatutnya dari Allah.

    Oleh karena bersandar pada pengetahuan Allah, Adam dan Hawa taat secara sempurna pada semua perintah Allah dan hidup secara damai dengan-Nya sebelum jatuh dalam dosa. Sebelum jatuh dalam dosa, dalam segala keadaan, manusia mengetahui kebenaran dan hidup sesuai dengan kebenaran itu.

  2. Tanpa Dosa dan Fana

    Meskipun manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang sempurna sebelum kejatuhan, namun manusia adalah manusia yang fana dan terbatas. Allah adalah Allah yang Mahaada (1 Raj. 8:27; Yes. 66:1), namun manusia terbatas oleh fisiknya dalam keberadaan yang terbatas. Allah adalah Allah yang Mahakuasa (Maz. 115:3); tidak ada yang dapat mengatasi atau melampaui kuasa-Nya. Oleh karena itu, sehebat-hebatnya teknologi mutakhir yang telah dicapai untuk menunjukkan kehebatan manusia, tetap tidak dapat menandingi kemahakuasaan Allah. Di hadapan Allah, manusia tetap jauh lebih lemah dan terbatas.

    Demikian juga halnya dengan keterbatasan pengetahuan manusia dibandingkan dengan pengetahuan Allah yang lengkap dan sempurna (Ay. 37:15; Maz. 139:12; Ams. 15:3; Yer. 23:23-24). Sebagaimana penulis surat Ibrani mengatakan:

    "Dan tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia dan kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibr. 4:13)

    Bahkan Adam akan setuju dengan Yesaya yang mengatakan:

    "Seperti tingginya langit dan bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu." (Yes. 55:9)

    Tentu saja dibandingkan dengan pengetahuan Allah, pikiran manusia "hanyalah seumpama napas" (Maz. 94:11). Demikianlah manusia terbatas dalam pengertiannya oleh apa yang Allah nyatakan dan harus puas dengan pengetahuan yang tidak lengkap dan tidak sempurna.

    "Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan, Allah kita, tetapi hal- hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini." (Ul. 29:29)

    Pengertian mengenai keterbatasan pengetahuan manusia membawa kita kepada hal yang penting dalam diskusi yang berikutnya. Walaupun Adam tidak mengetahui segala sesuatu, dia tetap memiliki pengetahuan yang benar (Kol. 3:10). Pengertian manusia akan segala sesuatu yang ia ketahui dibatasi oleh perspektifnya akan waktu dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam hal-hal yang ia ketahui. Keterbatasan-keterbatasan ini merupakan bagian dari sifat penciptaan manusia.

    Namun, kita harus ingat bahwa sebelum jatuh dalam dosa, pengetahuan Adam miliki berasal dari Allah dalam ketergantungannya pada penyataan Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu Adam ketahui, diketahuinya dengan benar sebab ia datang pada sumber kebenaran untuk memerolehnya, yaitu Allah. Sangat nyata bahwa keterbatasan manusia tidak membuat ia tidak mampu untuk mengetahui kebenaran. Sepanjang pengetahuan yang manusia dapatkan itu berasal dari Allah, pengetahuan itu pasti benar.

    Oleh karena keterbatasannya, Adam harus menghadapi misteri dalam kehidupannya, "hal-hal yang tersembunyi" (Ul. 29:29) yang ia tidak dapat ketahui. Dari fakta ini, kita dapat melihat bahwa manusia yang sempurna pun tidak mampu untuk menyusun atau menyimpulkan setiap aspek dari pengetahuan yang didapatnya ke dalam suatu gambaran lengkap yang baik dan sempurna; selalu ada titik buntu dalam pemikirannya, yaitu paradoks-paradoks dan kesulitan-kesulitan yang tidak dapat dipecahkan oleh akal pikiran manusia. Namun sebagaimana besarnya misteri ini, pengetahuan manusia dalam tahap ini tetap dapat diperhitungkan serta dipertanggungjawabkan kepastian dan kebenarannya.

    Kepastian dan keyakinan Adam terletak pada penyataan Allah, tidak pada kemampuannya untuk mengetahui yang terpisah dari pengetahuan Allah. Pengetahuan Allah yang sempurna dalam segala sesuatu mengabsahkan pengetahuan manusia yang terbatas sepanjang manusia bergantung pada Allah. Mari kita lihat contoh dari suatu misteri yang kita hadapi atau temui pada zaman ini.

    Inkarnasi dari Juru Selamat kita, Tuhan Yesus Kristus, merupakan suatu hal yang penuh dengan misteri. Kita mengakui bahwa Ia adalah 100% Allah dan juga 100% manusia. Kita dapat mengerti kesejatian dari ke-Tuhanan-Nya dan kesejatian dari kemanusiaan-Nya sampai pada taraf tertentu, namun jika kita mencoba untuk menyelidiki lebih lanjut implikasi dari pengajaran ini, kita akan terbentur pada batas kemampuan kita dalam memahami hal tersebut. Misalnya, dapatkah kita menjelaskan bagaimana Yesus "bertambah dalam hikmat-Nya" (Luk. 2:52) apabila Ia adalah Allah yang Mahatahu? Apakah kita dapat menjelaskan bagaimana Yesus yang adalah Allah dapat mati di atas kayu salib? Kita dapat berusaha sekuat tenaga menjawab pertanyaan ini, namun orang yang jujur segera akan menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan ini, juga pertanyaan-pertanyaan lain yang semacamnya, adalah di luar batas kemampuan manusia untuk mengerti.

    Meski kita tidak dapat menyelami semua konsep ini, namun kita dapat yakin bahwa Yesus adalah 100% Allah dan juga 100% manusia, dan bahwa Ia bertambah dalam hikmat dan kemudian Ia mati. Keyakinan ini bukan bergantung pada ketidakmampuan kita untuk mengerti secara tuntas, melainkan karena kita percaya pada penyataan Allah.

    Semakin kita mengerti akan kebenaran kristiani, kita akan menemukan bahwa di akhir setiap pengajaran dari firman Tuhan, terlihat fakta ketidakmampuan manusia untuk menyelami secara tuntas konsep-konsep dalam hubungannya dengan konsep-konsep kebenaran yang lain. Ada banyak hal-hal yang kelihatannya berlawanan satu dengan yang lain dalam kebenaran kristiani, namun hal ini seharusnya tidak boleh menyebabkan kita meragukan pengajaran Alkitab. Ada dua alasan mengapa kita tidak boleh meragukan pengajaran Alkitab.

    Pertama, hal itu seharusnya membuat kita sadar akan keterbatasan diri kita. Manusia harus menyadari keberadaan mereka sebagai makhluk ciptaan dan bersama Paulus menyatakan kalimat berikut ini:

    "O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!" (Rom. 11:33)

    Kedua, Alkitab tidak seharusnya diragukan pada saat kita tidak dapat mencocokkan kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lain. Penyataan Alkitab merupakan pemikiran Allah di mana bagi-Nya tidak ada satu hal pun yang bersifat misteri. Allah dapat menuntaskan konsep-konsep yang paling sukar, yang tidak dapat dituntaskan oleh pikiran manusia. Tidak ada satu hal pun yang merupakan misteri bagi Allah; Ia mengetahui segala sesuatu dengan sempurna. Namun, misteri merupakan keterbatasan dari makhluk ciptaan, bukan Pencipta. Sepanjang kita bergantung kepada-Nya dalam pengetahuan kita, misteri yang paling besar pun tidak akan menghalangi kita dari kebenaran.

  3. Logika, Allah, dan Manusia

    Suatu hal yang terus-menerus timbul dalam suatu diskusi dan yang memengaruhi apologetika alkitabiah adalah peranan logika dalam hubungan antara Allah dan manusia. Dalam pelajaran ini, kita akan membatasi pada sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan yang ada.

    Adam diciptakan sebagai makhluk yang dapat berpikir dan mengembangkan pikirannya, hal ini mencerminkan hikmat Allah dan juga yang membedakannya dengan binatang (2 Pet. 2:12, Yud. 10). Kita telah mempelajari bahwa di taman Eden, Adam telah menggunakan akal budinya dalam ketergantungan-Nya pada Allah. Dia membangun pola berpikir yang sesuai dengan petunjuk Allah. Adam pasti menggunakan logika meskipun dalam bentuk yang sederhana, dan ia menggunakannya dalam ketaatannya pada Allah. Ia tidak pernah mengabaikan ketergantungannya pada Allah dengan berpikir bahwa logikanya mampu memberikan penjelasan dan pengetahuan secara terpisah dari Allah. Akibatnya, dalam menggunakan kemampuannya, Adam menggunakan akal budi yang selalu tunduk pada keterbatasan dan pimpinan penyataan Allah. Allah selalu dilihat sebagai dasar dari kebenaran dan sumber dari kebenaran, karena keadaan Adam pada saat itu adalah sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah dan tanpa dosa.

    Dari peran akal budi yang berdasarkan logika, yang dimiliki manusia sebelum dosa masuk ke dalam dunia, maka ada beberapa pengamatan yang dapat kita lakukan. Pertama, menggunakan akal budi dan mengembangkan pikiran itu bukanlah sesuatu yang salah dan jahat. Kekristenan telah mendapat berbagai macam serangan dari mereka yang mengklaim bahwa segala sesuatu harus "masuk akal" dan "ilmiah".

    Beberapa orang Kristen berpikir bahwa perlindungan satu-satunya adalah dengan cara menolak ilmu pengetahuan dan pemakaian akal budi serta menganggap kedua hal itu sebagai sesuatu yang jahat dan saling bertentangan. Penggunaan akal budi bukan merupakan sesuatu yang jahat sebab di dalam taman Eden, Adam juga menggunakan akal budi dan mengembangkan pikirannya. Adamlah yang menamai binatang-binatang dan yang memelihara taman. Ia tidak menghilangkan logikanya dalam melaksanakan kehidupannya sehari-hari.

    Yang perlu diperhatikan adalah bila manusia memakai akal budi dan mengembangkan pikirannya secara berdiri sendiri atau terlepas dari Allah, hal ini akan memimpinnya kepada ketidakbenaran dan kesalahan. Tetapi apabila kedua hal itu dipergunakan dalam ketergantungan pada penyataan Allah, kebenaran akan ditemukan. Menggunakan akal budi dan mengembangkan pikiran itu sendiri tidaklah berlawanan dengan iman atau kebenaran.

    Kedua, logika tidaklah berada di atas fakta perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan. Saat kita berbicara tentang manusia dalam menggunakan akal budinya, kita harus ingat bahwa logika hanya merupakan refleksi dari hikmat dan pengetahuan Allah. Meskipun dalam firman Tuhan, Allah merendahkan diri dan menyatakan diri-Nya dengan istilah yang sesuai dengan daya pikir, logika manusia, namun itu tidak berarti logika manusia berada di atas atau sejajar dengan Allah dan juga tidak merupakan bagian dari keberadaan Allah.

    Logika dalam bentuk-bentuk yang paling kompleks dan tajam tetap berada dalam ruang lingkup ciptaan dan kualitasnya sesuai dengan kualitas manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, bukan dengan kualitas yang sama seperti Allah.

    Oleh karena logika merupakan bagian dari ciptaan, maka logika memiliki keterbatasan. Pertama terlihat dari logika sebagai sistem yang selalu dalam proses berubah dan berkembang. Bahkan, ada beberapa sistem logika yang dalam titik tertentu, berlawanan satu sama lain. Tidak ada definisi dari "kontradiksi" yang diakui secara universal. Meskipun semua manusia dapat saja sepakat dalam satu sistem untuk mengembangkan suatu pemikiran, logika manusia tidak dapat dipergunakan sebagai hakim untuk menentukan kebenaran dan ketidakbenaran.

    Kekristenan, pada hal-hal tertentu, dapat dikatakan masuk akal dan logis, namun logika menemui batas kemampuan pada saat diperhadapkan dengan hal-hal seperti inkarnasi dari Kristus dan doktrin Tritunggal. Logika bukanlah Allah dan tidak boleh diberikan penghormatan. Penghormatan hanya boleh diberikan kepada Allah saja. Kebenaran hanya ditemukan pada penghakiman Allah, bukan pada pengadilan logika.

    Oleh karena itu, kita harus berhati-hati untuk menghindari dua sisi ekstrim yang biasanya diambil dalam hubungannya dengan penggunaan akal budi dan logika. Di satu pihak, ada manusia yang menolak menggunakan akal budi dan setuju pada iman yang buta. Di lain pihak, ada manusia yang memberikan logika sejumlah ruang untuk berdiri sendiri dan terlepas dari Allah. Kedua posisi tersebut tidak sesuai dengan karakter manusia sebelum kejatuhan. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang dapat berpikir dan mengembangkan pikirannya, namun ia diharapkan menyadari keterbatasan pikirannya dan ketergantungan logikanya pada Penciptanya.

    Karakter manusia sebelum dosa masuk ke dalam dunia merupakan dasar dari tugas berapologetika. Meskipun pada saat ini tidak ada seorang pun di dunia yang sama sekali lepas dari dosa, namun ada kualitas manusia sebelum kejatuhan yang terbawa sampai hari ini. Pada saat kita membela iman Kristen, kita berhubungan dengan laki-laki dan perempuan keturunan Adam. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memunyai pengertian yang kuat akan keadaan manusia sebelum kejatuhan.

-------------------Akhir Pelajaran (AUA I-P03)----

Doa

Ya, Tuhan, meskipun kami telah diciptakan menurut gambar dan rupa-Mu yang sempurna, namun kami hanya manusia yang fana dan terbatas secara fisik maupun keberadaan. Sedangkan Engkau adalah Allah Yang Mahakuasa; tidak ada yang dapat mengatasi atau melampaui kuasa-Mu. Tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Mu sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata-Mu. Oleh sebab itu, kepada-Mu sajalah kami harus memberikan pertanggungjawaban. Amin.

(Catatan: pertanyaan tertulis ada di bagian terpisah)

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 03 | Referensi 03a | Referensi 03b | Referensi 03c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia Sebelum Jatuh dalam Dosa
Kode Pelajaran: AUA I-P03

Pelajaran 03 - KARAKTER MANUSIA SEBELUM JATUH DALAM DOSA

*Instruksi*

Harap setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:

  1. Bacalah Bahan Pelajaran dan semua Referensi Pelajaran 05 dengan teliti.
  2. Bacalah Pertanyaan (A) dan (B) di bawah ini, kemudian jawablah dengan benar dan lengkap.
  3. Apabila Anda mendapatkan kesulitan sehubungan dengan isi Bahan Pelajaran, silakan menghubungi Pembimbing di:
    < yulia(at)in-christ.net >

Selamat mengerjakan!

Perhatian:

Setelah Anda menjawab tugas tertulis ini, mohon kirim kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:

==> < staf-pesta(at)sabda.org >

PERTANYAAN (A):

  1. Alkitab melihat sejarah dunia dan manusia dalam tiga tahap -- [........., ............., .............]
  2. Kemampuan manusia yang dapat berpikir dan mengembangkan pikirannya tidak dimiliki oleh mahluk ciptaan lain, hal ini disebabkan karena manusia memiliki [...............] Allah.
  3. Menurut Kol. 3:10, salah satu kualitas penting dari manusia sebelum jatuh dalam dosa adalah manusia memiliki [............] yang benar.
  4. Di taman Eden, Adam telah menggunakan akal budinya dalam ketaatan pada Allah, yaitu ketika ia [................]
  5. Meskipun manusia diciptakan Allah dengan sempurna tapi, manusia adalah mahluk ciptaan yang [............].
  6. Semua pengetahuan yang Adam miliki sebelum jatuh dalam dosa adalah benar sebab ia mendapatkannya dari sumber kebenaran, yaitu [...............]
  7. Penyataan Alkitab merupakan pemikiran Allah di mana bagi-Nya tidak ada satu hal pun yang bersifat [...........].
  8. Akal budi (logika) tidak akan menjadi sesuatu yang jahat, asal [...............]
  9. Kekristenan, pada hal-hal tertentu, dapat menemui kebuntuan untuk dapat dimengerti secara kemampuan logika manusia, contohnya [............].
  10. Manusia disarankan untuk tidak berdiri pada 2 sisi ekstrim, yaitu menolak menggunakan [.............] dan setuju pada iman yang buta atau sangat mengandalkan [...........] sehingga terlepas dari ketergantungannya pada Allah.

PERTANYAAN (B):

  1. Dalam banyak hal, kita mengakui bahwa manusia memiliki keterbatasan, terutama dalam pengetahuan. Tapi di tengah keterbatasan itu mengapa sebagai orang Kristen kita disarankan untuk tidak perlu takut mengalami ketersesatan?
  2. Mengapa memahami kedudukan manusia sebelum jatuh dalam dosa sangat penting untuk dapat memulai berapologetika?

Kirimkan kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:

==> < staf-pesta(at)sabda.org >

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 03 | Pertanyaan 03 | Referensi 03b | Referensi 03c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia Sebelum Jatuh dalam Dosa
Kode Referensi: AUA I-R03a

Referensi AUA I-R03a diambil dari:

Judul buku: Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah
Judul artikel: Gambar yang Orisinal
Penulis: Anthony A. Hoekama
Penerbit: Momentum, Surabaya 2003
Halaman: 105 -- 106

GAMBAR YANG ORISINAL

Untuk memahami gambar Allah dalam kandungan alkitabiah yang sepenuhnya, kita harus melihatnya di dalam terang penciptaan, kejatuhan dan penebusan. Sebelum manusia jatuh dalam dosa, kita melihat gambar yang orisinal. Meskipun kita tidak tahu bagaimana persisnya gambar Allah menyatakan diri pada tahap itu,[32] kita bisa mengasumsikan bahwa pasangan manusia pertama mencitrakan Allah dengan taat dan tanpa dosa. Menurut Augustinus, manusia pada saat itu "bisa tidak berdosa."[33] Maka kita juga bisa mengasumsikan bahwa pada tahap ini, Adam dan Hawa menjalani ketiga bentuk relasi yang telah kita bahas di atas dengan taat dan tanpa dosa: di dalam menyembah dan melayani Allah, di dalam mengasihi dan melayani sesama, dan di dalam berkuasa dan memelihara wilayah ciptaan di mana Allah telah menempatkan mereka.

Tetapi, masih diperlukan komentar tambahan. Meskipun pasangan manusia pertama ini tidak berdosa dan hidup dalam apa yang sering disebut para teolog sebagai "tahap integritas" (stage of integrity), mereka belum tiba di akhir perjalanan. Mereka belum menjadi penyandang gambar Allah yang telah berkembang sepenuhnya; mereka seharusnya maju ke satu tahap yang lebih tinggi, di mana ketidakberdosaan mereka tidak akan bisa hilang. Pada tahap yang pertama ini, masih ada kemungkinan untuk berdosa. Bavinck menyatakannya sebagai berikut: Adam tidak berdiri di akhir melainkan di awal perjalanan; ia berada dalam kondisi yang bersifat sementara, sehingga kondisi ini tidak bisa tetap bertahan seperti itu dan harus berlalu, baik menuju tahap kemuliaan yang lebih tinggi atau menuju kejatuhan dalam dosa dan maut.[34]

Selanjutnya, menurut Bavinck, fakta bahwa Adam dan Hawa masih harus hidup dengan kemungkinan dapat berdosa, bisa disebut sebagai batasan dari gambar Allah:

Adam ... memiliki posse non peccare [bisa tidak berdosa] tetapi belum memiliki non posse peccare [tidak bisa berdosa]. Dia masih hidup di dalam kemungkinan dapat berdosa ... dia belum memiliki kasih yang sempurna dan tidak berubah yang meniadakan semua rasa takut. Jadi, para teolog Reformed benar saat menegaskan bahwa kemungkinan ini, yaitu kemungkinan untuk berubah-ubah dan kemampuan untuk berbuat dosa ini ... bukanlah suatu aspek atau isi dari gambar Allah, melainkan batasan, limitasi, atau ujung dari gambar Allah.[35]

Hal ini jelas: integritas yang di dalamnya Adam dan Hawa bereksistensi sebelum Kejatuhan bukanlah keadaan sempurna yang telah digenapkan dan tak mungkin berubah. Manusia memang diciptakan menurut gambar Allah pada mulanya, tetapi ia belum menjadi "produk akhir." Dia masih perlu bertumbuh dan diuji. Allah hendak menetapkan apakah manusia akan taat kepada-Nya secara bebas dan sukarela. Untuk alasan inilah Allah memberikan sebuah "perintah larangan" kepada Adam, "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati" (Kej. 2:16-17). Jika Adam dan Hawa menaati perintah ini, siapa yang tahu akan menjadi seperti apa sejarah umat manusia. Tetapi, sangat disesalkan, mereka tidak taat sehingga mereka menjatuhkan diri mereka dan seluruh umat manusia yang lahir setelah mereka, ke dalam keadaan berdosa.

Catatan Kaki:

[32] Sebagaimana terlihat jelas melalui pernyataan ini, posisi yang diambil oleh buku ini adalah bahwa Kejatuhan yang tercatat di dalam Kejadian 3 merupakan peristiwa historis. Poin ini akan dijabarkan secara mendetail di dalam bab 7. [33] On Correction and Grace, 33. Dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Latin, "posse non peccare." [34] Dogmatiek, 2:606 (terj. penulis). [35] Ibid., hlm. 617 (terj. penulis). Bdk. juga Wm. Shedd, Dogmatic Theology, vol. 2 (1888; Grand Rapids; Zondervan, t.t.), hlm. 150 -- 152

----------------------------------------------------------------------
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 03 | Pertanyaan 03 | Referensi 03a | Referensi 03c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia Sebelum Jatuh dalam Dosa
Kode Referensi: AUA I-R03b

Referensi AUA I-R03b diambil dari:

Judul buku: Teologi Sistematika
Judul artikel: Watak Semula Manusia
Pengarang: Henry C. Thiessen
Penerbit: Gandum Mas, 2003
Halaman: 236 -- 240

WATAK SEMULA MANUSIA

Alkitab menggambarkan keadaan mula-mula manusia dengan memakai ungkapan "menurut gambar dan rupa Allah" (Kej. 1:26-27; 5:1; 9:6; 1Kor. 11:7; Yak. 3:9). Nampaknya tidak ada perbedaan berarti di antara kata-kata Ibrani "gambar" dan "rupa", sehingga kita tidak perlu mencari-cari perbedaan itu. Namun perlu kiranya kita membahas apakah gambar dan rupa itu.

  1. KESAMAAN ITU BUKAN KESAMAAN JASMANIAH
    ----------------------------------------

    Allah adalah Roh sehingga tidak memiliki anggota-anggota tubuh seperti manusia. Beberapa kalangan menggambarkan Allah sebagai manusia yang agung dan luhur, namun pandangan semacam ini salah. Mazmur 17:15 mengatakan, "Pada waktu bangun aku akan menjadi puas dengan rupa-Mu." Namun ayat ini tidak memaksudkan keadaan jasmaniah; lebih tepat kalau dikatakan bahwa ayat ini menurut konteksnya berbicara mengenai persamaan dalam kebenaran (lihat 1 Yoh. 3:2-3). Musa telah melihat "rupa Tuhan" (Bil. 12:8), walaupun wajah Allah tidak dapat dilihat (Kel. 33:20). Sekalipun manusia tidak memiliki kesamaan jasmaniah dengan Allah karena Allah tidak memiliki tubuh jasmaniah, manusia memang memiliki kesamaan tertentu karena manusia diciptakan dalam keadaan sehat walafiat, tidak ada bibit-bibit penyakit apa pun di dalam dirinya, dan tidak bisa mati. Nampaknya pada mulanya Allah merencanakan supaya manusia makan dari tumbuh-tumbuhan saja (Kej. 1:29), tetapi kemudian Ia mengizinkan daging hewan untuk dimakan (Kej. 9:3). Menarik untuk diperhatikan bahwa ketika Allah mengizinkan manusia memakan daging, Allah samasekali tidak memberikan peraturan mengenai hewan haram dan hewan halal meskipun perbedaan antara yang haram dan yang halal sudah diketahui (Kej. 7:2). Peraturan itu diberi kemudian untuk mengatur perilaku satu bangsa saja dan hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu (Imamat 11; Markus 7:19; Kisah 10:15; Roma 14:1-12; Kolose 2:16).

  2. KESAMAAN ITU ADALAH KESAMAAN MENTAL
    --------------------------------------

    Hodge mengatakan, Allah adalah Roh, jiwa manusia adalah roh juga. Sifat-sifat hakiki dari roh ialah akal budi, hati nurani, dan kehendak. Roh adalah unsur yang mampu bernalar, bersifat moral, dan oleh karena itu juga herkehendak bebas. Ketika menciptakan manusia menurut gambar-Nya Allah menganugerahkan kepadanya sifat-sifat yang dimiliki-Nya sendiri sebagai roh. Dengan demikian manusia berbeda dari semua makhluk lain yang mendiami bumi ini, serta berkedudukan jauh lebih tinggi daripada mereka. Manusia termasuk golongan yang sama dengan Allah sendiri sehingga ia mampu berkomunikasi dengan Penciptanya. Kesamaan sifat antara Allah dan manusia ini ... Juga merupakan keadaan yang diperlukan untuk mengenal Allah dan karena itu merupakan dasar dari kesalehan kita. Bila kita tidak diciptakan menurut gambar Allah, kita tidak dapat mengenal Dia. Kita akan sama dengan binatang-binatang yang akhirnya binasa.

    Pernyataan Hodge ini dikuatkan oleh Alkitab. Dalam pengudusan, manusia "terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya" (Kol. 3:10). Tentu saja, pembaharuan ini dimulai pada saat kelahiran baru terjadi, tetapi dilanjutkan dalam pengudusan. Bahwa manusia diberi kemampuan intelektual yang tinggi tersirat dalam perintah untuk mengusahakan taman Eden serta memeliharanya (Kej. 2:15), juga perintah untuk menguasai bumi beserta segala isinya (Kej. 1:26, 28), dan dalam pemyataan bahwa manusia memberi nama kepada segala binatang di bumi (Kej. 2:19-20). Kesamaan dengan Allah ini tidak dapat dihapus, dan karena kesamaan tersebut memungkinkan manusia memperoleh penebusan, maka kehidupan manusia yang belum dilahirkan baru juga berharga (Kej. 9:6; 1 Kor. 11:7; Yak. 3:9). Betapa berbcdanya gambaran ini tentang keadaan mula-mula manusia dengan pandangan evolusi, yang menganggap manusia yang pertama hanya sedikit di atas binatang liar yang tidak hanya bodoh, tetapi sama sekali tanpa kemampuan mental apa pun.

  3. KESAMAAN ITU ADALAH KESAMAAN MORAL
    -------------------------------------

    Beberapa pihak telah membuat kekeliruan karena menganggap bahwa gambar dan rupa Allah yang menjadi karakter asli manusia ketika diciptakan itu hanya terdapat dalam sifat rasionalnya; sedangkan yang lain membatasi kesamaan itu pada kekuasaan manusia saja. Yang lebih tepat ialah bahwa kesamaan itu terdapat dalam sifat rasional manusia dan dalam persesuaian moralnya dengan Allah. Hodge mengatakan, Manusia adalah gambar Allah, sehingga membawa dan mencerminkan kesamaan ilahi di antara penghuni-penghuni lain di bumi, karena manusia itu roh, unsur yang cerdas dan berkehendak bebas; dan oleh karena itu sudah sepantasnya manusia ditetapkan untuk menguasai bumi. Inilah yang biasanya disebut oleh para teolog Reformasi sebagai gambar Allah yang hakiki dan bukan yang insidental.

    Bahwa manusia memiliki kesamaan semacam itu dengan Allah sudah jelas dalam Alkitab. Bila dalam pembaharuan manusia baru itu "diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya" (Ef. 4:24), maka pastilah tepat untuk menyimpulkan bahwa pada mulanya manusia memiliki baik kebenaran maupun kekudusan. Konteks Kejdian 1 dan 2 membuktikan hal ini. Hanya atas dasar inilah manusia dapat bersekutu dengan Allah, yang tidak dapat memandang kelaliman (Hab. 1:13). Pengkhotbah 7:29 mendukung pendapat ini. Di situ tercatat bahwa Allah telah menciptakan "manusia yang jujur". Kenyataan ini dapat juga kita simpulkan dari Kejadian 1:31 yang mengatakan bahwa "Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik." Kata "segala" mencakup juga manusia sehingga pemyataan itu tidaklah benar apabila manusia diciptakan dengan keadaan moral yang tidak sempurna.

    Apakah yang dimaksudkan dengan kebenaran dan kesucian mula-mula? Yang jelas, kebenaran dan kesucian mula-mula bukanlah hakikat manusia, karena dengan demikian watak manusia pasti sudah tidak ada lagi ketika ia berbuat dosa. Kekudusan dan kebenaran mula-mula tersebut juga bukan pemberian dari luar, yaitu sesuatu yang ditambahkan kepada manusia setelah ia diciptakan, karena dikatakan bahwa manusia memiliki gambar ilahi itu ketika diciptakan, dan bukan karena dikaruniakan kepadanya setelah diciptakan. Shedd menerangkannya sebagai berikut, Kekudusan bukanlah sekadar keadaan tidak berdosa. Tidaklah memadai untuk mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan tidak berdosa. Hal ini dapat dikatakan apabila manusia samasekali tidak mcmiliki watak yang moral entah itu benar atau salah. Manusia diciptakan tidak hanya sebagai makhluk yang tidak berdosa secara negatif, tetapi juga sebagai makhluk kudus secara positif. Keadaan manusia yang diperbaharui adalah pemulihan keadaannya yang semula; dan kebenaran manusia yang telah diperbaharui disebut dalam Alkitab sebagai kata 'theon', Ef. 4:21, dan sebagai "kekudusan yang sesungguhnya", Ef. 4:24. Ini merupakan watak yang positif, dan bukan sekadar keadaan tidak berdosa saja. Kadang- kadang hal ini disebut sebagai kekudusan yang "diciptakan bersama", sebagai berlawanan dengan kekudusan yang menurut beberapa orang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia setelah ia diciptakan. Kekudusan mula-mula ini dapat diartikan sebagai kecenderungan kasih sayang dan kemauan manusia, sekalipun disertai kekuatan pilihan yang jahat, ke arah pengenalan yang rohani akan Allah serta hal-hal rohani lainnya. Kekudusan mula-mula ini berbeda dengan kekudusan yang disempurnakan dari orang-orang saleh, sebagaimana kasih sayang yang naluriah dan keadaan tidak berdosa yang kekanak-kanakan adalah berbeda dari kckudusan yang telah dimatangkan dan diperkuat oleh pencobaan.

  4. KESAMAAN ITU ADALAH KESAMAAN SOSIAL
    --------------------------------------

    Sifat Allah yang sosial itu didasarkan pada kasih sayang-Nya. Yang menjadi sasaran kasih sayang-Nya adalah Oknum-Oknum lain di dalam ketritunggalan-Nya. Karena Allah memiliki sifat sosial, maka Ia menganugerahkan kepada manusia sifat sosial. Akibatnya, manusia senantiasa mencari sahabat untuk bersekutu dengannya. Pertama-tama, manusia menemukan persahabatan ini dengan Allah sendiri. Manusia "mendengar bunyi langkah Tuhan Allah yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk" (Kej. 3:8). Hal ini menyatakan secara tak langsung bahwa manusia berkomunikasi dengan Allah Penciptanya. Allah telah menciptakan manusia untuk diri-Nya sendiri, dan manusia menemukan kepuasan tertinggi dalam persekutuan dengan Tuhannya. Akan tetapi, di samping itu Allah juga menganugerahkan persahabatan manusiawi. Ia menciptakan wanita, karena, sebagaimana dikatakan-Nya sendiri, "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia" (Kej. 2:18). Agar persekutuan ini menjadi sangat mesra, Ia menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Adam mengakui bahwa Hawa adalah tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya, maka dinamakannya "perempuan". Dan oleh sebab hubungan yang begitu intim di antara keduanya, "seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kej. 2:24). Jelaslah bahwa manusia diciptakan dengan sifat sosial, sebagaimana Allah mennpunyai sifat sosial. Kasih dan perhatian sosial manusia bersumber langsung dari unsur ini dalam watak manusia.

----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 03 | Pertanyaan 03 | Referensi 03a | Referensi 03b

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia Sebelum Jatuh dalam Dosa
Kode Referensi: AUA I-R03c

Referensi AUA I-R03c diambil dari:

Judul buku: Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah
Judul artikel: Ajaran Perjanjian Lama
Pengarang: Anthony A. Hoekhema
Penerbit: Momentum, 2003
Halaman: 15 -- 20

AJARAN PERJANJIAN LAMA

Perjanjian Lama tidak banyak berbicara tentang gambar Allah. Konsep ini dibicarakan secara eksplisit hanya dalam tiga bagian Perjanjian Lama, semuanya di kitab Kejadian: 1:26-28; 5:1-3; dan 9:6. Orang juga bisa berpendapat bahwa Mazmur 8 mendeskripsikan apa yang dimaksudkan dengan penciptaan manusia menurut gambar Allah, tetapi frasa "gambar Allah" tidak ada di sana. Kita akan memerhatikan keempat bagian Perjanjian Lama ini secara berurutan.

Kejadian 1:26-28 berbunyi:

(26) Berfirmanlah Allah: "Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas se- gala binatang melata yang merayap di bumi." (27) Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (28) Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung- burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Kejadian 1 mengajarkan keunikan penciptaan manusia, yakni bahwa sementara Allah menciptakan setiap hewan "menurut jenisnya" (ay. 21,2425), hanya manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (ay. 26-27). Herman Bavinck menyatakannya sebagai berikut:

Seluruh dunia merupakan penyataan Allah, cermin dari nilai-nilai dan kesempurnaan-Nya; dengan cara dan menurut ukurannya masing-masing, setiap makhluk merupakan perwujudan dari pemikiran ilahi. Tetapi di antara semua ciptaan, hanya manusia yang merupakan gambar Allah, penyataan yang tertinggi dan terkaya akan Allah, dan oleh karena itu, me rupakan kepala dan puncak dari seluruh penciptaan. Hal pertama yang begitu menyedot perhatian kita pada saat membaca Kejadian 1:26 adalah kata kerja utamanya yang berbentuk jamak, "Berfirmanlah Allah: `Baiklah Kita menjadrkan manusia...." Ini mengindikasikan bahwa penciptaan manusia memiliki kelas tersendiri, karena ungkapan ini tidak dipakai untuk ciptaan lain yang mana pun. Banyak teolog telah mencoba untuk menjelaskan bentuk jamak ini. Penjelasan bahwa hal ini merupakan "kemuliaan dalam bentuk jamak" sangat tidak mungkin, karena bentuk jamak seperti ini tidak ditemukan di bagian Alkitab lain. Yang lain beranggapan bahwa Allah di sini tengah berbicara dengan para malaikat. Kita juga harus menolak penafsiran ini karena Allah tidak pernah dikatakan meminta masukan dari malaikat, karena mereka yang juga dicipta tak bisa menciptakan manusia, dan karena manusia tidak dijadikan menurut rupa malaikat. Kita harus menafsirkan bentuk jamak ini mengindikasikan bahwa Allah tidak bereksistensi sebagai keberadaan yang tersendiri, melainkan sebagai keberadaan yang memiliki persekutuan dengan "yang lain." Meski kita tak bisa mengatakan bahwa di bagian ini kita memiliki ajaran yang jelas tentang Trinitas, kita bisa mempelajari bahwa Allah bereksistensi sebagai satu "pluralitas." Apa yang dinyatakan secara tidak langsung di sini akan dikembangkan lebih lanjut dalam Perjanjian Baru menjadi dokrin Trinitas.

Juga harus diperhatikan bahwa ada sebuah perencanaan yang mendahului penciptaan manusia: "Marilah Kita menjadikan manusia...." Hal ini sekali lagi menunjukkan keunikan dalam penciptaan manusia. Perencanaan ilahi seperti ini tidak pernah dikaitkan dengan ciptaan lain.

Kata yang diterjemahkan sebagai manusia dalam ayat ini berasal dari kata Ibrani adam. Kata ini kadang dipakai sebagai nama diri, Adam (lihat, misalnya, Kejadian 5:1, "Inilah daftar keturunan Adam"). Tetapi, kata ini bisa juga berarti manusia pada umumnya. Dalam pengertian ini, kata tersebut memiliki makna yang sama dengan kata Jerman Mensch: bukan laki-laki dalam keberbedaannya dengan perempuan, melainkan manusia dalam keberbedaannya dari ciptaan yang non manusia, yaitu manusia sebagai laki-laki atau perempuan, atau manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Dalam pengertian Inilah kata tersebut dipakai di dalam Kejadian 1:26 dan 27. Kadang kata adam juga dipakai untuk menunjuk umat manusia (lihat misalnya Kejadian 6:5, "ketika dilihat TUHAN bahwa kejahatan manusia besar di bumi"). Karena berkat yang terdapat di Kejadian 1:28 teraplikasikan kepada seluruh umat manusia, kita bahkan bisa mengatakan bahwa ayat 26 dan 27 mendeskripsikan penciptaan umat manusia, meski kita kemudian harus membatasi pemyataan ini sebagai berikut: Allah menciptakan lakilaki dan perempuan itu, yang mana dari keduanyalah semua umat manusia akan dilahirkan.

Kita sekarang sampai pada kata-kata yang penting: "menurut gambar dan rupa Kita." Kata yang diterjemahkan sebagai gambar adalah tselem, dan yang diterjemahkan sebagai rupa adalah demuth. Di dalam bahasa Ibrani tak ada kata sambung di antara kedua ungkapan tersebut; teks Ibrani hanya berbunyi "marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar rupa Kita." Baik Septuaginta maupun Vulgata memasukkan kata dan, sehingga memberi kesan bahwa "gambar" dan "rupa" mengacu kepada dua hal yang berbeda. Tetapi, teks bahasa Ibrani memperjelas bahwa tak ada perbedaan yang esensial di antara keduanya: "menurut gambar Kita" hanyalah suatu cara lain untuk mengatakan "menurut rupa Kita." Hal ini akan terbukti dengan menelaah pemakaian kedua kata ini di bagian ini dan di dua bagian kitab Kejadian lainnya. Dalam Kejadian 1:26, baik kata gambar maupun rupa dipakai; dalam Kejadian 1:27 hanya kata gambar yang dipakai. Dalam Kejadian 5:3 kedua kata dipakai, tetapi kali ini dengan urutan yang berbeda: menurut rupa dan gambar [Adam]. Dan sekali lagi dalam Kejadian 9:6 hanya kata gambar yang dipakai. Jika kata-kata ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan aspek-aspek manusia yang berbeda, maka keduanya takkan dipakai dengan cara seperti yang baru kita lihat, yaitu bisa dipertukarkan.

Tetapi, meski kedua kata ini biasa dipakai sebagai sinonim, kita bisa menemukan sedikit perbedaan di antara keduanya. Kata Ibrani untuk gambar, tselem, diturunkan dari akar kata yang bermakna "mengukir" atau "memotong." Maka kata ini bisa dipakai untuk mendeskripsikan ukiran berbentuk binatang atau manusia. Ketika diaplikasikan pada penciptaan manusia di dalam Kejadian 1, kata tselem ini mengindikasikan bahwa manusia menggambarkan Allah, artinya manusia merupakan suatu representasi Allah. Kata Ibrani untuk rupa, demuth di dalam Kejadian 1 bermakna "menyerupai." Jadi, orang bisa berkata bahwa kata demuth di Kejadian 1 mengindikasikan bahwa gambar tersebut juga merupakan keserupaan, "gambar yang menyerupai Kita." Kedua kata itu memberi tahu kita bahwa manusia merepresentasikan Allah dan menyerupai Dia dalam hal-hal tertentu.

Bagaimana manusia menyerupai Allah tidak dinyatakan secara spesifik dan eksplisit di dalam kisah penciptaan, meskipun kita bisa melihat bahwa keserupaan-keserupaan tertentu dengan Allah terimplikasikan di sana. Misalnya, dari Kejadian 1:26 kita bisa menarik kesimpulan bahwa kekuasaan atas binatang dan atas seluruh bumi merupakan satu aspek dari gambar Allah. Di dalam menjalankan kekuasaan ini manusia menjadi serupa dengan Allah, karena Allah memiliki kuasa yang tertinggi dan ultimat atas bumi. Dari ayat 27 kita bisa menyimpulkan bahwa aspek lain dari gambar Allah menyangkut perihal penciptaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Karena Allah adalah Roh (Yoh. 4:24), maka kita tak boleh menyimpulkan bahwa keserupaan dengan Allah dalam hal ini ditemukan di dalam perbedaan fisik antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Keserupaan ini harus ditemukan di dalam fakta bahwa laki- laki memerukan pendampingan perempuan, bahwa manusia merupakan makhluk sosial, bahwa kaum perempuan melengkapi kaum laki-laki dan kaum laki- laki melengkapi kaum perempuan. Dalam hal ini manusia mencerminkan Allah, yang bereksistensi bukan sebagai Keberadaan yang terasing, melainkan berada di dalam persekutuan-persekutuan yang pada tahap penyataan selanjutnya digambarkan sebagai persekutuan antara Bapa, Anak dan Roh Kudus. Dari fakta bahwa Allah memberkati umat manusia dan memberikan mandat kepada mereka (ay. 28), kita bisa menyimpulkan bahwa umat manusia juga menyerupai Allah dalam hal mereka adalah keberadaan yang berpribadi dan bertanggung jawab, yang bisa diajak berbicara oleh Allah dan yang bertanggung jawab kepada Allah sebagai Pencipta dan Penguasa atas mereka. Sebagaimana Allah di sini dinyatakan sebagai satu Pribadi (di kemudian hari di dalam sejarah penyataan, hal ini diperluas menjadi tiga Pribadi) yang mampu membuat keputusan dan memerintah, maka manusia adalah pribadi yang juga mampu membuat keputusan dan memerintah.

Sementara meneruskan penelaahan kita terhadap Kejadian 1:26-28, kita melihat berkat Allah bagi manusia dalam ayat 28 (sebagaimana ayat 22 menunjukkan berkat Allah bagi binatang). Bagian terakhir dari berkat ini sangat mirip dengan apa yang dikatakan mengenai manusia dalam ayat 26, "supaya mereka berkuasa." Hanya saja kata kerja di sini berbentuk orang kedua jamak dan ditujukan kepada orangtua pertama kita. Kata-kata mengenai kekuasaan manusia ini didahului oleh kata- kata yang tidak ditemukan dalam ayat 26, "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi." Perintah untuk beranak cucu dan bertambah banyak mengimplikasikan lembaga pernikahan, yang penetapannya dikisahkan dalam Kejadian 2:18-24.

Dalam memberikan berkat-Nya, Allah berjanji akan memampukan manusia untuk berkembang biak dan menghasilkan keturunan yang akan memenuhi bumi; Dia juga berjanji akan memampukan mereka menaklukkan bumi dan berkuasa atas binatang-binatang dan atas bumi itu sendiri. Kata-kata ini merupakan berkat, tetapi juga mengandung perintah atau mandat. Allah memerintahkan manusia untuk beranak cucu dan berkuasa. Ini secara umum disebut mandat budaya: perintah untuk memerintah bumi atas nama Allah dan membangun budaya yang memuliakan Allah.

Sebelum kita beralih ke bagian teks berikutnya, ada satu hal lagi yang perlu dicatat. Ayat 31 berbunyi, "Maka Allah melihat segala yang dijadikanNya itu, sungguh amat baik." "Segala yang dijadikan-Nya" ini mencakup juga manusia. Maka, saat manusia bermula dari tangan Sang Pencipta, ia tidak rusak, bobrok, atau berdosa; manusia berada dalam kondisi berintegritas, tidak bersalah, dan kudus. Apa pun yang terdapat dalam diri manusia saat ini, yang jahat atau menyimpang, bukan merupakan bagian dari penciptaannya yang semula. Saat diciptakan, manusia sangat baik adanya.

----------------------------------------------------------------------

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pertanyaan 04 | Referensi 04a | Referensi 04b | Referensi 04c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia yang Berdosa
Kode Pelajaran: AUA I-P04

Pelajaran 04 - KARAKTER MANUSIA YANG BERDOSA

Daftar Isi

  1. Kejatuhan Umat Manusia
  2. Akibat Kejatuhan Manusia ke dalam Dosa
  3. Ketidakkonsistenan dan Permukaan Kebenaran

Doa

KARAKTER MANUSIA YANG BERDOSA

"Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani." (1 Kor. 2:14)

Pada pelajaran sebelumnya, kita telah mendiskusikan karakter manusia sebelum jatuh dalam dosa. Namun, pengertian kita akan manusia tidaklah lengkap apabila kita tidak mempelajari sebab akibat dari kejatuhan manusia. "Pengetahuan tentang diri kita sendiri, yang pertama adalah berdasarkan pada apa yang telah diberikan pada waktu penciptaan ..., kedua, kita perlu mengingat akan keadaan kita yang menyedihkan dan tidak menyenangkan setelah kejatuhan Adam."

Karakter manusia telah berubah di bawah kutuk dosa. Manusia bukan merupakan gambar Allah yang sempurna lagi; manusia tidak lagi hidup dan berpikir sebagaimana halnya Adam dan Hawa sebelum jatuh dalam dosa. Dalam pelajaran berikut, kita akan melihat lebih jelas lagi bagaimana dosa sangat memengaruhi manusia dan sebagai akibatnya manusia telah menyangkali ketergantungannya secara mutlak pada Allah.

  1. Kejatuhan Umat Manusia

    Allah telah membuat laki-laki dan perempuan menurut gambar-Nya dan telah menempatkan mereka di taman Eden. Saat Adam dan Hawa menyadari akan keberadaan mereka sebagai makhluk ciptaan Allah, mereka dengan senang hati mendedikasikan diri mereka untuk melayani Allah. Waktu pun berlalu dan kesetiaan manusia kepada Allah diuji. Allah telah menempatkan pohon pengetahuan baik dan jahat di tengah-tengah taman, dan berkata:

    "tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya pastilah engkau mati." (Kej. 2:17)

    Dalam hal ini, banyak yang perlu dipertaruhkan manusia dari hanya sekadar menahan diri untuk tidak makan buah tersebut. "Pada mulanya Adam berhasil menghindari pohon pengetahuan baik dan jahat serta membuktikan bahwa ia dengan sukarela berada di bawah perintah Allah." Allah telah berkata dan mewahyukan kehendak-Nya tentang pohon yang terlarang itu. Adam dan Hawa ditempatkan pada posisi untuk menguji kesadaran mereka apakah mengakui atau menyangkali otoritas Allah dan ketergantungan mereka akan Dia.

    Pasal ketiga dari kitab Kejadian berpusat pada kejatuhan manusia. Ular, yang disebut Alkitab si Iblis (Kej. 3:15; Rom. 16:20), menghampiri Hawa dan mencobainya untuk mengabaikan perintah Allah. Dengan menghadapkan Hawa pada pilihan yang paling penting dalam hidupnya, Iblis berkata:

    "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat." (Kej. 3:4-5)

    Perkataan Iblis jelas bertolak belakang dengan penyataan (wahyu) Allah. Hawa dihadapkan pada pilihan, siapakah yang dapat dipercaya? Allah mengatakan "kamu akan mati" dan ular berkata "kamu tidak akan mati". Perempuan itu harus percaya pada salah satu dari dua pernyataan yang berlawanan itu. Kemudian ular yang licik itu tidak puas hanya dengan mengatakan bahwa Allah membuat kesalahan. Ia bahkan membujuk Hawa untuk percaya bahwa bila ia memakan buah itu, perbedaan antara Pencipta dan ciptaan akan hilang. "Kamu akan menjadi seperti Allah," (Kej. 3:5) kata Iblis dengan penuh kesombongan.

    Hawa tertipu oleh tipuan ular yang licik. Kita dapat mengatakan bahwa tindakan Hawa ini merupakan tindakan yang sangat bodoh, namun rupanya pencobaan untuk menjadi seperti Allah terlalu besar untuk dihindari. Setelah semua penghormatan Hawa kepada Penciptanya digoncangkan, Hawa memutuskan untuk tidak lagi bergantung pada Allah untuk mengetahui pengetahuan yang benar, demikian juga untuk petunjuk yang berkenaan dengan moralitas.

    Ular mempertanyakan keabsahan dan kemampuan Allah dalam hal-hal ini, dan Hawa telah termakan oleh saran-sarannya. Sebelumnya, Hawa menerima wahyu Allah dan mengakui ketergantungannya secara mutlak pada Allah. Namun, sekarang ia memutuskan bahwa ketergantungannya pada Allah merupakan suatu pilihan. Pembacaan yang teliti dari Kej. 3:6 memerlihatkan inti dari kesalahan Hawa.

    "Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya."

    Hawa tidak secara langsung menolak firman Allah dan menerima perkataan dari si ular. Melainkan, ia mengamati sendiri pohon itu dan kemudian memutuskan karakter dari pohon itu berdasarkan pengertiannya sendiri. Dia berkata kepada dirinya sendiri, "Mengapa mendengarkan orang lain? Aku akan membuat hukum bagi diriku sendiri; Aku akan memutuskan sendiri!" Dengan melakukannya, Hawa menolak perbedaan antara Pencipta dan ciptaan. Dia menyamaratakan wahyu Allah yang berdiri sendiri dengan perkataan si ular dan menempatkan dirinya di atas mereka berdua sebagai hakim.

    Hawa lalu memberikan buah itu kepada Adam. Adam memakannya dan sejak itu umat manusia jatuh di bawah kuasa dosa. Ini merupakan inti dari dosa; manusia memberontak melawan ketergantungannya pada Allah dan manusia berasumsi bahwa dia mampu untuk berdiri sendiri tanpa Allah.

    Sangat penting untuk diingat bahwa perbedaan Pencipta dan ciptaan tetap berlangsung meskipun manusia memilih untuk tidak mengakuinya. Adam dan Hawa tidak menjadi berkurang dalam ketergantungannya pada Allah setelah kejatuhan dibanding dengan keberadaan mereka sebelum jatuh dalam dosa. Mereka hanya menolak untuk mengakui ketergantungan mereka. Seorang anak balita dapat menipu dirinya sendiri untuk berpikir bahwa ia tidak memerlukan orang tuanya, namun penyangkalannya ini tidak membedakan kenyataan bahwa ia tergantung pada orang tuanya.

    Sama halnya dengan Adam dan Hawa yang berpikir mereka berdiri sendiri terlepas dari Allah, kenyataannya mereka tetap membutuhkan Allah dalam segala sesuatu, bahkan untuk kemampuan menolak Allah. Persyaratan Allah bagi Adam dan Hawa adalah supaya mereka mengakui ketergantungan mereka dan hidup sesuai dengan kebenaran ini. Mereka telah gagal untuk memenuhi tuntutan Allah dan jatuh ke dalam dosa. Mereka berpikir dirinya cukup bijak, mereka telah menjadi bodoh, sebab firman Allah ternyata benar; dan mereka mati.

  2. Akibat Kejatuhan Manusia ke dalam Dosa

    Kejatuhan manusia ke dalam dosa di taman Eden bukan kejadian masa lalu yang terpisah dari masa kini, dalam arti hanya memunyai akibat yang sedikit bagi manusia yang hidup pada masa kini; peristiwa kejatuhan telah membuat semua manusia berada di bawah belenggu dosa.

    "Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa." (Rom. 5:12)

    Sejak lahir, semua manusia telah dicemarkan oleh dosa (Maz. 51:5; Ef. 2:3). Sebagaimana Adam dan Hawa yang telah menolak perbedaan antara Pencipta dan ciptaan, semua manusia telah menyangkal wahyu Allah, baik melalui semua ciptaan maupun melalui wahyu khusus (firman Tuhan).

    Paulus menjelaskan penolakan manusia akan wahyu melalui penciptaan dalam Rom. 1:18-32. Paulus mengatakan bahwa meskipun ciptaan dengan jelas menyatakan karakter Allah dan kehendak-Nya, namun manusia yang tidak percaya telah menindas "kebenaran dengan kelaliman" (ay. 18). Mereka menolak untuk mengakui Allah yang telah mewahyukan diri-Nya melalui ciptaan sebab "pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap" (ay. 21). "Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh" (ay. 22), sebab mereka memilih untuk menyembah "makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin" (ay. 25). Oleh karena "mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk ...." (ay. 28). Manusia yang telah jatuh dalam dosa, menolak untuk mengakui penyataan Allah dalam semua aspek.

    Orang-orang yang tidak percaya juga tidak memberikan tempat yang sewajarnya pada wahyu khusus Allah. Tuhan Yesus menggambarkan bagaimana Israel menolak ketergantungannya pada wahyu khusus Allah dalam perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur (Mat. 21:33-44). Penggarap-penggarap kebun anggur memeroleh mata pencaharian mereka dari kemurahan hati si empunya tanah, tetapi mereka menolak untuk menghormatinya. Akibatnya, si pemilik tanah mengutus utusan-utusan khusus kepada si petani. Bahkan, Ia telah mengutus Anak-Nya. Namun, si petani membencinya, bahkan membunuh Anak itu. Sama halnya dengan semua manusia yang seharusnya tunduk kepada wahyu khusus Allah melalui firman Tuhan, sebaliknya mereka telah menolaknya. Dosa telah mencengkeram manusia sedemikian rupa sehingga manusia tidak mampu lagi menundukkan dirinya kepada firman Allah.

    "Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya." (Rom. 8:7)

    "ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani." (1 Kor. 2:14)

    Manusia tidak menundukkan diri pada wahyu Allah. Manusia telah mengikuti teladan Adam dan Hawa yang mengira bahwa segala sesuatu harus diukur oleh "garis pengukur dari kebodohan kedagingan mereka".

    Kegagalan manusia untuk mengakui wahyu Allah dalam alam semesta dan untuk menerima firman Tuhan sebagai alat untuk mengenal Allah dan mengetahui kehendak-Nya, telah membuat manusia berada di posisi yang sulit. Yeremia menyerukan pada zamannya sebagai berikut:

    "Sesungguhnya, mereka telah menolak Firman Tuhan, maka kebijaksanaan apakah yang masih ada pada mereka?" (Yer. 8:9)

    Apa yang dapat kita lihat bila mata kita tertutup? Apa yang dapat memuaskan dahaga kita bila sumur kita kering? Tidak ada! Sama halnya dengan hikmat dan pengetahuan. Allah sendiri "mengajar manusia akan pengetahuan" (Maz. 97:4) melalui wahyu-Nya. Jika kita menolak firman- Nya, itu berarti kita menolak semua kebenaran, dan secara prinsipil, kita tidak mengetahui apa-apa selain ketidakbenaran.

    "Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan." (Ams. 1:7)

    Karena penolakan mereka akan wahyu Allah, maka manusia:

    "hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka." (Ef. 4:17-18)

    Atas dasar ini, dikatakan bahwa:

    "Tuhan mengetahui rancangan-rancangan orang berhikmat; sesungguhnya semuanya sia-sia belaka." (1 Kor. 3:20)

  3. Ketidakkonsistenan dan Permukaan Kebenaran

    Akibat dosa, orang-orang yang tidak percaya sangat jelas menolak kebenaran yang diwahyukan melalui firman Tuhan, dan secara sembarangan menyalahtafsirkan dunia sekelilingnya. Namun, tidak semua pemikiran dan pernyataan orang-orang itu dapat diartikan salah. Bagaimana mereka dapat berpikir dan mengekspresikan ide-ide yang benar? Orang-orang percaya dan tidak percaya sama-sama menyatakan bahwa dua tambah dua adalah empat. Ada beberapa peristiwa dalam Alkitab yang menyatakan bahwa orang-orang yang telah jatuh ke dalam dosa dapat memiliki kebenaran (Mat. 23:1, dst.; Kis. 17:28). Bagaimana kita dapat mengerti hal-hal ini dalam hubungan penolakan manusia yang berdosa akan Allah sebagai sumber kebenaran?

    Pemecahan masalah ini terletak pada pengamatan yang lebih dekat atas kondisi manusia yang telah jatuh dan dua aspek dari pengetahuannya. Pertama, meskipun orang-orang tidak percaya menolak wahyu Allah mengenai diri-Nya, mereka tidak dapat secara terus-menerus menolak secara konsisten. Dasar dari ketidakkonsistenan dalam taraf tertentu adalah karena manusia berdosa tetap merupakan gambar Allah dan tetap memiliki banyak kemampuan yang telah dimilikinya sejak semula (Kej. 9:6; Yak. 3:9). Oleh anugerah umum, Allah telah menahan akibat dosa dan pencemaran sehingga orang-orang non-Kristen tetap dapat berpikir dan bertindak atau bereaksi sesuai dengan keberadaan mereka sebagai gambar Allah, walaupun mereka tidak mengakui Allah sebagai Pencipta.

    "Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela." (Rom. 2:14, 15)

    Manusia yang telah jatuh dalam dosa, memulai pendapatnya tentang ketidaktergantungan dirinya pada Allah dan kemampuan untuk mengetahui kebenaran terpisah dari Allah. Apabila ia mengembangkan asumsi ini secara terus-menerus dengan konsisten, ia tidak akan menemukan pengetahuan yang benar sebab ketergantungan pada Allah adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan kebenaran. Karena itu, orang-orang yang tidak percaya tidak berhasil dan telah gagal.

    Sejalan dengan ketidaksinambungan usaha orang-orang yang tidak percaya untuk menahan dan menyangkali wahyu Allah, kita dapat mengerti kemampuan mereka untuk mengetahui kebenaran saat kita melihat karakter dari pemahaman mereka akan kebenaran. "Kapasitas manusia yang telah jatuh dalam dosa untuk mengerti ... merupakan sesuatu yang labil dan transisi dalam pandangan Allah ...." Orang-orang yang tidak percaya mampu untuk mengetahui kebenaran, hanya saja mereka gagal memberi kesinambungan dalam prinsip-prinsip berpikir mereka yang berdosa sehingga menyebabkan pengetahuan mereka hanya terlihat benar di permukaan saja.

    Berikut ini adalah analogi yang akan menolong kita untuk lebih mengerti. Perkataan Tuhan Yesus kepada orang Farisi sering kali menunjukkan perbedaan antara perilaku mereka secara luar dengan motivasi mereka dari dalam hati. Nilai dari tugas rohani yang sangat besar telah dicemari oleh motivasi mereka yang merasa diri paling benar dan sombong. Amsal mengatakan bahwa:

    "Korban orang fasik adalah kekejian bagi Tuhan, tetapi doa orang jujur dikenan-Nya." (Ams. 15:8)

    Orang-orang Farisi memiliki kerohanian yang hanya terlihat dari luar saja, namun kesucian mereka atau kerohanian mereka telah dicemari oleh apa yang ada di belakang tindakan yang terlihat dari luar.

    Perbedaan yang serupa dapat kita terapkan dalam area pengetahuan secara umum. Kita tidak boleh pernah merasa puas dengan penampilan yang kelihatannya merupakan pernyataan yang benar dari manusia yang berdosa. Kita harus berhati-hati dengan apa yang terletak di balik ide-ide yang ditunjukkan. Misalnya, Saksi Yehova dengan jujur dapat mengatakan, "Yesus adalah Tuhan." Kita semua akan setuju dengan pernyataan ini sebagai hal yang benar secara permukaan. Namun, Saksi Yehova menolak ke-Tuhanan Kristus dan berpendapat bahwa ke-Tuhanan Kristus merupakan keberadaan-Nya sebagai malaikat yang khusus. Oleh karena itu, kita harus memertimbangkan dan mengatakan bahwa pernyataan mereka tidak benar.

    Alasan kita untuk menyetujui dan menyangkali suatu pernyataan pada saat bersamaan disebabkan oleh perbedaan antara permukaan pernyataan dengan apa yang ada di balik pernyataan itu. Pemisahan ini dapat nyata karena apa yang dikatakan oleh seseorang berbeda dengan maksud di balik perkataannya tersebut.

    Salah satu cara untuk menyelidiki suatu pernyataan adalah dengan cara selalu menanyakan apa yang dimaksud dengan perkataan atau pemikirannya. Manusia yang telah jatuh dalam dosa dapat mengatakan bahwa dunia ini bulat, namun apa yang dimaksudkan "dunia" oleh mereka? Apakah merupakan hasil ciptaan Allah yang dinyatakan oleh firman Tuhan atau sebagai hasil dari proses evolusi yang berlangsung sangat lama? Mereka dapat mengatakan bahwa kejujuran adalah baik dan pembunuhan adalah jahat. Namun, apa yang mereka maksudkan dengan "baik dan jahat"? Apakah baik dan jahat itu didefinisikan oleh hukum Allah atau hukum yang lain? Sama halnya dengan pohon yang indah yang baru saja ditanam di tanah yang beracun, demikian juga orang tidak percaya yang menyangkali kebenaran dan tidak mau kembali kepada wahyu Allah yang tidak dapat disangkali. Tanda kemandirian mereka yang terpisah dari Allah, dapat terlihat benar dari permukaan. Kadang-kadang, kita harus melihat jauh ke dalam sebelum kita dapat menemukan pengertian yang salah.

    Akar dari setiap ide dan pernyataan yang dikemukakan oleh orang yang tidak percaya adalah berdasarkan asumsi bahwa "saya tidak bergantung pada Allah dan mengetahui hal ini dari diri saya sendiri terpisah dari Allah dan pertimbangan kehendak-Nya".

    Untuk menyimpulkan pandangan yang tepat dari pernyataan yang benar, yang dibuat oleh orang tidak percaya, dapat dikatakan bahwa mereka benar dan juga salah. Orang-orang yang tidak percaya mungkin dapat berpikir dan berbicara tentang kebenaran dalam pengertian bahwa pikiran mereka bisa berasal dari wahyu Allah yang tidak dapat dihindari dan dihasilkan dari anugerah umum Allah melalui kualitas manusia sebagai gambar Allah yang tidak dapat disangkali. Lebih dari itu, mereka benar dalam pengertian bahwa wahyu Allah memang sebenarnya mengiyakan pernyataan mereka dari permukaan. Diharapkan kebenaran yang mereka dapatkan secara permukaan ini dapat memimpin mereka kepada pengakuan akan Allah dan ketaatan kepada-Nya.

    Bersamaan dengan pernyataan bahwa orang tidak percaya itu benar, kita dapat juga mengatakan pernyataan orang-orang tidak percaya adalah tidak benar. Oleh karena pernyataan-pernyataan itu bukan merupakan hasil dari kerelaan untuk taat kepada wahyu Allah, melainkan sebagai hasil dari penyangkalan fakta perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan.

    Pernyataan-pernyataan orang tidak percaya dinyatakan tidak benar oleh karena struktur pemikiran mereka memimpinnya kepada pengertian yang salah dan membawa mereka jauh dari penyembahan kepada Allah. Pada dasarnya, dapat dikatakan bahwa komitmen kepada kemandirian manusia terlepas dari Allah, membuat semua pernyataan orang tidak percaya salah.

    Pengertian akan kondisi manusia setelah kejatuhannya dalam dosa dan keberadaan orang-orang yang tetap dalam ketidakpercayaan merupakan hal yang sangat penting bagi apologetika kristen. Kesadaran akan ketidakadaan harapan dan keterbatasan pikiran orang-orang yang tidak percaya, memberi petunjuk dan keyakinan kepada orang-orang percaya dalam memertahankan imannya.

Akhir Pelajaran (AUA I-P04)---

Doa

Ya, Tuhan, kami menyadari bahwa karakter kami telah berubah di bawah kutuk dosa. Kami bukan lagi gambar Allah yang sempurna. Hal ini tercermin dari hidup dan cara pikir kami yang jauh dari suci. Dosa sangat memengaruhi kami sehingga kami selalu menyangkali ketergantungan kami secara mutlak pada Allah. Oleh sebab itu, tolong kami untuk menyadari kebodohan ini. Hindarkan kami dari pikiran yang sia-sia, pengertian yang gelap dan jauh dari hidup persekutuan dengan Allah. Amin.

(Catatan: Pertanyaan tertulis ada di lembar lain)

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Pelajaran 04 | Referensi 04a | Referensi 04b | Referensi 04c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia yang Berdosa
Kode Pelajaran: AUA I-P04

Pelajaran 04 - KARAKTER MANUSIA YANG BERDOSA

*Instruksi*

<

Harap setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:

  1. Bacalah Bahan Pelajaran dan semua Referensi Pelajaran 05 dengan teliti.
  2. Bacalah Pertanyaan (A) dan (B) di bawah ini, kemudian jawablah dengan benar dan lengkap.
  3. Apabila Anda mendapatkan kesulitan sehubungan dengan isi Bahan Pelajaran, silakan menghubungi Pembimbing di:
    < yulia(at)in-christ.net >

Selamat mengerjakan!

Perhatian:

Setelah Anda menjawab tugas tertulis ini, mohon kirim kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:

==> < staf-pesta(at)sabda.org >

PERTANYAAN (A):

  1. Allah menguji kesetiaan Adam dan Hawa akan otoritas Allah dengan menempatkan [...............].
  2. Cara setan menjatuhkan adalah dengan membujuk Hawa untuk percaya bahwa perbedaan antara [.............] dan [............] akan hilang dan manusia akan "menjadi seperti Allah,"
  3. Inti dari dosa adalah pemberontakan melawan [............] manusia pada Allah dan manusia berasumsi bahwa dia mampu untuk berdiri sendiri tanpa Allah.
  4. Peristiwa kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa telah membuat semua manusia berada di bawah [................].
  5. Roma 1:18-32 menceritakan bahwa manusia yang telah jatuh dalam dosa, menolak untuk mengakui [ .............] dalam semua aspek ciptaan.
  6. Oleh anugerah umum, Allah telah menahan akibat dosa dan pencemaran sehingga orang yang tidak percaya tetap dapat berpikir dan bertindak atau bereaksi sesuai dengan keberadaan mereka sebagai [.............] walaupun mereka tidak mengakui Allah sebagai Pencipta.
  7. Selama manusia terus menerus berpaling daripada Allah, maka manusia tidak akan mampu untuk tiba pada [.............] yang benar akan diri mereka sendiri, dunia, dan Allah.
  8. Saksi Yehova adalah contoh dari salah satu kebenaran yang hanya ditunjukkan dari permukaannya saja. Mereka bisa berkata bahwa "Yesus adalah Tuhan", tapi pendapat mereka yang sebenarnya adalah [...............].
  9. Akar dari setiap ide dan pernyataan yang dikemukakan oleh orang yang tidak percaya adalah berdasarkan pada [........... ] bahwa "saya tidak bergantung pada Allah".
  10. Pernyataan-pernyataan orang tidak percaya dinyatakan tidak benar karena struktur pemikiran mereka tidak memimpin orang pada [...............] kepada Allah.

PERTANYAAN (B):

  1. Apa hubungan perbuatan dosa Adam dengan kita (manusia) sekarang? Apakah manusia sekarang masih bisa berbuat baik di hadapan manusia? Mengapa?
  2. Bagaimana cara menyadarkan orang ateis bahwa Allah ada dan mereka tidak mungkin hidup terlepas dari Allah?

Kirimkan kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:

==> < staf-pesta(at)sabda.org >

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 04 | Pertanyaan 04 | Referensi 04b | Referensi 04c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia yang Berdosa
Kode Referensi: AUA I-R04a

Referensi AUA I-R04a diambil dari:

Judul buku: Teologi Sistematika 2: Doktrin Manusia
Judul artikel: Natur Dosa yang Pertama atau Kejatuhan Manusia
Penulis: Louis Berkhof
Penerbit: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1994
Halaman: 87 -- 89

Natur Dosa yang Pertama atau Kejatuhan Manusia

  1. Karakter formalnya. Dapat dikatakan bahwa melalui suatu sudut pandang yang sepenuhnya formal dosa manusia yang pertama terkait dengan dimakannya buah pengetahuan yang baik dan jahat. Kita tidak tahu pohon apakah ini sebenarnya. Mungkin saja pohon itu pohon kurma atau pohon ara, atau pohon buah yang lain. Tidak ada satupun yang membawa bahaya dalam pohon itu. Memakan buah itu saja per se tidaklah berdosa sebab tidak merupakan pelanggaran terhadap hukum moral. Hal ini berarti bahwa makan buah ini tidaklah berdosa jika seandainya Allah tidak pernah berkata: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kamu makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya pastilah engkau akan mati." Tidak ada pendapat yang seragam tentang mengapa pohon ini disebut sebagai pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Suatu pandangan yang agak umum adalah bahwa pohon itu disebut demikian sebab siapa yang memakan buahnya akan memperoleh pengetahuan praktis tentang yang baik dan jahat; akan tetapi agaknya tidaklah sesuai benar dengan Alkitab bahwa manusia dengan cara makan buah itu akan menjadi seperti Allah dalam mengetahui yang baik dan jahat, sebab Allah tidak pernah melakukan kejahatan, jadi tidak pernah memiliki pengetahuan praktis tentang kejahatan. Jauh lebih mungkin bahwa pohon itu disebut demikian sebab dimaksudkan untuk menyatakan: (a) apakah masa depan manusia akan baik atau jahat; dan (b) apakah manusia akan memperkenankan Allah menentukan baginya apa yang baik dan yang jahat atau akan menentukan sendiri bagi dirinya. Akan tetapi penjelasan apapun yang diberikan tentang nama pohon ini, perintah yang diberikan oleh Allah agar buah pohon itu tidak dimakan dimaksudkan untuk menguji ketaatan manusia. Ujian ini adalah ujian ketaatan yang murni, sebab bagaimanapun Allah tidak berusaha membenarkan atau menjelaskan larangan itu. Adam harus menunjukkan kemauannya untuk meletakkan kehendaknya di bawah kehendak Allah dalam seluruh ketaatan.
  2. Karakter esensial dan materialnya. Dosa pertama manusia adalah suatu dosa tipikal, yaitu dosa di mana esensi sesungguhnya dari dosa itu dengan jelas menyatakan dirinya sendiri. Esensi dari dosa itu terletak pada kenyataan bahwa Adam meletakkan dirinya dalam keadaan yang bertentangan dengan Allah, dan ia menolak untuk meletakkan kehendaknya di bawah kehendak Allah, dan menolak membiarkan Allah menentukan seluruh jalan hidupnya. Ia secara aktif berusaha mengambilnya dari tangan Allah dan menentukan masa depannya sendiri. Manusia jelas tidak mempunyai hak untuk mengklaim Allah dan manusia hanya dapat menetapkan suatu klaim dengan cara menggenapi syarat- syarat dalam perjanjian kerja. Tetapi manusia telah memisahkan diri dari Allah dan bertindak seolah-olah ia memiliki hak-hak tertentu terhadap Allah. Pengertian bahwa perintah Allah adalah suatu pemutusan hak-hak manusia tampaknya sudah ada dalam pikiran Hawa ketika ia menjawab pertanyaan Iblis, ia menambahkan kata-kata, "Jangan kamu makan ataupun raba buah itu (Kej 3:3). Jelas Hawa ingin menekankan kenyataan bahwa perintah itu agak tidak masuk akal. Bermula dari presuposisi bahwa ia memiliki hak-hak tertentu terhadap Allah, manusia mengambil pusat yang baru, yang ditemukannya dalam dirinya sendiri untuk bertindak menentang pencipta-Nya. Ini menjelaskan keinginannya untuk menjadi seperti Allah dan keraguannya akan kebaikan Tuhan dalam memberikan perintah. Tentunya berbagai elemen dapat dibedakan dari dalam dosa pertama tersebut. Dalam intelek, dosa itu adalah ketidakpercayaan dan kesombongan, dalam kehendak, dosa ingin seperti Allah dan dalam perasaan, sebagai suatu kepuasan yang tidak kudus dengan memakan buah yang terlarang.
----------------------------------------------------------------------

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 04 | Pertanyaan 04 | Referensi 04a | Referensi 04c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia yang Berdosa
Kode Referensi: AUA I-R04b

Referensi AUA I-R04b diambil dari:

Judul buku: Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah
Judul artikel: Karakter Esensial Dosa
Penulis: Anthony A. Hoekama
Penerbit: Momentum, Surabaya 2003
Halaman: 217 -- 221

KARAKTER ESENSIAL DOSA

Dosa selalu berkaitan dengan Allah dan kehendak-Nya. Banyak orang menyamakan dosa dengan ketidaksempurnaan - yaitu ketidaksempurnaan yang merupakan aspek yang normal dari natur manusia. "Tak seorang pun yang sempurna," "Setiap orang melakukan kesalahan," "Kamu 'kan hanya manusia," dan banyak pernyataan senada menunjukkan pemikiran ini. Bertentangan dengan ini, kita harus menyatakan dengan tegas bahwa, sesuai Alkitab, dosa selalu merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah. Meskipun ada banyak hukum di dalam Alkitab, khususnya di kelima kitab pertama Perjanjian Lama, apa yang dimaksudkan dengan hukum di sini adalah sekelompok kecil perintah yang kita akui meringkaskan apa yang Allah inginkan dari manusia, yaitu Sepuluh Perintah.

Meskipun hukum ini Allah berikan kepada bangsa Israel di Gunung Sinai, hukum ini tidak berisi standar moral yang benar-benar asing bagi manusia. Lewis Smedes menyatakannya demikian:

Apa yang Musa bawa dari Sinai mendukung satu moralitas yang umum bagi umat manusia, yang ditegaskan oleh hati nurani setiap kali ia dilanggar dalam praktik. Orang-orang yang hanya tahu sedikit dan tidak terlalu memedulikan apa yang Alkitab katakan, tetap mengetahui apa yang sebenarnya Alkitab inginkan dalam kehidupan moral, meski hal itu bertentangan dengan diri mereka sendiri. Paulus menganggap bahwa, sejauh menyangkut moralitas, orang-orang yang tidak pernah mendengar tentang perintah Allah, dengan cara tertentu mengenal kehendak-Nya.[5]

Untuk membuktikan pernyataan terakhir ini, Smedes meneruskan dengan mengutip Roma 2:14-16:

Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela. Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.

Tetapi, apa yang "tertulis di dalam hati" orang-orang yang tidak pernah membaca Alkitab, secara khusus dijabarkan dalam Sepuluh Perintah yang terdapat di Keluaran 20 dan Ulangan 5. Dari Alkitab yang sama orang percaya tahu bahwa melanggar perintah Allah merupakan dosa. Dengan kata lain, seperti dinyatakan Katekismus Heidelberg, orang Kristen belajar mengetahui dosa mereka dari hukum Allah.[6] Ayat-ayat Alkitab berikut ini menegaskannya: "Oleh hukum Taurat orang mengenal dosa" (Rm. 3:20b); "Oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa. Karena aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat tidak mengatakan: 'Jangan mengingini"' (Rm. 7:7b); "Jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran" (Yak. 2:9); "Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah" (1 Yoh. 3:4).

Mazmur 51:6 menyatakan bahwa semua dosa, bahkan dosa terhadap sesama, juga merupakan dosa terhadap Allah. Daud telah begitu luar biasa berdosa terhadap Batsyeba dan Uria; akan tetapi ketika ia akhirnya mengakui dosanya, ia berkata kepada Allah, "Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat." Daud tidak bermaksud mengatakan bahwa ia tidak berdosa terhadap orang lain, tetapi di dalam kedalaman pertobatannya, ia tiba pada suatu keyakinan bahwa semua dosa pada akhirnya merupakan dosa terhadap Allah. Dosa orang tua pertama kita merupakan ketidaktaatan pada perintah Allah, dan setiap dosa yang terjadi setelah itu bisa dilihat sebagai hal yang sama.

Jadi, secara mendasar, dosa merupakan perlawanan terhadap Allah, pemberontakan terhadap Allah yang berakar pada kebencian terhadap Allah. Mengutip kembali Katekismus Heidelberg, "Aku memiliki kecenderungan alamiah untuk membenci Allah dan sesamaku."[7] Sebagai bukti, Katekismus ini mengacu pada Roma 8:7, "Keinginan daging [keinginan manusia secara alamiah] adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah, hal ini memang tidak mungkin baginya."

Tetapi, sebelum kita meninggalkan poin ini, ada hal lain yang perlu dikatakan. Agar bisa terpahami sepenuhnya, dosa harus dilihat bukan hanya dalam terang hukum tetapi juga dalam terang Injil. Injil - kabar baik tentang apa yang telah Kristus perbuat untuk menyelamatkan kita dari dosa - merupakan hal yang niscaya justru karena kita telah melanggar hukum Allah. Saat kita melihat apa yang harus Kristus alami untuk menyelamatkan kita dari dosa, atau melihat ke Kalvari dan mendengar seruan Kristus yang menyayat hati, "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mat. 27:46), kita melihat betapa menakutkannya dosa itu. Pernyataan murka Allah terhadap dosa yang ditunjukkan di salib Kristus, yang telah dijadikan dosa demi kita (2Kor. 5:21), menyatakan beratnya kesalahan kita yang tak terukur ini. Ketika menanggapi pertanyaan, "Mengapa Allah tidak bisa serta-merta menghapus dosa manusia tanpa menuntut korban pendamaian?" Anselmus berkata, "Anda belum memikirkan betapa berat beban dosa itu."[8] Tetapi, Injil tak hanya menunjukkan kebusukan dosa kita; Injil juga memproklamirkan cara kita bisa dilepaskan dari dosa, dan oleh karena itu menyerukan agar kita bertobat.

Dosa bersumber dalam apa yang Alkitab sebut sebagai "hati. " Augustinus sering berkata bahwa dosa bersumber dalam kehendak manusia: "Jika kehendak itu sendiri bukanlah sebab pertama dosa, maka sama sekali tak ada sebab pertama."[9] Tetapi, apa yang lazim kita sebut sebagai "kehendak" hanyalah nama lain bagi totalitas pribadi yang membuat keputusan. Kita tak pernah memakai kehendak yang "terisolasi"; apa yang kita sebut berkehendak selalu melibatkan aspek-aspek lain seperti intelek dan emosi, Di balik kehendak ada pribadi yang menghendaki.

Jadi, dengan memakai bahasa alkitabiah, saya memilih untuk berkata bahwa dosa bersumber di dalam hati. Saya di sini memakai konsep hati sebagaimana dipakai di dalam Alkitab: untuk menunjuk inti batiniah dari satu pribadi; "organ" untuk berpikir, merasa dan menghendaki; titik pusat dari semua fungsi kita.[10] Dengan kata lain, dosa bukan bersumber di dalam tubuh atau di dalam salah satu kapasitas manusia yang mana pun, melainkan bersumber di dalam pusat keberadaannya, yaitu hatinya. Karena dosa telah meracuni sumber kehidupan itu sendiri, seluruh kehidupan sudah pasti terpengaruh olehnya.

Dukungan alkitabiah untuk poin ini bisa ditemukan dalam ayat-ayat berikut: "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan" (Ams. 4:23); "Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?" (Yer. 17:9); "Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat" (Mat. 15:19); "Orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya" (Luk. 6:45b).

Dosa mencakup pikiran sekaligus tindakan. Menurut hukum manusia, perbuatan salah hanya berkenaan dengan apa yang seorang lakukan atau tidak lakukan, bukan dengan apa yang seorang pikirkan; tak seorang pun dipenjarakan karena pikiran yang keliru (kecuali pikiran itu telah diungkapkan). Tetapi hukum Allah menjangkau jauh lebih dalam. Bahwa pikiran bisa berdosa sebagaimana ucapan dan perbuatan, terlihat jelas dari hukum kesepuluh yang melarang sikap mengingini. Yesus dengan jelas mengajarkan bahwa sekalipun pikiran untuk berzinah belum diwujudkan, itu tetap merupakan dosa: "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya" (Mat. 5:28). Dalam Galatia 5:16, 17 dan 24, Paulus juga berbicara tentang "keinginan daging." Daging di sini berarti keseluruhan natur manusia di bawah perbudakan dosa; NIV menerjemahkan epithumian sarkos di ayat 16 sebagai "desires of the sinful nature" ("hasrat dari natur berdosa"). Jelas dalam ayat-ayat ini, kata Yunani epithumia (hasrat) berarti hasrat yang tidak baik, hasrat akan hal-hal terlarang. Jadi, terjemahan KJV, "lust of the flesh," mungkin lebih akurat dan juga lebih jelas daripada terjemahan RSV, "desires of the flesh." Ketika Paulus berkata, "Keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging" (ay. 17), ia menekankan fakta bahwa selain perbuatan berdosa, terdapat pula keinginan yang berdosa.

Catatan Kaki:

[5] Mere Morality (Grand Rapids: Eerdmans, 1983), him. 10. [6] Katekismus Heidelberg, Pertanyaan dan Jawaban 3. [7] Jawaban 5 (terj. 1975, Christian Reformed Church). [8] Cur Deus Homo (Why God Became Man). Buku I, Bab 21: "Nondum considerasti quanti ponderis sit peccatum." [9] De Libero Arbitrio, 111. 17. [10] Pemahaman bahwa "hati" adalah titik pusat dari seluruh fungsi temporal kita telah dikembangkan belakangan ini khususnya oleh D.H. Th. Vollenhoven (Het Calvinisme en de Reformatie van de Wijsbegeerte [Amsterdam: H. J. Paris, 19331) dan Herman Dooyeweerd (De Wijsbegeerte der Wetsidee, 3 vol. [Amsterdam: H.J. Paris, 1935]). Ringkasan dari pandangan mereka terdapat di dalam tulisan KL Popma, "Het Uitgangspunt van de Wijsbegeerte der Wetsidee en het Calvinisme," di dalam De Reformatie van het Calvinistisch Denken, ed. C.P. Boodt (The Hague: Guido de Bres, 1939). Lihat juga pembahasan mengenai ungkapan Alkitab untuk "hati" dalam bab 11 buku ini.

----------------------------------------------------------------------

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 04 | Pertanyaan 04 | Referensi 04a | Referensi 04b

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia yang Berdosa
Kode Referensi: AUA I-R04c

Referensi AUA I-R04c diambil dari:

Penerjemah: Dr. Charles W. Cole
Judul buku: Pengakuan Baptis 1689
Judul artikel: Perjanjian Allah
Penerbit: Carey Publication, 1996
Halaman: 16 -- 17

PERJANJIAN ALLAH

  1. Jarak antara Allah dan manusia ciptaan-Nya demikian jauh sehingga walaupun manusia berakal dan layak menaati Allah sebagai Pencipta, mustahil manusia memperoleh pahala kehidupan dari Allah. Karena itu secara sukarela Allah berkenan merendahkan diri menjadi sarana agar manusia mendapat hidup, yaitu dengan membuat suatu perjanjian.[1]

    [1] Ayb 35:7, 8; Luk 17:10

  2. Lagi pula karena kejatuhan manusia ke dalam dosa menjadikan dirinya di bawah kutukan hukum Allah, Allah berkenan membuat perjanjian kasih karunia.[1] Dengan perjanjian itu Allah menawarkan dengan sukarela kehidupan dan keselamatan oleh Yesus Kristus kepada orang berdosa.[2] Di samping itu Allah mengharuskan orang berdosa beriman kepada-Nya, supaya mereka dapat diselamatkan. Ia juga berjanji memberikan Roh Kudus kepada semua yang dipilih bagi hidup kekal supaya mereka dijadikan bersedia dan mampu percaya.[3]

    [1] Kej 2:17; Gal 3:10; Rm 3:20, 21
    [2] Rm 8:3; Mrk 16:15, 16; Yoh 3:16
    [3] Yeh 36:26, 27; Yoh 6:44, 45; Mzm 110:3

  3. Perjanjian Allah diwahyukan di dalam Injil. Pertama-tama diwahyukan kepada Adam dalam janji keselamatan oleh benih perempuan, kemudian tahap demi tahap dinyatakan selengkapnya dalam Perjanjian Baru.[1] Keselamatan orang terpilih berdasar perjanjian penebusan abadi antara Bapa dan Putra.[2] Hanya melalui kasih karunia yang disampaikan demi perjanjian itu keturunan Adam yang telah diselamatkan diberikan hidup yang diberkati.[3] Manusia sama sekali tidak dapat diterima Allah atas dasar pemberkatan Adam dalam keadaan sebelum kejatuhannya ke dalam dosa.

    [1] Kej 3:15; Ibr 1:1
    [2] 2Tim 1:9; Tit 1:2
    [3] Ibr 11:6, 13; Rm 4:1-5, 2; Kis 4:12; Yoh 8:56

----------------------------------------------------------------------

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pertanyaan 05 | Referensi 05a | Referensi 05b | Referensi 05c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia Setelah Ditebus Kristus
Kode Pelajaran: AUA I-P05

Pelajaran 05 - KARAKTER MANUSIA SETELAH DITEBUS KRISTUS

Daftar Isi

  1. Kebalikan dari Kejatuhan
  2. Pembaharuan Melalui Kelahiran Baru
  3. Orang Percaya dan Dosa yang Masih Tertinggal

Doa

KARAKTER MANUSIA SETELAH DITEBUS KRISTUS

"Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Kor. 5:17)

Kalau bukan karena anugerah Allah, setiap orang akan tetap terkutuk dalam dosa dan berada di bawah penghakiman murka Allah. Namun, Allah dengan kemurahan-Nya yang besar telah mengutus Anak-Nya yang ilahi, Yesus Kristus, untuk membayar hutang dosa dengan mati di atas kayu salib serta memulai suatu periode kehidupan baru dalam kebangkitan- Nya. Semua orang yang percaya kepada-Nya dilepaskan dari kutuk murka Allah dan masuk ke dalam berkat Allah. Pengamatan kita akan manusia tidaklah lengkap apabila kita belum memertimbangkan karakter manusia yang telah ditebus oleh Allah dalam Kristus.

  1. Kebalikan dari Kejatuhan

    Kita dapat melihat bahwa aplikasi dari keselamatan dalam kehidupan seseorang merupakan kebalikan dari apa yang terjadi sebagai akibat dari kejatuhan. Inti dari kejatuhan Hawa adalah kehendak untuk mandiri dan lepas dari Allah dengan cara menolak secara sukarela untuk menundukkan diri pada firman Tuhan. Hawa menolak fakta perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan, dengan berpikir bahwa ia dapat mengetahui kebenaran melalui pikiran barunya sendiri yang terpisah dari Allah. Hal sebaliknya terjadi pada kehidupan seseorang yang percaya kepada Kristus. Dengan jelas, Paulus menyatakannya:

    "Oleh karena dunia oleh hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmatnya, maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil." (1 Kor. 1:21)

    Penggunaan hikmat manusia sebagai standar kebenaran, seperti apa yang dilakukan oleh Hawa, akan membawa kita jauh dari Allah dan membawa kita kepada ketidakbenaran. Sebaliknya, salib adalah jalan keselamatan yang mengakibatkan kita berpaling dari kemandirian dan pikiran berdosa supaya kita mendapatkan pengetahuan yang benar mengenai Allah. Hawa berpikir bahwa sebagai manusia, ia dapat berdiri sendiri dan melihat serta menempatkan dirinya sebagai hakim yang tertinggi. Namun, saat kita percaya dengan kesungguhan pada Kristus, kita akan menyadari bahwa ketergantungan kita pada firman Tuhan sebagai hikmat tidak ada bandingnya karena Dialah sumber kebenaran. Penerimaan firman Tuhan ini merupakan permulaan dari penebusan dalam Kristus.

    "Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Rom. 10:17)

    Kebalikan dari kejatuhan tidak berhenti pada tanda pertobatan, melainkan meliputi keseluruhan dari proses penebusan. Seseorang yang percaya akan berita Injil, bersama dengan Paulus, meyakini bahwa:

    "Sebaliknya: Allah adalah benar, dan semua manusia pembohong." (Rom. 3:4)

    Berbeda dengan manusia berdosa yang cenderung meninggalkan pengetahuan yang benar dan menyatakan hal yang salah (sebagai akibat dari kemandirian yang terlepas dari Allah), orang-orang percaya memegang kepercayaan bahwa firman Allah selalu dapat dipercaya oleh karena Allah selalu benar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yesaya:

    "Aku, Tuhan, selalu berkata benar, selalu memberitakan apa yang lurus." (Yes. 45:19)

    Firman Allah dapat dipercaya dan orang yang percaya pada Kristus mengakui kepercayaannya secara total pada firman Tuhan. Lepas dari apa yang terlihat, lepas dari nasihat-nasihat orang lain, dan lepas dari pencobaan oleh Iblis, orang percaya menegaskan bahwa:

    "Tidak ada yang kudus seperti Tuhan, sebab tidak ada yang lain kecuali Engkau dan tidak ada gunung batu seperti Allah kita." (1 Sam. 2:2)

    Sikap terhadap firman Tuhan yang merupakan kebalikan dari apa yang terjadi pada waktu kejatuhan, diperjelas oleh perkataan Paulus kepada orang-orang Korintus:

    "Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu Ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus. Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kami disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya." (2 Kor. 11:2-3)

    Pada ayat-ayat ini, Paulus memeringatkan orang-orang di Korintus untuk tidak berpaling dari khotbahnya mengenai firman Tuhan, mereka harus setia hanya kepada Kristus semata. Paulus memeringatkan mereka karena ia takut dan kuatir mereka akan jatuh dalam tipu muslihat yang sama yang telah digunakan oleh si ular saat mencobai Hawa. Paulus takut mereka akan berpaling dari "kesederhanaan dan ketulusan penyembahan kepada Kristus" (2 Kor. 11:3).

    Sebelum jatuh dalam dosa, Hawa hanya mendengarkan firman Allah dengan penyembahan yang hanya tertuju pada Allah. Saat jatuh, ia telah berpaling dari firman Allah. Sebagai orang Kristen, kita secara terus-menerus menerima firman Kristus dengan penyembahan yang tanpa berprasangka. Kita harus melakukan kebalikan dari apa yang Hawa lakukan saat ia berdosa. Ditebus oleh Kristus berarti mengalami kebalikan dari apa yang terjadi pada waktu kejatuhan.

  2. Pembaharuan Melalui Kelahiran Baru

    Saat kita berpikir tentang keselamatan dalam Kristus, biasanya kita hanya memikirkan tentang akibat dari percaya pada-Nya, yaitu menerima kehidupan yang kekal. Hal ini penting, namun untuk lebih tepatnya, saat ini kita perlu memfokuskan dengan lebih teliti pada kepentingan kebalikan dari kejatuhan dan akibatnya pada karakter manusia dalam hal pengetahuan dan moralitas.

    Tuhan Yesus mengatakan kepada Nikodemus persyaratan untuk memasuki kerajaan Allah dengan berkata:

    "Kamu harus dilahirkan kembali." (Yoh. 3:7) Kelahiran baru harus terjadi pada diri orang yang tidak percaya. Sebagaimana ia telah lahir di dalam Adam, demikian pula ia telah jatuh dalam belenggu dosa, sebagai suatu permulaan. Karena itu, ia harus mengalami kelahiran baru. Paulus menyatakan:

    "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Kor. 5:17)

    Saat kita diselamatkan dari dosa-dosa kita, kita tidak hanya dilahirkan baru secara pribadi; namun kita memasuki suatu ruang lingkup keberadaan yang baru (ciptaan yang baru). Oleh karena itu, seluruh kehidupan orang percaya adalah untuk mengalami perubahan yang berawal dari kelahiran baru.

    Paulus menggunakan istilah "ciptaan yang baru" dalam pengertian suatu perintah karena hal ini menunjuk pada hubungan penebusan dengan asal mula keadaan ciptaan sebelum kejatuhan. Saat dunia dan manusia diciptakan, mereka belum dicemari oleh dosa. Namun, sebagai akibat dari manusia yang memilih untuk berdiri sendiri terlepas dari Allah, maka seluruh ciptaan telah jatuh dalam kutuk dosa. Pekerjaan penebusan dari Kristus dapat dikatakan merupakan pembaharuan manusia untuk dapat kembali kepada posisi mereka yang semula, yaitu pada waktu pertama diciptakan oleh Allah.

    "... yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya." (Ef. 4:24)

    "dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya." (Kol. 3:10)

    Orang-orang percaya dalam Kristus diperbaharui menurut sifat mereka yang semula sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Mereka diberikan kebenaran, kesucian, dan pengetahuan yang benar, di mana semua itu hilang pada waktu kejatuhan dalam dosa. Perhatian khusus harus diberikan pada fakta bahwa pembaharuan melalui kelahiran baru tidak hanya meliputi sebagian dari manusia, melainkan meliputi keseluruhan karakternya, bahkan proses berpikirnya.

    "Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan dan menaklukkannya kepada Kristus." (2 Kor. 10:5)

    Orang-orang Kristen pada kenyataannya diperbaharui sampai pada tahap di mana setiap aspek pribadi mereka berada pada keberadaan asal sebelum kejatuhan dalam dosa. Kita tidak diselamatkan untuk sekadar berada dalam keadaan yang manis dan menyenangkan. Namun, kita diperbaharui sebagai ciptaan baru dan dikembalikan kepada asal mula keberadaan kita sebagai gambar Allah melalui kelahiran baru. Sebagai gambar Allah yang telah dipulihkan, manusia yang telah ditebus rindu untuk melakukan apa yang adil sesuai wahyu Allah bagi semua ciptaan dan firman Tuhan. Ia menyadari bahwa tidaklah cukup hanya mengetahui bahwa hujan merupakan kondensasi dari air yang menguap. Ia akan bertanya apakah hujan dan bagaimana ia menyatakan karakter dan kehendak Allah. Apabila tidak ada dosa, hal ini tidak akan menjadi masalah. Manusia cukup hanya mengamati dunia dan mengenal Allah melaluinya. Namun, oleh karena dosa, "maka diperlukan Penolong yang lebih baik untuk memimpin kita pada Pencipta alam semesta ini secara langsung".

    Penolong yang lebih baik adalah firman Tuhan dan Roh Kudus. Orang Kristen berkewajiban mendedikasikan diri untuk menyelidiki firman Tuhan oleh karena Roh Kudus yang ada di dalam kita akan memimpin kita kepada pengetahuan akan keselamatan. Roh Kudus juga akan memimpin kita kepada kebenaran pengetahuan tentang ciptaan menurut apa yang diwahyukan oleh Allah dan kehendak-Nya atas manusia. Ini tidak berarti bahwa Alkitab menjadi suatu buku pedoman dari ilmu pengetahuan alam. Dengan kata lain, tidak betul bahwa orang Kristen tidak perlu lagi melihat pada dunia dan cukup hanya dengan membaca Alkitab untuk menemukan kebenaran ilmiah.

    Firman Tuhan memberikan prinsip-prinsip dasar secara umum di mana semua penyelidikan akan dunia ini harus berdasarkan atasnya. Misalnya, pengetahuan yang sejati mengenai hujan menyatakan kepada kita akan kemurahan Allah dan bagaimana Allah mengharapkan kita untuk memperlakukan musuh kita dengan kebaikan (Mat. 5:45), dan seterusnya. Tentu saja penyelidikan secara ilmiah dari sifat hujan akan secara intensif menjelaskan pengertian orang Kristen akan hal-hal ini. Namun, pengetahuan yang benar tentang hujan ditemukan berdasarkan penyelidikan yang didasarkan pada firman Tuhan dan dipimpin oleh firman Tuhan.

    Sebagai ciptaan yang telah diperbaharui, orang Kristen rindu untuk memertahankan fakta perbedaan Pencipta dengan ciptaan dalam hal pengetahuan dan moralitas sehingga orang Kristen dapat memberikan perlakuan yang tepat pada wahyu Allah.

  3. Orang Percaya dan Dosa yang Masih Tertinggal

    Kehidupan orang Kristen bukannya tanpa kesalahan. Meskipun ia telah diperbaharui kembali kepada kondisi asalnya seperti sebelum kejatuhan, pembaharuan ini tidaklah sempurna sampai kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya. Orang Kristen berkecimpung dalam peperangan yang dahsyat antara kebenaran dan dosa. Paulus menjelaskan konflik ini sebagai berikut:

    "Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging karena keduanya bertentangan sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki." (Gal. 5:17)

    Roh Kudus yang tinggal di antara orang-orang percaya, berada dalam peperangan dengan pikiran kedagingan manusia. Sebagai akibatnya, ada dua prinsip yang bekerja dalam diri orang percaya, yang satu kepada ketaatan dan yang lain pada ketidaktaatan. Walaupun orang Kristen berusaha untuk bergantung pada Allah dengan memerhatikan wahyu-Nya untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan dan moralitas, namun ia mungkin kadang akan gagal dalam melaksanakan keinginannya secara terus-menerus. Pada waktu tertentu, orang Kristen dapat kembali kepada dosa yang terjadi pada waktu kejatuhan dengan memberontak atau mengabaikan fakta perbedaan Pencipta dengan ciptaan.

    Penurunan ini dengan sendirinya memerlihatkan penolakan pengakuan atas wahyu Allah dalam semua aspek kehidupan, termasuk ketaatan akan firman Tuhan. Sebagaimana orang tidak percaya tidak dapat terlepas sepenuhnya dari kualitas penciptaan sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, demikian pula orang Kristen tidak dapat terlepas sepenuhnya dari dosa yang masih tertinggal dalam hidupnya. Ia tidak selalu konsisten dengan prinsipnya akan ketergantungan secara total kepada Allah. Dan karenanya, ia tetap dapat melakukan kesalahan dalam pikiran dan tindakannya.

    Dengan alasan ini, maka orang Kristen secara berulang-ulang didorong untuk menghindari dan menolak dosa. Paulus berkata:

    "... bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus. Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya." (Rom. 6:11-12)

    Dan dalam bentuk pernyataan yang positif, ia berkata:

    "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu." (Rom. 12:2)

    Ketergantungan kita pada Allah untuk pengetahuan dan moralitas tidak datang secara otomatis dalam hidup orang Kristen. Hal ini harus disertai dengan usaha yang serius, di mana kita sungguh berusaha untuk mendapatkan "penyucian di mana tanpanya, tidak ada seorang pun akan dapat melihat Allah" (Ibr. 12:14). Ini merupakan tugas yang panjang dan sulit, namun kita harus terus-menerus berusaha apabila kita ingin mengenal Allah dan kehendak-Nya. Saat kita berpikir bahwa kemampuan orang Kristen untuk mengetahui kebenaran disebabkan oleh kelahiran baru dan berpaling dari kejatuhan, kita juga harus ingat bahwa dosa masih memengaruhi kehidupan orang Kristen.

    Karakter manusia yang telah ditebus oleh Kristus merupakan pengertian yang mendasar bagi apologetika alkitabiah. Pekerjaan Kristus di atas kayu salib dan dalam kebangkitan-Nya, telah memerbaharui pengetahuan yang sejati dan kebenaran bagi orang yang percaya kepada-Nya. Meskipun dosa masih ada, namun orang yang telah ditebus oleh Kristus dapat bergantung kepada Allah untuk pengetahuan dan moralitasnya.

-------------------Akhir Pelajaran (AUA I-P05)----

Doa

Ya, Tuhan, kami bersyukur karena Engkau terus-menerus memerbaharui roh, jiwa, seluruh karakter, serta proses berpikir kami dari hari ke hari. Engkau kembali memberikan kebenaran, kesucian, dan pengetahuan-Mu itu kepada kami. Oleh sebab itu, biarlah kami, sebagai orang percaya, terus terdorong untuk menghindari dan menolak dosa sambil meyakini bahwa kami telah mati bagi dosa dan hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus. Tuhan, tolong kami agar dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuh kami yang fana ini dan agar kami tidak lagi menuruti keinginannya. Amin.

(Catatan: Pertanyaan tertulis ada di bagian terpisah)

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA

Materi Pelajaran | Pelajaran 05 | Referensi 05a | Referensi 05b | Referensi 05c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia Setelah Ditebus Kristus
Kode Pelajaran: AUA I-P05

Pelajaran 05 - KARAKTER MANUSIA SETELAH DITEBUS OLEH KRISTUS

*Instruksi*

Harap setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:

  1. Bacalah Bahan Pelajaran dan semua Referensi Pelajaran 05 dengan teliti.
  2. Bacalah Pertanyaan (A) dan (B) di bawah ini, kemudian jawablah dengan benar dan lengkap.
  3. Apabila Anda mendapatkan kesulitan sehubungan dengan isi Bahan Pelajaran, silakan menghubungi Pembimbing di:
    < yulia(at)in-christ.net >

Selamat mengerjakan!

Perhatian:

Setelah Anda menjawab tugas tertulis ini, mohon kirim kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:

==> < staf-pesta(at)sabda.org >

PERTANYAAN (A):

  1. Inti dari kejatuhan Hawa adalah keinginan untuk mandiri dan lepas dari [.............] pada Allah dan menolak untuk secara sukarela menundukkan diri pada Firman Tuhan.
  2. Permulaan dari penebusan dalam Kristus adalah pada saat kita [.............] dengan kesungguhan pada Kristus dan menyadari ketergantungan kita kepada Firman Tuhan sebagai hikmat yang benar.
  3. Pertobatan hanyalah salah satu tanda dari keseluruhan proses [.............]
  4. Sebagai orang Kristen, kita diminta secara terus-menerus menerima kebenaran [..............] dengan penyembahan yang tanpa berprasangka.
  5. Kita diperbaharui sebagai ciptaan baru dan dikembalikan kepada asal mula keberadaan kita sebagai gambar Allah melalui [..........].
  6. Manusia yang telah mengalami kelahiran baru diberikan [............], [..............] dan [...............] yang benar, di mana semua itu hilang pada waktu kejatuhan dalam dosa.
  7. Manusia baru dalam Kristus membutuhkan Penolong untuk dapat dipimpin kepada Pencipta alam semesta secara langsung. Penolong itu adalah [...............] dan [................].
  8. Namun demikian, meskipun manusia telah diperbaharui kembali kepada kondisi asalnya seperti sebelum kejatuhan, pembaharuan ini tidaklah sempurna sampai [................].
  9. Karena orang Kristen belum saat ini sepenuhnya dapat terlepas dari pengaruh dosa, maka [...............] yang tinggal di dalam hati akan menolongnya berperang melawan kuasa kedagingan.
  10. Ketergantungan orang percaya pada Allah untuk pengetahuan dan moralitas tidak datang secara [...............] bagi orang Kristen, tetapi harus disertai dengan usaha yang serius untuk mendapatkan penyucian.

PERTANYAAN (B):

  1. Apa maksud dari pengertian bahwa kelahiran baru dapat menghasilkan kebalikan dari posisi/status manusia setelah jatuh ke dalam dosa?

  2. Mengapa orang-orang Kristen yang sudah lahir baru hidupnya sering masih dipenuhi dengan pergumulan melawan kedagingan?

Kirimkan kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:

==> < staf-pesta(at)sabda.org >

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 05 | Pertanyaan 05 | Referensi 05b

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia Setelah Ditebus Kristus
Kode Referensi: AUA I-R05a

Referensi AUA I-R05a diambil dari:

Judul buku: Diselamatkan Oleh Anugerah
Judul artikel: Regenerasi
Pengarang: Anthony A. Hoekhema
Penerbit: Momentum, Jakarta, 2001
Halaman: 133 -- 147

REGENERASI

  1. Tiga Pengertian Regenerasi. Alkitab membicarakan regenerasi dalam tiga pengertian yang berbeda tetapi berkaitan: (1) sebagai permulaan kehidupan rohani yang baru, yang ditanamkan di dalam diri kita oleh Roh Kudus, memampukan kita untuk bertobat dan percaya (Yoh. 3:3,5); (2) sebagai manifestasi pertama dari hidup baru yang telah ditanamkan (Yak. 1:18; 1 Pet. 1:23); dan (3) sebagai pemulihan keseluruhan ciptaan dalam kesempurnaannya yang final (Mat. 19:28).

    Dalam pengertian lebih sempit, regenerasi dapat didefinisikan sebagai karya Roh Kudus yang dengannya Roh Kudus mula-mula membawa orang-orang ke dalam kesatuan yang hidup dengan Kristus, mengubah hati mereka sehingga mereka yang dulunya mati secara rohani menjadi hidup secara rohani, dan sekarang berkemampuan dan berkehendak untuk bertobat dari dosa, mempercayai Injil dan melayani Tuhan.

  2. Ajaran Alkitab Mengenai Regenerasi

    (1). Menurut Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama kita sudah mendapatkan pengajaran bahwa hanya Allah yang menyebabkan perubahan radikal yang diperlukan untuk memampukan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa untuk dapat kembali melakukan hal yang benar menurut pandangan-Nya. Di Ulangan 30:6, kita menemukan bahwa pembaharuan rohani kita dideskripsikan secara figuratif sebagai sunat terhadap hati: "Dan TUHAN, Allahmu, akan menyunat hatimu dan hati keturunanmu, sehingga engkau mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, supaya engkau hidup." Karena hati merupakan inti rohani dari satu pribadi, maka ayat ini mengajarkan bahwa Allah harus membersihkan diri rohani kita sebelum kita dapat benar-benar mengasihi-Nya. Apa yang kita sebut regenerasi dideskripsikan oleh Yeremia dengan kata-kata ini: "Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku" (31:33). Untuk mendeskripsikan regenerasi ini Yehezkiel menggunakan suatu gambaran yang walaupun merefleksikan cara berpikir Perjanjian Lama, namun masih sering kita pakai sekarang: "Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat" (36:26; band. 11:19). Di sini Allah, melalui Yehezkiel, menjanjikan kepada mereka yang dibuang ke Babilonia bahwa di masa yang akan datang Dia akan memperbaharui kerohanian mereka. (2). Menurut Perjanjian Baru. Perjanjian Baru memberikan pengajaran yang lebih lengkap dan lebih kaya mengenai regenerasi daripada Perjanjian Lama. Di dalam Injil- Injil Sinoptik, kata "regenerasi" tidak dipakai dalam arti "lahir baru." Akan tetapi ide itu tetap hadir di sana. Ketika Yesus berkata, "Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik" (Mat. 7:17), Dia mengimplikasikan bahwa pohon itu harus dijadikan baik sebelum dapat menghasilkan buah yang baik. Ketika Yesus menegaskan, "Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di sorga akan dicabut dengan akar-akarnya" (Mat. 15:13), Dia mengimplikasikan bahwa tanaman-tanaman yang telah ditanam oleh Bapa sorgawi-Nya tidak akan dicabut. Pernyataan-pernyataan seperti ini dengan jelas menunjukkan kebutuhan akan regenerasi. Mungkin tidak ada bagian di dalam Perjanjian Baru yang mengajarkan kedaulatan karya Allah di dalam regenerasi sejelas pasal ketiga dari Injil Yohanes (3:1-8). Kita telah mempelajari bahwa pelaku ilahi dari regenerasi adalah Roh Kudus. Bahwa kehidupan baru yang diterima berbeda secara radikal dari kehidupan biologis biasa, dan bahwa meskipun regenerasi merupakan kejadian yang misterius, kita dapat mengetahui bahwa itu telah terjadi dengan mengamati buahnya.

    Walaupun Titus 3:5 merupakan satu-satunya bagian di mana Paulus mempergunakan kata "regenerasi", tetapi kiasan mengenai regenerasi di dalam surat-suratnya begitu sering muncul. Di Efesus 2:5 Paulus menegaskan bahwa ketika kita mati di dalam pelanggaran, Allah menghidupkan kita bersama Kristus. Di Efesus 2:10 dan 2Korintus 5:17 Paulus memakai suatu gambaran baru bagi regenerasi: regenerasi merupakan suatu jenis keberadaan baru yang mencengangkan kita, sehingga ia hanya dapat dibandingkan dengan suatu penciptaan baru: "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus"; "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru." Dari penyataan-pernyataan Paulus juga kita mempelajari bahwa regenerasi merupakan buah dari karya pemurnian dan pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh, yang terjadi di dalam kesatuan dengan Kristus, dan bahwa ini berarti kita sekarang menjadi bagian dari ciptaan baru Allah yang ajaib.

    Petrus juga membicarakan regenerasi di dalam suratnya yang pertama. Dia memakai kata anagennao, yang berarti "memperanakkan kembali" atau "menyebabkan untuk dilahirkan kembali": "Karena [di dalam rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati" (1 Pet. 1:3). Kita dilahirkan kembali, melalui kebangkitan Kristus dari antara orang mati. Kebangkitan Kristus sungguh merupakan sumber kehidupan rohani kita yang baru; karena Allah menjadikan kita hidup bersama- sama dengan Kristus, kehidupan baru kita merupakan suatu sharing terhadap kehidupan kebangkitan Kristus. Petrus melihat regenerasi dalam perspektif eskatologis: awal hidup baru kita di dalam Kristus menyibakkan pemandangan yang mulia dari warisan kekal kita.

    Di 1 Yohanes 2:29 kita melihat bahwa orang yang mengalami regenerasi adalah orang yang terus menerus melakukan hal yang benar: "Jikalau kamu tahu, bahwa Ia adalah benar, kamu harus tahu juga, bahwa setiap orang, yang berbuat kebenaran, [telah] lahir dari pada-Nya" Kata kerja yang diterjemahkan sebagai "[telah] lahir" adalah dalam bentuk perfect tense (gegennetai), yang mengindikasikan bahwa orang ini telah diregenerasikan di waktu lampau dan terus-menerus menunjukkan bukti regenerasi itu di saat ini. Orang yang telah diregenerasikan adalah orang yang kehidupan luarnya ditandainya oleh karakteristik berikut: dia melakukan apa yang benar, tidak terus hidup di dalam doa, mengasihi sesamanya yang percaya, percaya bahwa Yesus adalah Kristus, dan akan terus mengalahkan dunia ini.

    Sekarang kita ringkaskan apa yang telah kita dapatkan dari penelaahan Alkitabiah mengenai regenerasi: regenerasi merupakan suatu perubahan radikal dari kematian rohani menjadi kehidupan rohani, yang dikerjakan oleh Roh Kudus - suatu perubahan dimana kita sepenuhnya pasif. Perubahan ini yang mencakup suatu perubahan rohani dari natur kita, merupakan buah dari anugerah Allah yang berdaulat, dan terjadi di dalam kesatuan dengan Kristus.

    Berdasarkan studi eksegetis, regenerasi di dalam pengertian sebagai suatu penanaman kehidupan rohani yang baru, bukanlah suatu karya di mana manusia bekerja bersama Allah, melainkan suatu karya di mana hanya Allah sebagai Pelaku tunggalnya. Dengan kata lain, regenerasi bersifat "monergistik, karya Allah sendiri, bukan "synergistik," sesuatu yang dicapai melalui kerja sama Allah dan manusia. Alkitab mengajarkan bahwa regenerasi merupakan suatu karya Allah dimana manusia hanya bersikap pasif. Dari ajaran-ajaran Alkitabiah mengenai regenerasi ini, kita mengetahui kedaulatan mutlak Allah di dalam soteriologi: keselamatan kita merupakan karya Allah dari awalnya. Karena itu, hanya Allah yang layak menerima semua pujian!

  3. Natur Esensial Dari Regenerasi

    Regenerasi itu sangat misterius - pertama-tama, karena sesuai dengan definisinya regenerasi merupakan karya Allah; kedua, karena kita tidak pernah dapat mengamati atau merasakan regenerasi; kita hanya dapat mengamati efek-efeknya. Memahami regenerasi dalam pengertiannya yang lebih sempit, sebagai penanaman suatu kehidupan baru, kita tidak pernah dapat yakin kapan regenerasi itu terjadi, kita hanya dapat mendeduksi dari bukti-bukti tertentu dengan kepastian yang besar atau kecil (kepastian yang lebih baru jika menyangkut diri kita sendiri, dan lebih kecil jika menyangkut orang lain) bahwa regenerasi itu terjadi.

    Tiga komentar mengenai natur esensial dari regenerasi:

    (1) Regenerasi merupakan perubahan yang terjadi secara seketika.

    Regenerasi bukan suatu proses bertahap seperti pengudusan yang progresif. Di Efesus 2:5, regenerasi dideskripsikan sebagai menjadikan pendosa yang telah mati hidup kembali; kata kerja yang diterjemahkan "menghidupkan kita bersama-sama Kristus," synezoopoiesen memakai bentuk aorist tense yang berarti tindakan yang seketika atau sekejap. Dalam Kisah 16:14, kita membaca mengenai konversi yang dialami Lidia: "Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus." Peristiwa pembukaan hati ini jelas mendeskripsikan regenerasi. Kata yang diterjemahakan menjadi "membuka" (dienoixen) juga dalam bentuk aorist tense. Regenerasi itu sendiri pastilah bersifat seketika, karena tidak ada kondisi pertengahan di antara kehidupan dengan kematian.

    (2) Regenerasi merupakan perubahan yang supranatural. Regenerasi, penciptaan baru, pembangkitan dari kematian dan menghidupkan adalah sedemikian jelas diajarkan oleh Alkitab, di mana Allah sendiri yang bekerja di dalam diri kita tanpa bantuan kita. Tetapi regenerasi ini pasti tidak terjadi hanya dengan ajaran dari luar, persuasi moral, atau dengan suatu cara yang sedemikian rupa sehingga setelah Allah selesai berkarya manusialah yang tetap berkuasa memutuskan apakah dirinya mau dilahirbarukan, atau diubah, atau tidak. Sebaliknya, regenerasi secara keseluruhan merupakan karya supranatural, karya yang paling berkuasa, paling memberikan sukacita, karya yang ajaib, tersembunyi dan tidak terkatakan, yang mana kuasa untuk melakukannya tidak kurang atau lebih rendah dari kuasa untuk menciptakan atau membangkitkan dari orang mati, seperti yang diajarkan oleh Alkitab.

    (3) Regenerasi merupakan perubahan yang radikal. Karena istilah "radikal" berasal dari kata Latin untuk "akar" (radix), maka ini berarti regenerasi merupakan suatu perubahan pada akar natur kita.

    (a) Regenerasi berarti pemberian atau "penanaman " kehidupan rohani yang baru . Di saat regenerasi inilah pendosa yang mati menjadi hidup secara rohani, penolakannya terhadap Allah diubah menjadi penerimaan, dan kebencian kepada Allah diubah menjadi kasih. Regenerasi berarti orang yang tadinya di luar Kristus sekarang telah berada di dalam Kristus. Karena itulah perubahan ini disebut radikal, bukan sekedar perubahan pada kulitnya saja.

    (b) Regenerasi merupakan suatu perubahan yang mempengaruhi keseluruhan pribadi. Regenerasi merupakan suatu perubahan total - suatu perubahan yang mecakup keseluruhan pribadi itu. Dalam istilah yang Alkitabiah, regenerasi merupakan pemberian hati yang baru. Dan hati di dalam Alkitab adalah inti rohani dari satu pribadi, pusat dari seluruh aktivitas; sumber yang darinya mengalir keluar semua pengalaman mental dan rohani, dan sebagainya. Sumber inilah yang diperbaharui di dalam regenerasi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa regenerasi bukan berarti penyingkiran seluruh kecenderungan berdosa. Meskipun orang yang telah diregenerasikan adalah manusia yang baru, namun dia belum sempurna.

    (c) Regenerasi merupakan suatu perubahan yang terjadi di bawah kesadaran. Hal ini jelas, pertama-tama dari cara Alkitab mendeskripsikan kondisi natural kita. Jika kita, sebagaimana yang dikatakan Alkitab, sesuai natur kita adalah mati di dalam dosa, cemar, tidak tunduk terhadap hukum Allah, tidak mampu menerima hal-hal yang berasal dari Roh Allah, maka kita tidak dapat secara sadar memutuskan untuk mengubah diri kita menjadi kondisi yang bertentangan dengan natur kita tersebut. Kita harus diubah pada akar keberadaan kita, dengan cara yang supranatural. Dengan demikian perubahan ini haruslah, seperti yang dikatakan para psikolog, di bawah radar - akan tetapi merupakan suatu yang pasti menampakkan dirinya di dalam kehidupan sadar kita. Lebih lanjut lagi, bahwa perubahan ini terjadi di bahwa kesadaran kita juga jelas di dalam istilah-istilah yang dipergunakan Alkitab untuk mendeskripsikan regenerasi: "Aku akan memberikan kepadamu hati yang baru"; "jika dia tidak dilahirkan dari atas"; "yang lahir dari daging adalah daging, dan yang lahir dari Roh adalah roh"; "dihidupkan bersama dengan Kristus." Ungkapan-ungkapan seperti ini menunjukkan suatu transformasi yang begitu radikal sehingga pasti merupakan suatu perubahan pada akar keberadaan kita di bawah sadar. Karena itulah, di dalam regenerasi, dengan pengertian yang lebih sempit, kita tidak aktif, melainkan pasif.

----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 05 | Pertanyaan 05 | Referensi 05a

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Karakter Manusia Setelah Ditebus Kristus
Kode Referensi: AUA I-R05b

Referensi AUA I-R05b diambil dari:

Judul buku: Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen
Judul artikel: Kelahiran Baru
Pengarang: R.C. Sproul
Penerbit: Seminari Alkitab Asia Tenggara
Halaman: 227 -- 229

KELAHIRAN BARU

Pada waktu Jimmy Carter dipilih menjadi presiden Amerika Serikat, dia menyatakan bahwa dirinya adalah "orang Kristen yang telah lahir baru". Kemudian Charles Colson, orang penting di dalam pemerintahan Nixon di Gedung Putih, menulis buku yang laku keras, dengan judul "Born Again". Di dalamnya, dia menjelaskan secara kronologis pengalaman pertobatannya menjadi orang Kristen. Oleh karena kedua orang terkemuka ini telah mempopulerkan istilah dilahirkan baru, maka istilah ini telah menjadi bagian dari pembicaraan orang-orang modern.

Untuk menjelaskan bahwa seseorang adalah orang Kristen yang telah lahir kembali, secara teknis ini merupakan bentuk pengulangan. Sebab tidak ada orang Kristen yang tidak dilahirkan kembali. Orang Kristen yang belum lahir baru merupakan istilah yang kontradiksi. Demikian pula, istilah orang non Kristen yang dilahirkan baru merupakan suatu kontradiksi.

Tuhan Yesus yang pertama kali menyatakan bahwa kelahiran baru secara rohani merupakan sesuatu yang mutlak dibutuhkan untuk memasuki kerajaan Allah. Dia menyatakan kepada Nikodemus: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika (dalam terjemahan New King James Version "unless" = "kecuali") seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah." (Yohanes 3:3) Kata kecuali di dalam pengajaran Tuhan Yesus menandai universalitas kondisi yang dibutuhkan untuk melihat dan memasuki kerajaan Allah. Kelahiran baru, merupakan bagian yang penting di dalam kekristenan; tanpa hal itu, tidak mungkin seseorang dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.

Regenerasi merupakan istilah teologis yang digunakan untuk menjelaskan kelahiran baru. Hal itu menunjuk pada suatu permulaan yang baru. Hal ini lebih dari hanya sekedar "daun yang bersemi kembali setelah musim gugur dan musim dingin". Hal ini menandai suatu kehidupan yang baru di dalam diri seseorang yang secara radikal telah diperbaharui. Petrus berbicara kepada orang percaya: "Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh Firman Allah, yang hidup dan yang kekal." (1Petrus 1:23)

Regenerasi merupakan pekerjaan Roh Kudus atas diri mereka yang secara rohani telah mati (lihat Efesus 2:1-10). Roh Kudus menciptakan kembali hati manusia, membangkitkannya dari kematian secara rohani kepada kehidupan secara rohani. Orang yang mengalami regenerasi adalah ciptaan yang baru. Dimana, pada mulanya mereka tidak memiliki posisi, kecenderungan, atau kerinduan untuk hal-hal yang berasal dari Allah, sekarang, mereka berpaling dan memiliki kecenderungan kepada Allah. Di dalam regenerasi, Allah menanamkan suatu kerinduan untuk Diri-Nya sendiri di dalam hati manusia yang tadinya tidak dimiliki oleh manusia.

Regenerasi tidak boleh disamakan dengan pengalaman pertobatan seseorang. Sama halnya dengan kelahiran merupakan permulaan kita, dimana kita memasuki suatu kehidupan di luar kandungan, demikian pula dengan kelahiran baru secara rohani merupakan titik awal dari kehidupan rohani kita. Hal ini terjadi atas dasar inisiatif dari Allah dan merupakan suatu tindakan yang berdaulat, langsung, terjadi secara instan. Suatu kesadaran dari pertobatan kita dapat terjadi secara bertahap, namun kelahiran baru itu sendiri terjadi secara instan. Tidak ada yang hanya sebagian dilahirkan baru sama halnya dengan tidak ada seorang perempuan yang hamil sebagian.

Regenerasi bukan merupakan buah dari iman, tetapi regenerasi mendahului iman, yaitu sebagai kondisi yang dibutuhkan oleh seseorang untuk beriman. Kita juga tidak berpaling pada regenerasi atau bekerja sama sebagai rekan kerja dengan Roh Kudus untuk menghasilkan regenerasi. Kita tidak memutuskan dan memilih untuk diregenerasikan. Allah memutuskan untuk meregenerasikan kita sebelum kita akan pernah memilih untuk menerima Dia. Secara pasti, setelah kita diregenerasikan oleh kedaulatan dari anugerah Allah, kita memang memilih, bertindak, bekerja sama, dan percaya pada Kristus. Allah tidak beriman untuk kita. Kita dibenarkan berdasarkan iman kita sendiri. Apa yang Allah lakukan adalah membangkitkan kita ke dalam kehidupan secara rohani, membebaskan kita dari kegelapan, keterikatan, dan dari kematian secara rohani. Allah memungkinkan kita mempunyai iman dan aktual bagi kita. Dia membangkitkan iman di dalam diri kita.

  1. Semua yang benar-benar orang Kristen pasti sudah lahir baru.
  2. Semua orang yang sudah lahir baru, pasti orang Kristen.
  3. Kelahiran baru merupakan kondisi yang harus ada supaya orang dapat memasuki Kerajaan Allah.
  4. Regenerasi merupakan pekerjaan Roh Kudus yang didasarkan atas kedaulatan-Nya dan anugerah-Nya.
  5. Regenerasi mendahului iman. Hal ini merupakan inisiatif Allah di dalam keselamatan.

AYAT-AYAT ALKITAB UNTUK BAHAN REFLEKSI:

  1. Ulangan 30:6
  2. Yehezkiel 36:26-27
  3. Roma 8:30
  4. Titus 3:4-7

----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA


Materi Pelajaran | Pertanyaan 06 | Referensi 06a | Referensi 06b | Referensi 06c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Filsafat Non-Kristen dan Kristen
Kode Pelajaran: AUA I-P06

Pelajaran 06 - FILSAFAT NON-KRISTEN DAN KRISTEN

Daftar Isi

  1. Struktur Filsafat Non-Kristen dan Filsafat Kristen
    1. Struktur Filsafat Non-Kristen
    2. Struktur Filsafat Kristen
  2. Dilema Orang Non-Kristen dan Jawabannya
    1. Pemikiran Berkenaan dengan Allah
    2. Pemikiran Mengenai Dunia di Luar Diri Manusia
    3. Pemikiran Mengenai Manusia
  3. Mitos dari Netralitas

Doa

FILSAFAT NON-KRISTEN DAN KRISTEN

"Hati-hatilah supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi menurut Kristus." (Kol. 2:8)

Dari pengamatan singkat akan karakter manusia, terlihat fakta adanya dua macam kelompok manusia yang hidup di sekitar kita hari ini. Kedua kelompok ini memegang pandangan yang berlawanan mengenai Allah, dunia, dan diri mereka sendiri. Dua pandangan ini akan disebut filsafat Kristen, yang berakar pada ketergantungan secara total pada Allah; dan filsafat non-Kristen, yang berakar pada kemandirian, terlepas dari Allah. Kedua pandangan ini memengaruhi setiap aspek kehidupan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam berapologetika, sangat penting untuk mengetahui kedua filsafat ini dengan jelas.

  1. Struktur Filsafat Non-Kristen dan Filsafat Kristen

    1. Struktur Filsafat Non-Kristen

      Dalam Ef. 4:17-19, Paulus menjelaskan keberadaan orang non-Kristen untuk menyatakan bentuk filsafat yang mereka hasilkan. Mereka berjalan: "Sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka. Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran."

      Orang non-Kristen menyangkali fakta perbedaan Pencipta dengan ciptaan dan memalingkan diri dari Allah supaya terlepas dari Allah. Akibatnya, mereka hidup dalam kesia-siaan. Semua usaha mereka adalah kegelapan dan kefanaan.

      Kita harus berhati-hati dalam menafsirkan perkataan Paulus untuk mendapatkan pengertian yang tepat. Dalam pernyataan itu, Paulus tidak melawan filsafat secara umum; ia sendiri adalah seorang ahli filsafat. Yang ia lawan adalah filsafat yang mengadopsi kemandirian untuk lepas dari Allah, yang akan menghasilkan kehancuran dan kematian kekal.

      Mungkin kita berpikir bahwa Paulus terlalu berlebihan dalam mengomentari soal ini, namun perkataannya yang berikut ini justru membuktikan kesungguhannya:

      "Hati-hatilah supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi menurut Kristus." (Kol. 2:8)

      Filsafat orang non-Kristen berdasar pada kemandirian pikiran manusia dan kesetiaan atas "tradisi manusia" serta "prinsip-prinsip dasar dari dunia". Tidak ada yang benar bagi mereka selain bisa dibuktikan benar oleh pikiran manusia yang mandiri.

      Untuk lebih jelasnya, Paulus menunjukkan karakter filsafat non-Kristen yang dengan tegas menolak Kristus dan bersikeras memertahankan kemandirian mereka. Orang-orang yang mengambil posisi netral juga telah menolak pernyataan Kristus sebagai Tuhan atas seluruh alam semesta. Oleh karena itu, filsafat non-Kristen dapat diumpamakan sebagai bangunan yang atapnya mendukung fondasinya; tidak ada dasar yang kokoh di bawahnya.

    2. Struktur Filsafat Kristen

      Filsafat Kristen menunjukkan usaha untuk menghindarkan diri dari kesia-siaan yang berasal dari kemandirian. Seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus:

      "Kita tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah, supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita." (1 Kor. 2:12)

      Paulus selanjutnya menyatakan sifat dari komitmen agamawi yang merupakan dasar dari filsafat Kristen:

      "Sebab dalam Dialah (Kristus) berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan, dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia. Dialah kepala semua pemerintah dan penguasa." (Kol. 2:9-10)

      Paulus memberikan tiga prinsip yang penting sehubungan dengan filsafat Kristen:

      - "Di dalam Dia, seluruh kepenuhan ilahi tinggal." Kristus adalah penyataan Allah dalam bentuk fisik. Karena itu, filsafat manusia harus berdasarkan pada komitmen bahwa Kristus adalah yang diwahyukan Allah dalam Alkitab. Hanya Allah yang mengetahui alam semesta ini secara mendalam dan menyeluruh; hanya Dia yang dapat mengajarkan kebenaran kepada manusia. Karena Kristus adalah Allah, maka kita harus menyerahkan diri pada-Nya apabila kita ingin memiliki kebenaran.

      - "Di dalam Dia, kamu telah menjadi sempurna." Hanya melalui persekutuan dengan Kristus dalam iman, kita dimungkinkan untuk dapat melihat Allah, dunia, dan diri kita sendiri dengan tepat dan benar. Lepas dari iman pada Kristus sebagai komitmen dasar hidup, kita tidak mungkin mendapatkan filsafat yang benar.

      - "Dia adalah kepala dari segala pemerintah dan penguasa." Apabila kita lebih memercayai prinsip yang tidak bergantung secara total pada Allah sebagai dasar pikiran kita, maka ini sama dengan menganggap bahwa ada otoritas lain yang melebihi Kristus. Padahal tidak ada pengadilan yang dapat mengadili Kristus. Tidak ada hakim di atas Dia.

      Oleh karena itu, segala sesuatu yang dinyatakan oleh Kristus harus diterima sebagai kebenaran, sebab Dialah yang memiliki otoritas mutlak/terakhir atas segala sesuatu. Setiap aspek dari filsafat kristiani harus bersandar pada komitmen ketergantungannya pada Allah. Filsafat Kristen dapat digambarkan sebagai suatu bangunan yang besar dan disangga oleh satu tiang utama -- Kristus.

      Komitmen orang Kristen akan ketergantungannya pada Allah sering kali disalahmengerti dalam dua hal:

      Pertama, komitmen pada Kristus dianggap hanya dilaksanakan apabila berurusan dengan masalah-masalah gerejawi. Oleh karena itu, persoalan-persoalan sekuler tidak perlu didasarkan pada komitmen ketergantungan mutlak pada Allah. Pandangan ini sangat tidak benar. Komitmen ketergantungan secara mutlak pada Allah harus dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Contohnya, dalam bercocok tanam, orang-orang percaya harus menyadari bahwa pengetahuannya adalah berasal dari Allah.

      "Bukankah setelah meratakan tanahnya, ia menyerakkan jintan hitam dan menebarkan jintan putih, menaruh gandum jawawut dan jelai kehitam-hitaman dan sekoi di pinggirnya? Mengenai adat kebiasaan ia telah diajari, diberi petunjuk oleh Allahnya." (Yes. 28:25-26)

      Semua hikmat dan pengetahuan kita berasal dari Allah.

      "yang memberi kita akal budi melebihi binatang di bumi, dan hikmat melebihi burung di udara?" (Ay. 35:11)

      Orang Kristen berusaha untuk bergantung pada Allah dalam segala sesuatu supaya dapat mengatasi segala sesuatu sesuai dengan prinsip berikut:

      "Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita." (Kol. 3:17)

      Kedua, komitmen ketergantungan pada Allah disalahmengerti secara total dalam pengertian bahwa filsafat Kristen hanya sekadar membaca firman Tuhan dan berdoa. Padahal, orang-orang Kristen tidak mendapatkan keseluruhan filsafat mereka hanya dari Alkitab dan berdoa, walaupun kedua hal itu paling utama. Orang Kristen juga melihat dunia dan menemukan jawaban atas pertanyaannya setelah secara aktif melakukan pengamatan dan penganalisaan.

      Allah tidak mewahyukan jawaban secara rinci dalam Alkitab atas setiap pertanyaan yang diajukan manusia. Yang Allah berikan kepada kita adalah prinsip-prinsip sebagai pedoman untuk membangun filsafat kita. Saat Allah memerintahkan nabi Nuh untuk membangun bahtera, petunjuk tertentu diberikan melalui wahyu khusus, namun hal-hal yang terperinci dipelajari dengan menerapkan prinsip-prinsip sesuai dengan kondisi yang ada. Misalnya, Allah mengatakan kepada nabi Nuh untuk memplester bahtera itu, namun jumlah aspal yang akan dipergunakan tidak diberitahukan oleh Allah. Karena itu, nabi Nuh harus menentukan sendiri jumlah aspal dengan melihat seberapa banyak yang diperlukan untuk menjaga bahtera dari kebocoran. Filsafat Kristen bukan hanya membaca Alkitab dan berdoa. Tetapi merupakan sebuah konstruksi yang dibangun berdasarkan prinsip firman Tuhan.

      Tuduhan yang sering kali diberikan kepada orang Kristen adalah bahwa komitmen orang Kristen akan ketergantungan pada Allah merupakan hasil keputusannya yang mandiri. Dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa ketergantungannya pada Allah adalah proses kemandirian orang Kristen yang memutuskan bahwa kekristenan merupakan pilihan yang terbaik. Memang, seakan-akan terlihat seperti itu jika dilihat dari sudut pandang orang non-Kristen. Namun, orang Kristen menyadari bahwa kenyataannya tidak demikian. Orang Kristen tidak mendasarkan kemandiriannya saat menyerahkan diri untuk bergantung kepada Allah. Terlebih dahulu, ia telah diberi anugerah kelahiran baru, lepas dari kehendaknya sendiri. Oleh karena anugerah Allahlah, ia dimungkinkan untuk menyerahkan dirinya pada ketergantungan secara total pada Allah.

      "Hal itu tidak bergantung kepada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah." (Rom. 9:16)

      Sirkulasi pemikiran orang Kristen terdiri dari pengakuan bahwa tidak ada yang lebih tinggi daripada otoritas Allah dan firman-Nya. Sirkulasi pemikiran orang non-Kristen merupakan bukti dari pemikiran yang mandiri dan lepas dari Allah yang berusaha untuk mendukung dirinya sendiri. Perbedaan kedua pandangan ini membentuk jurang pemisah yang besar yang hanya bisa dijembatani oleh anugerah kelahiran baru dari Allah.

  2. Dilema Orang Non-Kristen dan Jawabannya

    Saat manusia menolak fakta perbedaan Pencipta dengan ciptaan dan menyerahkan dirinya kepada kemandirian yang lepas dari Allah, manusia dihadapkan pada suatu dilema yang tidak dapat dihindari oleh orang-orang non-Kristen. Suatu analogi dapat kita lihat dalam teater Yunani kuno, di mana aktor yang sama sering kali harus memainkan berbagai peran dengan cara menggonta-ganti topengnya. Demikian juga halnya dengan orang non-Kristen yang tidak mengenal kebenaran Allah, mereka terpaksa harus memakai dua topeng. Saat berpaling kepada Allah, mereka menyatakan keyakinannya yang mutlak bahwa fakta perbedaan Pencipta dengan ciptaan-Nya adalah tidak benar; karena itu, ia memakai topeng "keyakinan yang mutlak". Namun ketika berpaling dari Allah, mereka berada pada posisi di mana ia tidak memunyai dasar yang kuat untuk pengetahuan. Karena itu, ia harus menggunakan topeng "ketidakyakinan yang mutlak".

    Suatu saat, orang non-Kristen memakai topeng yang satu dan memakai topeng yang lain pada saat lain. Sesungguhnya, mereka diperhadapkan pada suatu dilema yang tidak dapat dipecahkan di balik topeng itu, di mana kedua-duanya, pada saat yang sama, yakin secara mutlak dan tidak yakin secara mutlak. Pembukaan atau upaya menyingkapkan topeng orang tidak percaya dan memerlihatkan dilema ini kepada mereka, merupakan bagian penting dalam pembelaan (apologetika) alkitabiah.

    Apabila orang yang non-Kristen bersikeras untuk berpegang pada pandangannya, maka dia harus mengabaikan secara total kesadarannya akan keterbatasan manusia. Sering kali, keadaan ini diperlihatkan oleh orang non-Kristen sebagai usaha untuk menghindari kesombongan atau membuat dogma (memutlakkan sesuatu). Mereka akan mengatakan bahwa kita tidak yakin akan apa yang kita pikir kita tahu, atau bahwa kita hanya akan sampai kepada "pengetahuan yang berdasarkan pada suatu kemungkinan". Pernyataan ini kelihatannya seperti "kerendahan hati" pada permukaannya, namun sebenarnya merupakan pernyataan keyakinan dan ketidakyakinannya yang mutlak pada waktu bersamaan.

    Titik ini akan sangat menolong untuk menggambarkan lebih lanjut bagaimana filsafat orang non-Kristen memerlihatkan dilema "keyakinan yang mutlak bahwa tidak ada keyakinan-keyakinan yang mutlak". Penjelasan akan diberikan berdasarkan tiga hal utama dari pemikiran manusia -- tentang Allah, dunia di luar manusia, dan manusia sendiri. Penjelasan ini bukan merupakan penjelasan yang mendalam karena kita hanya akan memerlihatkan beberapa contoh untuk mendukung gambaran yang akan diberikan. Hal-hal ini sangat penting bagi apologetika alkitabiah.

    Filsafat Kristen menyediakan jawaban atas dilema orang non-Kristten. Kristus adalah dasar dari kepastian manusia dan jawaban atas ketidakpastian yang ditemukan. Allah dilihat sebagai sumber dari segala pengetahuan, maka orang Kristen tidak lagi dihadapkan pada masalah pasti dan tidak pasti yang tidak terpecahkan. Memang ada kepastian dan ketidakpastian dalam filsafat kristiani, namun itu semua ada di bawah bimbingan ke-Tuhanan Kristus.

    Di satu pihak, orang Kristen memiliki kepastian akan pengetahuan manusia selama ia bergantung pada wahyu Allah. Mendasari filsafat kita atas Allah dan wahyu-Nya, berarti menerima secara pasti hal-hal yang telah diwahyukan. Kepastian orang Kristen tidak dihancurkan oleh apa yang tidak diketahuinya karena Allah mengetahui segala sesuatu secara mendalam dan menyeluruh. Oleh karena itu, Ia dapat menyediakan pengetahuan yang cukup bagi manusia, bahkan dalam keterbatasan manusia sekalipun. Manusia akan mengetahuinya dengan benar tanpa disertai rasa takut akan salah.

    Di pihak lain, memang ada ketidakpastian dalam diri orang Kristen. Ia menyadari bahwa tidak mungkin ia mampu memahami semua pengetahuan. Ini berkenaan dengan hal-hal yang melampaui akal budinya dan yang belum dinyatakan Allah kepada manusia. Dalam hal-hal seperti itu, orang Kristen mengakui ketidakpastiannya, tetapi tetap percaya pada hikmat Allah dan pengertian-Nya yang sempurna. Contohnya, orang percaya tidak mampu untuk memecahkan misteri ke-Tuhanan dan kemanusiaan Tuhan Yesus. Namun, ia percaya bahwa hal itu bukanlah suatu misteri bagi Allah dan hal itu pasti benar karena Allah yang mengatakannya. Ketergantungan pada Allah ialah tetap memercayai-Nya dalam hal-hal yang belum dapat kita pahami sepenuhnya sekalipun. Dapat dikatakan, orang Kristen dapat memiliki ketidakpastian yang bergantung pada pengetahuan Allah yang sempurna.

    Supaya kita dapat melihat dengan jelas perbedaan antara kepastian dan ketidakpastian antara orang Kristen dan orang non-Kristen, kita akan melihat beberapa gambaran berikut ini.

    1. Pemikiran Berkenaan dengan Allah

      Salah satu keterbatasan filsafat non-Kristen adalah dalam hal pertanyaan akan keberadaan Allah. Di satu pihak, orang non-Kristen (mungkin seorang ateis) berpegang pada keyakinan yang mutlak bahwa Allah tidak ada. Untuk berpegang pada pandangan ini, orang ateis berusaha untuk mengabaikan fakta keterbatasannya dalam menyelidiki seluruh alam semesta dan mendorongnya menyadari bahwa mereka tidak yakin secara mutlak akan keberadaan Allah. Oleh karena orang non-Kristen belum menyelidiki semua kemungkinan yang membuktikan keberadaan Allah, ia tidak dapat yakin secara mutlak bahwa Allah tidak ada.

      Orang Kristen memiliki kepastian yang bergantung pada Allah mengenai keberadaan dan karakter Allah melalui wahyu Allah dalam Alkitab. Allah telah berfirman dan menyatakan diri-Nya bahwa Ia dapat dikenali oleh mereka yang menyerahkan dirinya untuk percaya kepada Anak-Nya. Namun, orang Kristen memiliki ketidakpastian yang bergantung pada Allah karena ia tidak mengetahui segala sesuatu mengenai Allah. Allah merahasiakan sebagian mengenai diri-Nya. Selain itu, dosa yang tersisa dalam kehidupan orang percaya menahannya untuk mengetahui apa yang telah diwahyukan sebagaimana seharusnya. Namun demikian, ketidakpastian ini tidak menghancurkan segala sesuatu yang dapat diketahui oleh orang Kristen mengenai Allah, sebab Allah memiliki semua pengertian dan pengetahuan akan segala sesuatu.

    2. Pemikiran Mengenai Dunia di Luar Diri Manusia

      Dilema dari filsafat orang non-Kristen dapat dilihat pula dari apa yang dikatakan mengenai lingkungan ciptaan di sekitar mereka. Klaim akan keyakinan yang mutlak telah dikemukakan, misalnya, saat mereka mengatakan bahwa dunia ini, dalam pengertian tertentu, merupakan dunia yang teratur dan dapat dimengerti. Mereka yakin secara mutlak bahwa keteraturan yang telah benar-benar diamati merupakan suatu realitas dari dunia ini. Namun, orang tidak percaya diperhadapkan pada fakta bahwa ia belum dan tidak dapat menyelidiki keseluruhan dari dunia di luar dirinya, sehingga ia tidak dapat menghindari ketidakpastian yang mutlak.

      Kepastian yang bergantung pada Allah dapat ditemukan dalam pandangan Kristen yang mengajarkan bahwa Allah telah menciptakan dunia yang teratur ini. Orang Kristen dapat mengerti tentang dunia ini sebab Allah telah menyediakan garis-garis petunjuk dalam Alkitab untuk dapat mengerti dunia ini. Ketidakpastian hadir dalam pandangan kristiani untuk beberapa alasan. Membutuhkan waktu untuk menerapkan pengajaran Alkitab ke dalam setiap aspek dari keseluruhan alam semesta ini. Lebih dari itu, kehadiran dosa menyebabkan orang Kristen mungkin mengabaikan Alkitab sehingga salah mengerti akan dunia, Alkitab, atau kedua-duanya. Akibatnya, filsafat Kristen memiliki ketergantungan kepastian dan ketergantungan ketidakpastian dalam memertimbangkan dunia di luar dirinya.

    3. Pemikiran Mengenai Manusia

      Bukanlah hal yang mengejutkan apabila orang non-Kristen juga memerlihatkan ketidakkonsistenan pemikiran ketika membicarakan diri mereka sendiri. Dengan beragam cara, orang non-Kristen menyelewengkan gambaran manusia secara alkitabiah sebagai manusia menurut gambar Allah dan menggantikannya dengan konsep mereka sendiri, lepas dari ketergantungannya pada Allah. Mereka bisa mengatakan tentang manusia seperti yang mereka mau. Apa pun masalahnya, orang non-Kristen sebenarnya membuat klaim yang berpegang pada kepastian yang mutlak dan mengabaikan fakta keterbatasan dari penyelidikan mereka sebagai manusia, serta akhirnya mengembalikan diri mereka pada ketidakpastian yang mutlak.

      Ketika memikirkan dirinya sendiri, orang Kristen kembali diperhadapkan pada kepastian dan ketidakpastian dalam ketergantungannya pada Allah. Orang Kristen mengetahui bahwa ia merupakan gambar Allah karena Allah mewahyukannya dalam Alkitab. Namun, ada misteri mengenai diri kita sendiri di mana orang Kristen tidak mampu memahaminya. Lebih dari itu, dosa menyebabkan orang Kristen salah mengerti dan kadang menolak kebenaran dari karakter mereka sendiri. Namun, orang Kristen menyerahkan dirinya pada pengertian bahwa secara menyeluruh, Allah mengerti karakter manusia. Oleh karena itu, saat orang Kristen berada dalam ketidakpastian yang bergantung pada Allah, saat itu pula mereka berada dalam kepastian yang bergantung kepada Allah.

  3. Mitos dari Netralitas

    Setelah kita melihat perbedaan filsafat non-Kristen dan Kristen, maka penting bagi kita untuk tahu bahwa dua filsafat inilah yang menjadi pilihan manusia, tidak ada daerah netral di antara keduanya. Dalam kerangka berpikir abad ke-20, yang menghargai ilmu pengetahuan, banyak orang non-Kristen mengklaim bahwa mereka sulit sekali untuk tiba pada keyakinan mereka setelah melihat dunia dari pandangan yang netral. Hampir tidak pernah satu hari berlalu tanpa kita mendengar seseorang mengatakan, "Saya hanya ingin berhubungan dengan fakta objektif sebagaimana adanya. Saya ingin menghindarkan diri dari pertanyaan- pertanyaan yang bersifat rohani/agamawi." Walaupun kalimat ini dinyatakan dengan ketulusan, namun orang non-Kristen sebenarnya sangat jauh dari keberadaan netral (objektif). "Kejujuran yang netral" yang mereka kemukakan hanyalah bentuk lain dari penyerahan kepada kemandirian yang lepas dari ketergantungan pada Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tuhan Yesus:

    "Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia menceraiberaikan." (Mat. 12:30)

    Meskipun terlihat aneh, ada juga orang Kristen yang berusaha untuk menemukan tempat netral. Bahkan konsep daerah netral di antara orang non-Kristen dan Kristen telah merupakan konsep dasar yang banyak dipakai dalam berapologetika di masa lampau. Pada dasarnya, orang-orang Kristen berusaha mencari titik pertemuan pada dasar yang sama dengan orang non-Kristen di mana di atasnya mereka ingin membangun kredibilitas kristiani. Sangatlah penting dalam perkembangan apologetika untuk melihat beberapa hal yang dikatakan atau dianggap sebagai konsep netral dan melihat mengapa mereka sebenarnya sama sekali tidak netral.

    Konsisten dalam logika merupakan prinsip yang disuguhkan, di mana orang Kristen dan orang non-Kristen bersepakat. Apabila kita bermaksud untuk memerlihatkan kebenaran kekristenan kepada orang non-Kristen, maka kita dapat memberikan logika dari kepercayaan kita pada Allah, Kristus, dan Alkitab. Dengan suatu pengharapan bahwa penjelasan berdasarkan logika ini dapat meyakinkan atau memenangkan mereka ke dalam Kerajaan Allah, atau paling tidak ke arah itu. Namun, walaupun kita setuju akan keharusan berpikir secara logis, pengertian kristiani akan keterbatasan dan fungsi logika sangat berbeda dengan apa yang dimengerti oleh orang-orang non-Kristen. Pemikiran manusia, dalam bentuk yang paling murni dan yang paling lengkap, tetap tidak lebih dari pemikiran makhluk yang diciptakan Allah dan yang telah dipengaruhi oleh bentuk pemikiran yang subjektif. Jadi pada dasarnya, logika pun tidak ada yang bersifat netral.

    Juga, sebenarnya tidak ada fakta dari ilmu pengetahuan di mana orang Kristen dan orang non-Kristen memegangnya sebagai satu kesepakatan. Baik dalam psikologi, biologi, sejarah, matematika, filsafat, teologi, dan lain-lain. Fakta-fakta ilmiah pada dasarnya dimengerti secara berlainan oleh orang Kristen dan non-Kristen. Tidak ada daerah netral untuk berbicara mengenai "fakta-fakta" tanpa pengaruh dari komitmen dasar kita, yang pada dasarnya berbeda.

    Karena perbedaan yang begitu jelas, bagaimana orang Kristen dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang non-Kristen? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada fakta bahwa meskipun tidak ada netralitas, ada titik temu di antara orang Kristen dan non-Kristen, yaitu di tempat-tempat yang memiliki persamaan -- dunia di mana kita hidup, keberadaan kita sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, dan penawaran Injil yang bersifat anugerah.

    Orang Kristen dan non-Kristen sama-sama hidup di dunia yang sama, kita hidup di bumi yang sama, belanja di toko yang sama, dan makan makanan yang sama. Dalam pengertian ini, kita dapat melakukan fungsi secara mekanis yang sama. Sebagai gambar Allah, manusia yang telah jatuh tetap dapat berargumentasi, berpikir, merasakan sesuatu, dan dapat menggunakan bahasa manusia. Akibatnya, kita dapat berkomunikasi dan benar-benar sampai pada kesepakatan, meskipun hanya secara permukaan saja, sebab perbedaan kita yang radikal tetap ada. Lebih dari itu, sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, orang non-Kristen mengenal Allah dan tuntutan-Nya dalam hati mereka. Walaupun mereka berusaha untuk menyangkalinya, namun setiap fakta dari ciptaan berbicara kepada mereka tentang Allah. Bahkan pembicaraan orang Kristen mengenai kesadaran akan Allah akan menyebabkan mereka tidak dapat luput dari kesadarannya akan Allah.

    Kita hanya dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang non-Kristen karena kekuatan dan pekerjaan kelahiran baru yang dilakukan Roh Kudus, yang selalu ada dan bekerja. Melalui Injil yang diberitakan, Roh Kudus membuka hati dan membawa seseorang pada iman pada Kristus. Pengakuan akan konsep mitos netralitas tidak akan menghancurkan semua pengharapan untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang non-Kristen. Sebenarnya, dengan kesadaran bahwa tidak ada netralitas, kita mulai berkomunikasi dengan orang non-Kristen dengan cara yang relevan dengan kebutuhan mereka akan Kristus. Tanpa pengakuan akan adanya perspektif-perspektif ini, apologetika alkitabiah tidak dapat dikembangkan.

Akhir Pelajaran (AUA I-P06)---

Doa

Ya, Tuhan, kami bersyukur karena Engkau memberikan dasar kepercayaan yang kokok dalam firman-Mu. Dengan demikian, kami tidak lagi terombang-ambing oleh apa pun yang dikatakan, diklaim, dan diakui oleh dunia. Sebaliknya, bimbinglah kami untuk bisa membawa kebenaran-Mu kepada dunia. Hanya karena pekerjaan-Mulah, mereka akan bisa dimenangkan. Amin.

(Catatan: pertanyaan tertulis ada di bagian terpisah)

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA

Materi Pelajaran | Pelajaran 06 | Referensi 06a | Referensi 06b | Referensi 06c

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Filsafat Non-Kristen dan Kristen
Kode Pelajaran: AUA I-P06

Pelajaran 06 - FILSAFAT NON-KRISTEN DAN KRISTEN

*Instruksi*

Harap setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:

  1. Bacalah Bahan Pelajaran dan semua Referensi Pelajaran 06 dengan teliti.
  2. Bacalah Pertanyaan (A) dan (B) di bawah ini, kemudian jawablah dengan benar dan lengkap.
  3. Apabila Anda mendapatkan kesulitan sehubungan dengan isi Bahan Pelajaran, silakan menghubungi Pembimbing di:
    < yulia(at)in-christ.net >

Selamat mengerjakan!

Perhatian:

Setelah Anda menjawab tugas tertulis ini, mohon kirim kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:

==> < staf-pesta(at)sabda.org >

PERTANYAAN (A):

  1. Filsafat [............] berdasar pada kemandirian pikiran manusia yang lepas dari Allah. Sedangkan filsafat [.............] berakar pada ketergantungan total pada Allah.
  2. Filsafat Kristen dapat digambarkan sebagai suatu bangunan yang besar dan disangga oleh satu tiang utama, yaitu [............].
  3. Komitmen ketergantungan mutlak pada Allah tidak hanya untuk urusan masalah gerejawi, tapi juga untuk [............].
  4. Perbedaan antara filsafat yang berdasar pada kemandirian pikiran manusia dan filsafat yang berakar pada ketergantungan pada Allah, membentuk jurang pemisah yang besar, yang hanya bisa dijembatani dengan [.............] dari Allah.
  5. Filsafat [.............] memerlihatkan dilema bahwa mereka memiliki "keyakinan yang mutlak bahwa tidak ada keyakinan-keyakinan yang mutlak".
  6. Kepastian orang Kristen tidak dihancurkan oleh apa yang tidak diketahuinya, karena [.............] menyediakan pengetahuan yang cukup bagi manusia, bahkan dalam keterbatasan manusia sekalipun.
  7. Hanya melalui persekutuan dengan [............] dalam iman, kita dimungkinkan untuk dapat melihat Allah, dunia, dan diri kita sendiri dengan tepat dan benar.
  8. Ketidakpastian orang Kristen akan ketergantungan pengetahuan pada Allah disebabkan oleh 2 hal: pertama, ia memiliki [............] dalam kemampuan untuk mengetahui semua hal tentang wahyu yang Tuhan berikan; kedua, [............] menyebabkan orang Kristen salah mengerti dan kadang menolak kebenaran wahyu Allah.
  9. Untuk memulai berkomunikasi dengan orang non-Kristen dengan cara yang efektif dan relevan maka kita harus memberikan kesadaran bahwa tidak daerah yang dikatakan, [..............], dimana orang Kristen dan non-Kristen bisa memegangnya sebagai satu kesepakatan.
  10. Apabila kita berharap memenangkan orang non-Kristen ke dalam Kerajaan Allah, atau paling tidak ke arah itu, maka kita dapat memerlihatkan kebenaran kekristenan dengan [............] yang tepat atas kepercayaan kita pada Allah, Kristus, dan Alkitab.

PERTANYAAN (B):

  1. Jelaskan pendapat Anda, mengapa filsafat non-Kristen dan filsafat Kristen memiliki jurang pemisah yang tidak mungkin bisa dijembatani oleh usaha manusia?

  2. Untuk menginjili orang non-Kristen kita harus bisa menemukan titik temu sehingga orang non-Kristen dan Kristen bisa memulai berbicara. Berikan contoh titik temu yang Anda ketahui.

Kirimkan kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:

==> < staf-pesta(at)sabda.org >

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 06 | Pertanyaan 06 | Referensi 06b

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Filsafat Non-Kristen dan Kristen
Kode Pelajaran: AUA I-R06a

Referensi AUA I-R06a diambil dari:

Judul buku: Iman, Rasio dan Kebenaran
Judul artikel: Keterbatasan Rasio
Pengarang: Stephen Tong
Penerbit: Institut Reformed, Jakarta, 1996
Halaman: 37 -- 49

KETERBATASAN RASIO

  1. Natur Rasio

    Apakah rasio mempunyai keterbatasan? Untuk ini manusia harus menyadari naturnya yang: dicipta, terbatas dan tercemar, 'created, limited and polluted'. Demikianlah kondisi dari rasio manusia. Rasio manusia tidak datang sendiri. Rasio itu dicipta oleh Allah. Rasio manusia juga terbatas di dalam fungsinya, seturut dengan keterbatasan manusia itu sendiri, sebagai ciptaan Allah. Dan karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, maka seluruh manusia rasionya juga telah tercemar. Jika seseorang mengerti dan menyadari natur rasio seperti ini, maka bagaimanapun orang itu memperkembangkan rasionya semaksimal mungkin, ia tetap harus mengakui bahwa ia tetap hanyalah manusia yang terbatas. Ia juga akan mengerti dan menyadari bahwa pencemaran dosa juga sudah melingkupi aspek rasio juga. Manusia tidak mungkin dapat membuktikan keberadaan dan diri Allah secara tepat. Manusia hanya dapat menerima Allah yang mewahyukan diri di dalam alam. Pencemaran dan kuasa dosa telah melanda sampai ke semua aspek manusia, baik sifat rasio, sifat hukum, sifat moral, juga sifat kekal dan keberadaan manusia. Tidak ada satu aspek pun yang tidak tercemar oleh dosa. Bukankah para ilmuwan bukan Kristen dapat menemukan penemuan- penemuan ilmiah yang begitu baik dan cukup akurat, bahkan banyak ilmuwan Kristen yang lebih bodoh daripada mereka? Bukankah ini suatu bukti dan fakta bahwa orang bukan Kristen fungsi rasionya dapat lebih baik? Oleh karena itu, celakalah para pelajar Kristen yang tidak mau belajar sungguh-sungguh dan mendapatkan nilai yang baik. Apakah ini berarti rasio orang bukan Kristen tidak tercemar, atau mungkin juga rasio orang Kristen masih tercemar sehingga tidak berfungsi dengan baik? Jikalau ilmuwan-ilmuwan bukan Kristen dapat menemukan penemuan- penemuan ilmiah, yang adalah ciptaan Allah, dengan sangat akurat, karena rasio mereka berfungsi begitu jemih dan begitu baik, mengapa semua itu tidak menjadikan mereka kembali mempermuliakan Allah, yang adalah Sumber serta asal dari semua ilmu pengetahuan? Hal ini disebabkan karena mereka bisa mengerti wahyu umum dan semua yang ajaib di dalam ciptaan ini tanpa bisa mengasosiasikan dengan Kebenaran sebagai sumber dari semua pengetahuan ini, akhirnya mereka tidak sanggup mengembalikan kemuliaan kepada Pencipta, dan mereka kemudian mempermuliakan diri sendiri.

  2. Lingkup Rasio

    Kita kini herlu memikirkan apa yang dipikirkan atau dikerjakan oleh rasio. Hal ini meliputi kategori-kategori penjelajahan fungsi rasio. Salah satu tujuannya, manusia diciptakan untuk berpikir. Oleh karena itu, kini kita mempersempit salah satu tujuan penciptaan ini, yaitu hanya di wilayah rasio. Hampir tidak ada manusia yang tidak berpikir. Memang ada manusia yang tidak suka berpikir. Tetapi untuk dapat tidak berpikir, manusia harus berpikir bagaimana caranya menghindar dari tugas berpikir. Ketika manusia berpikir, pikiran rasio manusia paling sedikit dapat dibagi menjadi tiga kategori atau bidang pikiran yang besar, yaitu: (1) memikirkan hal - hal di bawah diri manusia, (2) memikirkan hal- hal di dalam diri manusia, dan (3) memikirkan hal- hal yang lebih jauh, lebih besar dan lebih tinggi daripada diri manusia. Manusia memikirkan hal-hal yang berada di bawah diri manusia, di dalam diri manusia dan di atas diri manusia. Hal-hal yang berada di bawah diri manusia adalah alam semesta ini, yang di dalam diri manusia, adalah manusia itu sendiri, dan yang di atas diri manusia adalah Allah. Allah - manusia - alam merupakan urutan dari atas ke bawah di dalam kategori pengetahuan manusia. Urutan ini tidak boleh dibalikkan. Mengenal Allah adalah pengenalan sistem terbuka, mengenal alam adalah sistem tertutup. Itu alasan di dalam Kolose 3, Paulus berkata tentang bagaimana mempergunakan rasio dengan baik: "Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi." Jangan pikirkan hal-hal yang di dunia saja, tetapi pikirkan juga hal-hal surgawi. a. Lingkup Rasio dan Alam

    Pada saat seseorang berpikir ke bawah, ia mempergunjingkan masalah alam. Mungkin ia memikirkan bagaimana bunga bertumbuh. Kemudian menyelidiki jenis bunga itu, menganalisis dan mengkategorikannya. Maka ia menemukan suatu pelajaran yang berkaitan tentang tumbuh-tumbuhan. Jika menyelidiki kucing, harimau, gajah dll., maka saya menemukan satu bidang studi yang disebut sebagai Zoologi. Jika says menyelidiki lapisan-lapisan bumi, sifat-sifat tanah dsb., maka saya akan mengkategorikannya sebagai Geologi. Demikian juga proses-proses kimia dikategorikan di dalam Ilmu Kimia, dalil atau rumus-rumus alam diselidiki di dalam Ilmu Fisika, cara-cara perhitungan di dalam Matematika, dsb. Sistem-sistem pelajaran ini di dalam bahasa Yunani di akhiri dengan akhiran "logi" karena di setiap "logi" ini dituntut pertanggungjawaban rasionil yang disebut sebagai logika. Logika dipakai oleh logikos (manusia) dalam usaha untuk mengerti Logos. Logos adalah kuasa universal yang mengatur segala sesuatu dan merupakan esensi dasar segala sesuatu. Semua usaha untuk menyelidiki segala sesuatu yang ada di bawah manusia disebut sebagai 'Sains science' atau ilmu pengetahuan. Istilah science berasal dari bahasa Latin: 'scio' yang berarti "Saya tahu". Apakah yang diketahui? Ketika seseorang mempelajari ilmu fisika, maka ia mengetahui fisika. Pengetahuan yang says ketahui tentang fisika, disebut sebagai ilmu fisika. Tetapi harap kita camkan, bahwa sebelum para ilmuwan menyelidiki ilmu apapun di dalam alam semesta ini, ia harus terlebih dahulu mempunyai satu set pra-anggapan yang didasarkan pada iman bahwa ia bisa tahu! Karena saya percaya saya bisa tabu, maka saya berusaha untuk mengetahui. Kemudian saya mulai menyelidiki dan pada akhirnya saya betul-betul tahu. Semua ini merupakan proses, mulai dari iman sampai pada pengetahuan. Tidak ada satu penemuan apapun di dalam bidang ilmu yang tidak didasarkan pada pra-anggapan yang bersifat imaniah. Iman lebih penting dari pada rasio. Ketika seseorang menyelidiki sesuatu, ia yakin dan memiliki kepercayaan bahwa ia dapat mengetahui, sehingga dengan dorongan itu ia mulai menyelidiki. Semua penelitian dan pengujian ilmiah didasarkan pada suatu keyakinan yaitu iman. Maka, iman mendahului pengetahuan. Oleh karena itu, anggapan bahwa jika rasio bekerja maka iman tidak diperlukan, atau jika rasio yang menggarap sesuatu maka iman boleh dibunuh adalah tidak benar. Anggapan seperti ini sama sekali tidak benar, bahkan di dalam bidang ilmiah sekalipun. Setiap orang yang melakukan studi, baik menggunakan metode induksi, deduksi atau metode lainnya, tanpa disadari ia telah jatuh kepada hakikat yang paling dasar, yaitu iman. Di dalam menyelidiki, seseorang menginginkan bukti. Tetapi sebelum bukti itu muncul, ia telah memulai dengan suatu pra-anggapan yang bersifat iman. Alangkah naifnya orang yang mengatakan, "orang Kristen bodoh, semua harus pakai iman baru mendapatkan bukti. Kalau saya tidak punya bukti, saya pasti tidak mau beriman, karena saya orang rasionil." Kalimat itu omong kosong. "Buktikan baru saya percaya" merupakan kalimat yang sering kita dengar. Padahal kalimat itupun merupakan iman kepercayaan. Kalau terbukti baru dapat dipercaya adalah hal yang belum pernah dibuktikan, sehingga untuk meyakinkan perlunya bukti untuk dapat mempercayai sesuatu; itu merupakan iman. b. Lingkup Rasio dan Manusia

    Setelah jemu memikirkan hal-hal di bawah diri manusia, maka manusia biasanya mulai memikirkan di dalam dirinya sendiri. Mulai memikirkan bagaimana tubuh dapat bertumbuh dan menampilkan bermacam-macam postur yang berbeda. Di dalam tori ballet, gerakan tubuh mengungkapkan perasaan hati seseorang dan dapat menyentuh mereka yang melihatnya. Kemudian mulai memikirkan mengapa manusia makan nasi, tetapi tumbuh rambut, tumbuh alis, tumbuh kuku. Anehnya, rambut di kepala semakin lama semakin panjang, tetapi alis tidak. Apa jadinya jika terbalik? Lebih jauh Iagi, manusia mulai memikirkan bagaimana pikirannya dapat berpikir. Saya sedang memikirkan pikiran. Jadi saya sedang menggunakan pikiran untuk berpikir bagaimana pikiran saya itu berpikir. Maka yang berpikir adalah pikiran, sedangkan yang dipikirkan juga pikiran. Maka sampai pads tahap ini, tanpa disadari rasio sedang menghadapi jalan buntu, karena subyek dan obyek kini menjadi satu. Ketika manusia menggunakan pikiran untuk mengetahui bagaimana pikiran itu berpikir, maka ia sedang masuk ke dalam siklus-diri- sendiri `self-eyclus'. Siklus seperti ini tidak akan pernah berakhir. Dalam hal ini kita membuktikan bahwa rasio mempunyai keterbatasan. Pada waktu seseorang memakai pikiran untuk memikirkan bagaimana pikiran itu berpikir, maka ia paling banyak hanya dapat menemukan syaraf-syaraf otak yang mana yang dipergunakan untuk berpikir. Tetapi kita tidak pernah akan mengerti bagaimana sel-sel itu memikirkan apa yang kita pikir. Tidak ada satu manusia pun yang dapat sampai pada pengertian terakhir itu, kecuali Pencipta pikiran itu sendiri. Seorang sastrawan Amerika Serikat, Ralph Waldo Emerson (1803-1882), mengatakan: "Ironic terbesar bagi mata adalah ia dapat melihat segala sesuatu, tetapi ia tidak dapat melihat diri sendiri." Bahkan mata kanan tidak dapat melihat mata kiri. Demikian pula ketika pikiran mau memikirkan segala sesuatu, ia sendiri mengalami kesulitan untuk memikirkan diri sendiri. Sebabnya adalah karena adanya limitasi. Rasio telah mengalami jalan buntu, tetapi ia tidak mau mengakuinya, bahkan ia mau melompat lebih jauh lagi. c. Lingkup Rasio dan Allah

    Rasio bukan hanya mau memikirkan hal-hal di dalam diri manusia atau rasio itu saja, bahkan manusia mau memikirkan hal-hal di atas diri manusia dan iasio itu sendiri. Ia mau memikirkan tentang Allah. Manusia, dengan rasio yang dicipta, mau mengerti, mau menganalisis Allah pencipta rasio. Usaha ini merupakan suatu lelucon yang terlampau besar, merupakan keberanian yang terlampau nekad. Usaha ini adalah usaha yang mustahil. Tidak mungkin rasio memikirkan Allah yang mencipta rasio itu sendiri. Tetapi manusia yang bodoh tidak mengerti dan menganggap dapat mengerti Allah dengan rasio. Saya tidak ingin mematahkan pengharapan manusia untuk mengerti Allah, tetapi manusia tidak mungkin mengerti Allah melalui rasio yang Allah cipta. Manusia hanya dapat mengerti Allah melalui inisiatif pewahyuan Allah kepada manusia. Allah telah mewahyukan diri kepada manusia dan Allah telah menyatakan diri kepada rasio manusia, sehingga rasio manusia yang terbatas dicerahkan oleh cahaya wahyu dan kebenaran itu, sehingga ia dapat kembali kepada kebenaran. 3. Kesimpulan Ketika saya memikirkan hal-hal di bawah saya, maka saya menjadi subyek dan alam yang di bawah menjadi obyek. Allah memang memberikan hak kepada manusia untuk boleh mengerti alam yang berada di bawahnya. Manusia memang dicipta lebih tinggi daripada alam. Itulah alasannya sehingga semua penemuan ilmiah adalah hal yang sewajarnya. Tidak ada hal yang dapat dimegahkan. Semua itu adalah usaha yang wajar saja. Dalam hal itu, manusia hanya mempergunakan rasio yang dicipta oleh Allah untuk menemukan kebenaran-kebenaran dan dalil-dalil yang disimpan oleh Allah di dalam alam. Ilmu adalah hal yang wajar dan merupakan hak bagi manusia yang berasio, karena manusia adalah peta dan teladan Allah. Sampai tahap ini, manusia mutlak dapat mengetahui ilmu di dalam alam. Pengetahuan akan ilmu adalah pengetahuan yang rendah sifatnya, karena ilmu hanya merupakan sistem-sistem pengetahuan yang diungkapkan melalui rasio manusia yang merupakan anugerah Allah, untuk menemukan dalil-dalil ciptaan yang memang disembunyikan di dalam alam. Ini adalah kebenaran yang paling rendah. Pengetahuan alam merupakan tingkat yang paling rendah diantara tingkatan- tingkatan pengetahuan, karena tahap ini hanya menemukan sesuatu yang telah disimpan oleh Allah di dalam alam. Ilmuwan-ilmuwan tidak boleh sombong setelah menemukan keajaiban ciptaan. Mereka hanya boleh mempermuliakan Allah karena mereka boleh menemukan dalil- dalil yang tersembunyi itu. Penemuan ilmu hanyalah penemuan ciptaan di dalam alam, sehingga penemuan ilmu jauh berada di bawah teologi. Istilah "menemukan" perlu ditegaskan, yaitu sebelum ditemukan, dalil itu sebenarnya telah ada. Sebelum Albert Einstein (1879- 1955) menemukan hukum relativitasnya, hukum itu sudah ada dan sudah berlaku di dalam alam. Setelah Einstein menemukan hukum ini, maka manusia baru mengetahui bahwa hukum ini dapat dipakai untuk meledakkan uranium menjadi tenaga yang besar sekali. Namun, bagaimanapun juga dalil ini telah ada di dalam alam, sehingga penemunya tidak berhak menjadi sombong di hadapan Tuhan Allah. Oleh karena itu, biarlah setiap ilmuwan mengembalikan kemuliaan kepada Allah.

----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA


Materi Pelajaran | Pelajaran 06 | Pertanyaan 06 | Referensi 06a

PESTA // PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA

Nama Kursus: APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran: Filsafat Non-Kristen dan Kristen
Kode Pelajaran: AUA I-R06b

Referensi AUA I-R06b diambil dari:

Judul buku: Iman, Rasio dan Kebenaran
Judul artikel: Kebenaran
Pengarang: Stephen Tong
Penerbit: Institut Reformed, Jakarta, 1996
Halaman: 60 -- 74

KEBENARAN

Pada waktu manusia belum kembali kepada kebenaran, ia selalu menganggap bahwa dirinyalah kebenaran itu. Akibatnya, semakin lama ia hidup di dunia, ia menjadi semakin kukuh dan semakin menganggap dirinya benar. Inilah kelemahan manusia. Kekakuan ini dapat berlanjut terus, sampai akhirnya ia memutuskan bahwa dirinya tidak dapat bersalah. Sampai tingkat ini, ia telah mempersamakan diri dengan Allah. Pada saat seperti itu, Tuhan akan tidak senang dan membiarkan ia mati saja. Maka orang itu mati. Orang muda tidak terlalu berani mengatakan dia yang benar, tetapi semakin tua ia akan semakin kaku juga, dan pads saat tua sekali ia mulai memutlakkan diri seperti orang tua sebelumnya, maka ia pun mati. Sehingga di dalam alam semesta tetap hanya ada Satu Allah yang memang mutlak dan kekal.

Manusia dapat terus memproses dirinya masuk ke dalam kekakuan, sehingga akhirnya ia tidak lagi mempunyai lubang keterbukaan terhadap keterbatasan rasio. Oleh karena itu, jangan sekali-kali memutlakkan rasio. Sebelum seseorang mengembalikan rasio kepada kebenaran, ia akan selalu menganggap dirinyalah kebenaran itu.

  1. Kristus sebagai Kebenaran Asali

    Setiap agama pasti mengaku memiliki kebenaran atau dirinya kebenaran. Dalam hal seperti ini setiap orang dituntut untuk sungguh-sungguh mempelajari di manakah kebenaran sejati itu berada.

    Di dalam Alkitab, kita melihat bagaimana Kristus menjadi satu- satunya yang di dalam sejarah yang sah mengatakan bahwa diri- Nyalah kebenaran (Yoh 14:6). Andaikata Ia bukan kebenaran dan mengaku sebagai kebenaran, maka pasti akan ada kesenjangan yang besar di dalam hidup-Nya. Tindakan demikian akan menjadikan Kristus seorang pembohong atau pendusta yang terbesar di dalam alam semesta, karena penipuan seperti ini bukan sekadar penipuan untuk mengambil sedikit uang, atau sekadar memutar balik suatu kejadian, atau mempermainkan hukum, tetapi ini merupakan penipuan yang berskala dunia, karena mengaku sebagai kebenaran. Tetapi jikalau memang Kristus adalah kebenaran, maka manusia tidak boleh sembarangan memberikan penafsiran yang tidak benar terhadap proklamasi yang sangat agung ini.

    Mengapa tidak ada seorang tokoh agama atau tokoh filsafat pun di sepanjang sejarah manusia, selain Kristus, yang boleh mengatakan: "Akulah Kebenaran"? Hanya ada dua kemungkinan: (1) Kristus memang pembohong, dan (2) memang Ia sungguh-sungguh kebenaran. Kalau memang Kristus pembohong, silakan buktikan apakah Dia pembohong terbesar, dan jika Ia memang adalah kebenaran itu sendiri, maka setiap orang wajib takluk kepada-Nya. Setiap manusia harus membagi- bagikan sekuat kemampuan rasio kits untuk membawa orang lain kembali kepada Kebenaran. Itu sebabnya, tugas orang Kristen berat dan sangat serius.

  2. Berbagai macam Kebenaran

    Ketika rasio kembali kepada kebenaran, ini disebut iman. Oleh karena itu, iman bukan sekedar mengatakan "saya percaya" lalu dibaptis dan menjadi anggota gereja. Iman adalah keseluruhan pribadi seseorang sebagai manusia dengan rasio yang kembali kepada kebenaran. Iman adalah penaklukkan kebebasan manusia kepada kedaulatan Allah. Maka iman merupakan tindakan secara keseluruhan. Kebenaran harus menyangkut beberapa tingkatan:

    1. Kebenaran Fakta

      Yang `ya', katakan `ya' dan yang `tidak', katakan `tidak'. Itulah fakta. Kalimat seperti ini adalah kalimat dari Tuhan Yesus yang diri-Nya adalah Kebenaran itu. Pada tingkatan pertama, kebenaran harus sesuai dengan fakta. Mungkin fakta itu bersalah, tetapi ketika Saudara menyatakan fakta yang pada hakikatnya salah, sambil menunjukkan kesalahannya, maka Saudara sedang mengatakan kebenaran. Ketika Saudara menyaksikan kebenaran seorang anak yang membunuh ayahnya di hadapan pengadilan, maka Saudara sedang melakukan kebenaran. Tetapi bukan berarti pembunuhan itu adalah kebenaran. Faktanya yang adalah kebenaran. Inilah aspek pertama, yaitu: Kebenaran adalah fakta. Ini adalah aspek yang paling rendah.

      Fakta hanya menyatakan kesungguhan keberadaan sesuatu atau peristiwa, tanpa memberikan penilaian fakta itu sendiri pada hakikatnya benar atau tidak benar. Peristiwa yang saya saksikan mungkin tidak cocok dengan prinsip kebenaran yang lebih tinggi. Penemuan-penemuan di dalam alam semesta, yang merumuskan begitu banyak dalil-dalil dan aksioma-aksioma di berbagai bidang studi, adalah fakta. Tetapi fakta bukanlah kebenaran menyeluruh, hanya menyatakan hal-hal yang "memang demikian". Tetapi istilah "memang demikian" tetap relatif.

    2. Kebenaran Sejarah Kebenaran ini juga disebut sebagai kebenaran yang bersifat fakta Sejarah. Indonesia merdeka pads tahun 1945. Ini adalah kebenaran, tetapi kebenaran ini berbeda dari kebenaran ilmu. Ketika kita mempelajari dan mengetahuinya, kita mendapatkan kebenaran. Peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi. Demikian pula jika kita mengetahui bahwa presiden Amerika Serikat, John Kennedy (1917-1963) dibunuh pads tahun 1963. Pada tahun 1986 presiden Filipina, Ferdinand Marcos (1917-1989) tumbang dari kedudukannya dan diusir keluar dari Filipina. Semua peristiwa ini pernah terjadi pads waktu yang disebutkan. Ini kebenaran. Tetapi banyak kebenaran yang benar-benar terjadi, pada hakikatnya tidak sesuai dengan kebenaran yang sejati. Sejarah terkadang merupakan catatan tentang kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi, di mana catatan itu sendiri tidak salah. Aspek Sejarah adalah "dengan tidak Salah mencatat hal-hal yang Salah."
    3. Kebenaran Manusia Kebenaran-kebenaran yang disebutkan di atas adalah kebenaran yang mati, bukan kebenaran yang hidup. Tetapi kini ada kebenaran yang berada di dalam diri manusia, yaitu kebenaran yang menyangkut kehidupan itu sendiri, kebenaran-kebenaran yang menyangkut kehormatan dan harkat manusia, hak asasi manusia, yang terjadi di dalam masyarakat. Jika kebenaran ini diganggu gugat, maka akan timbul akibat dan penyakit yang disebut sebagai penyakit jiwa, baik pribadi atau seluruh bangsa. Penyakit jiwa yang berakibat dan berpengaruh terhadap sekitarnya akan menghasilkan problema sosial, sehingga timbullah sosiologi. Sosiologi mempelajari terbentuknya masyarakat, munculnya kesuli tan-kesulitan dalam masyarakat dan bagaimana menyelesaikan semua kesulitan dan gejala yang tidak benar di dalam masyarakat. Ini adalah kebenaran juga.
    4. Kebenaran Relasi Kebenaran juga mencakup kebenaran di dalam relasi antar oknum. Hubungan atau relasi antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam, antara manusia dengan ilah-ilah atau setan- setan. Fakta adanya relasi, bagaimana cara berelasi dan seberapa jauh relasi itu mungkin terjadi, juga merupakan kebenaran yang harus dimengerti. Kebenaran sampai tingkat ini sudah melampaui wilayah fisika, tetapi tetap perlu dipelajari. Kebenaran seperti ini memang kebenaran yang perlu diketahui, tetapi tetap bukan Kebenaran yang tertinggi itu sendiri.
    5. Kebenaran Pencipta

      Kebenaran yang tertinggi adalah mengenal Pencipta. Kebenaran yang tertinggi pada hakikatnya adalah Tuhan Allah sendiri, yaitu Kebenaran itu sendiri. Kebenaran ada pada-Nya, karena Ia yang menciptakan segala sesuatu, Ia yang menentukan semua rumus dan dalil, yang telah disimpan di dalam alam semesta. Ia juga yang mengatur seluruh pergerakan alam semesta. Ia Penentu segala sesuatu. Jangan sekali-kali ada orang yang mencoba menurunkan Allah dari posisi-Nya sebagai Pencipta untuk dikurung di dalam dunia ciptaan yang dicipta oleh Dia sendiri. Itu adalah tindakan bunuh diri. Allah berada di luar semua dalil alamiah. Hidup ini sendiri sudah tidak dapat dikurung oleh hukum-hukum dan dalil- dalil yang kaku dan sempit.

  3. Rasio dan Kesetiaan padA Kebenaran

    Iman dalam bahasa Yunani: pistis dan dalam bahasa Latin: fide. Di dalam bahasa Inggris ada istilah: fidelity? Istilah ini merupakan perkembangan dari istilah fide atau Iman. Iman berarti setia kepada kebenaran. Inilah istilah yang paling singkat dan tepat untuk Iman.

    Banyak kaum intelektual merasa kalau percaya kepada Yesus Kristus berarti membunuh rasio dan memusnahkan fungsi intelektual. Saya tidak meminta Saudara membunuh rasio dan menjadi percaya tahyul. Silakan rage, tetapi dengan hati nurani yang murni dan motivasi yang jujur ingin mencari kebenaran, bukan mau menegakkan kebenaran sendiri. Akhirnya Tuhan pasti akan memimpin Saudara. Dan ketika Saudara mengerti bagaimana penafsiran kebenaran yang sejati, Saudara mungkin menjadi setia. Ketika Saudara setia kepada kebenaran, berarti Saudara dapat beriman.

    Tidak benar orang yang mengatakan jika seseorang mencapai pengetahuan yang tinggi sekali, ia tidak dapat beriman dan tidak dapat percaya Yesus Kristus. Mereka mungkin percaya kepada Yesus Kristus, asal kita dapat menjelaskan kebenaran sebenar mungkin, sehingga mereka mengetahui penafsiran yang benar. Itulah tugas kita sebagai orang Kristen. Setiap orang Kristen harus mampu menjelaskan iman kits sejelas dan sebenar mungkin, dan untuk itu kita perlu belajar banyak hal.

    Martin Luther pernah mengatakan kalimat yang mengejutkan: "Rasio itu pelacur." Mengapa? Karena rasio selalu mencari alasan untuk mendukung apa yang telah ia tetapkan terlebih dahulu. Kalau seseorang sudah berniat berbuat dosa, lalu ia mencari berbagai macam alasan, sehingga jika ia ditanya ia dapat membela diri untuk menyatakan dirinya tidak bersalah. Dengan demikian ia sudah memperalat rasio untuk menaati ketidaksetiaan manusia yang tidak berarah. Oleh karena itu, rasio disebut sebagai pelacur. Jika isteri Saudara hari ini mengatakan kepada Saudara "Engkau suamiku", lalu esok mengatakan kepada orang lain "Engkau suamiku", lalu esoknya lagi berbicara dengan nada yang merdu kalimat yang sama kepada orang lain lagi, maka Saudara pasti akan benci sekali kepadanya. Itulah kemungkinan rasio Saudara: Kita perlu mempertahankan kesetiaan rasio kits di hadapan Tuhan, karena rasio kita adalah mempelai Tuhan yang adalah kebenaran. Kesetiaan ini disebut sebagai fide, yaitu: iman. Gereja adalah mempelai Kristus, pikiran adalah mempelai dari kebenaran Kristus. Biarlah pikiran kita dipenuhi oleh firman. Tuhan menciptakan otak dan Tuhan mewahyukan kebenaran, supaya otak yang dicipta tersebut dipimpin dan dipenuh oleh kebenaran yang diwahyukan.

----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA


Bahan Referensi AUA I
=================

Berikut ini adalah daftar buku yang dipakai sebagai referensi untuk membantu peserta PESTA mendapatkan penjelasan-penjelasan yang lebih dalam dan luas tentang pokok-pokok materi yang dibahas dalam Kursus APOLOGETIKA UNTUK AWAM I. Karena tujuannya adalah untuk melengkapi, maka akan sangat baik jika Anda bisa mengusahakan memiliki buku-buku tsb. dalam bentuk cetaknya untuk kebutuhan di masa y.a.d..

  • Berkhof, Louis, TEOLOGI SISTEMATIKA, Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta: 1994.
  • Cole, Dr. Charles W., PENGAKUAN BAPTIS 1689, Carey Publication: 1996.
  • Hoekhema, Anthony A., DISELAMATKAN OLEH ANUGERAH, Momentum, Jakarta: 2001
  • Hoekama, Anthony A., MANUSIA: CIPTAAN MENURUT GAMBAR ALLAH, Momentum, Surabaya: 2003
  • J.I. Packer, Tuntunan Praktis Untuk Mengenal Allah, Yayasan ANDI, Yogyakarta, 2002
  • Kreeft, Peter & Tacelli, Ronald K., PEDOMAN APOLOGETIKA KRISTEN, Yayasan Kalam Hidup, Bandung: 2006.
  • Sproul, R.C., KEBENARAN-KEBENARAN DASAR IMAN KRISTEN, Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang.
  • Thiessen, Henry C., TEOLOGI SISTEMATIKA, Gandum Mas, Malang: 2003.
  • Tong, Stephen, IMAN, RASIO DAN KEBENARAN, Institut Reformed, Jakarta: 1996.
  • Nama situs: Carm, http://www.carm.org/apologetics.htm, Introduction to Apologetics, by Matthew J. Slick

----------------------------------------------------------------------

PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA

Ke Atas


sabdaspace.org Tentang Kami | Kontak Kami | Bukutamu | Link |

Laporan Masalah/Saran | Disclaimer | Hak Cipta © 2005-2024 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA) | E-mail: webmastersabda.org
Bank BCA Cabang Pasar Legi Solo - No. Rekening: 0790266579 - a.n. Yulia Oeniyati